Scroll untuk membaca artikel
Bella
Jum'at, 10 Juni 2022 | 14:03 WIB
Sentiani Novianti, saat merapikan ratusan komik di taman bacaan 88 Jalan Diponegoro, Pontianak, Kalimantan Barat. Ratusan ribu judul komik lokal maupun internasional masih eksis ditengah era digital.[Suara.com/Diko Eno]

SuaraKalbar.id - Berawal dari hobi membaca komik seorang warga Pontianak, Kalimantan Barat kini memiliki rumah baca tempat penyewaan buku bernama taman bacaan 88 di Jalan Diponegoro, Pontianak Kota, Kalimantan Barat.

Dia adalah Yen Yen. Seorang ibu rumah tangga mendirikan rumah baca sejak tahun 1988. Dirumah baca itu, terdapat ratusan ribu judul buku cerita lokal hingga internasional.

Yen Yen ingin mempertahankan budaya literasi di era digital sekaligus melestarikan eksistensi cerita bergambar di tengah gempuran teknologi.

"Berdirinya tempat ini itu tanggal 1 April 1988, berawal dari kita suka mengoleksi buku- buku cerita, kita coba-coba beli lagi sampai sekarang," katanya kepada Suara.com, Jumat (10/06/2022).

Baca Juga: Ulasan Buku Umar Bin Abdul Aziz, Sosok Pemimpin Zuhud dan Khalifah Cerdas

Tidak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi mengubah banyak hal. Tak terkecuali eksistensi komik cetak yang kini hadir dalam bentuk kemasan digital.

Akan tetapi, tidak membuat ibu rumah tangga ini berkecil hati. Sebab, lewat ratusan ribu judul komik yang ia kumpulkan sejak dulu, masih bermanfaat di era sekarang ini.

"Sudah tidak terhitung, mungkin ada ratusan ribu sampai kebelakang. Soalnya dulu kita jaga sendiri, dari mama, adik, jadi memang tak terhitung lagi jumlahnya,"ucapnya.

"Ada yang biasa suka baca di HP, tapi ada juga yang bilang kalau baca di HP tidak seru, bagus lewat buku, senang juga kita dengarnya,"sambungnya lagi.

Ratusan ribu judul cerita lokal hingga internasional tersusun rapih dalam rak-rak layaknya perpustakaan. Tak jarang, para generasi muda berdatangan ke rumah baca yang penasaran dengan isi komik tersebut.

Baca Juga: Ulasan Buku Kumpulan Materi Khotbah dan Kultum Penyemangat Hidup

"Anak-anak saya yang cewek suka, kalau sudah baca lupa segalanya, terus terusan membaca, kalau bulan puasa biasa rame, langganan kita sudah banyak hampir 4000an,"ujarnya.

Selain upaya mempertahankan budaya literasi bangsa di era digital, inisiatif tersebut juga sebagai bentuk pelestarian cerita bergambar yang sempat populer pada masanya.

Konvensi komik pertama berkisar dari tahun 1965 hingga 1990.

"Kalau sekarang penyewa agak berkurang, tapi mau gimana?mau tutup sayang juga, kita cuma berharap agar adik-adik yang baru tumbuh kembali kesini, dibawa sama orang tuanya,"katanya lagi.

Meski penikmat komik cetak hanyalah sedikit, namun keberadaan industri komik bukan bearti punah. Sebab, masih adanya kolektor maupun komunitas pembaca komik secara tidak langsung membantu buku cerita bergambar itu masih bertahan ditengah gempuran relevansi digital.

"Kita tetap bertahanlah apalagi sekarang era digital, pasti masih ada peminatnya,"ungkap Yen Yen

Yen Yen tak hanya sendiri. Dia juga ditemani oleh asisten yang menjaga ratusan ribu komik itu. Dia bernama Sentiani Novianti. Setiap hari, Sentiani merapikan komik, disusun dan diatur untuk keperluan para pembaca.

"Sudah kurang lebih 1 tahun, kalau dulu memang ramai, banyak yang datang kesini, komik-komik seperti detektif conan, dan masih banyak lagi,"ucap

Harga yang ditawarkan untuk para pembaca yang menjadi langganan bervariasi. Mulaindari Rp 3500 hingga Rp 20 ribu.

"Sewanya dari Rp 3500 sampai Rp 20 ribu. Kalau untuk komik jangka waktunya 1 mingguan, kalau orang baru biasa 5 buku aja, kalau orang yang sudah lama langganan disini boleh diatas 5 buku,"tukasnya.

Kontributor: Diko Eno

Load More