Biasanya, produksi sekitar 50 kilogram tepung per hari saat menjelang perayaan. Namun, karens pandemi ini, produksi hanya 40 kilogram per hari.
"Selain mie asin, kami juga membuat mie biasa. Seperti mie pangsit, mie telur dan mie mentah," katanya.
Mie khas buatan keluarga Fendy ini, hanya mampu bertahan sekira satu pekan. Karena tidak ada bahan pengawet di dalamnya.
Di Pontianak, rumah produksi mie asin ini hanya ada satu-satunya. Sedangkan wilayah pemasarannya, Fendy tidak pernah menjual eceran ke pasar. Melainkan, konsumen datang sendiri ke rumah produksi miliknya.
Baca Juga:Cerita Perayaan Imlek Warga Tionghoa Siak, dari Ritual hingga Kuliner Khas
"Kami jual hanya di sini saja. Pembeli yang datang ke sini," tutur lelaki 31 tahun ini.
Sejarah Mie Asin Bun Heng
Fendy mengaku sudah puluhan tahun menggeluti bisnis pembuatan mie asin. Ia mulai terjun dalam bisnis keluarga ini, sejak membantu ayahnya, Sunyoto Tejo yang akrab disapa Acun.
Secara detail, Fendy tidak mengetahui persis kapan usaha pembuat mie asin itu mulai berjalan. Ia hanya mengetahui cerita dari orangtuanya bahwa usaha ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.
Sejak berdiri, rumah produksi mie asin ini telah tiga kali berpindah tempat. Namun semua lokasi masih berada di Jalan Diponegoro. Saat itu belum sepadat sekarang. Belum ada deretan ruko dan pusat perbelanjaan.
Baca Juga:Berani Wisata di Libur Imlek, Sanksi Menanti bagi PNS Bandar Lampung
Fendy merupakan generasi keempat penerus usaha keluarga yang dirintis oleh buyut atau eyangnya, Bun Heng, perantau dari negeri Tiongkok. "Saya generasi keempat. Usaha ini sudah ada sekitar 100 tahun yang lalu," jelasnya.
Saat ini, Fendy dibantu beberapa karyawan dan keluarganya untuk meneruskan serta menghidupkan usaha warisan leluhur.
Kontributor : Ocsya Ade CP