Husnawati mengatakan kombinasi rasa lapar dan amarah merupakan respons emosional yang rumit yang melibatkan interaksi biologi, kepribadian, dan isyarat lingkungan.
“Sistem limbik di otak adalah pusat dari segala emosi baik itu marah, takut, dorongan seksual, dan lainnya. Di sini emosi diterjemahkan secara biokimia dan diberi label sebagai sesuatu yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, yang kemudian memicu dikeluarkannya hormon senang atau hormon stres,” katanya.
Di sisi lain, berdasarkan kepribadian dan pengaruh lingkungan, perilaku emosi karena makanan terbentuk sejak masa kanak-kanak, dan sangat terkait dengan pengalaman masa kecil.
Menurut teori psikosomatis, kata Husnawati, rasa emosional yang muncul karena lapar merupakan respons terhadap perasaan negatif, seperti stres, kecemasan, kekecewaan, dan perasaan kesepian.
Baca Juga:Pencabutan Dukungan PDIP Tidak Pengaruhi Jabatan Bupati Alor
"Seseorang yang tinggal di lingkungan yang memperebutkan makanan sebagai usaha untuk bertahan hidup, akan sangat mudah mengalami 'hangry'," katanya.
Husnawati menambahkan tingkat kesadaran emosional seseorang juga memengaruhi munculnya “hangry”.
Orang yang kesadaran emosionalnya lebih berkembang, lanjutnya akan sadar bahwa rasa lapar dapat terwujud sebagai emosi negatif, sehingga mereka bisa mengontrolnya dan cenderung tidak menjadi “hangry”.
Lebih lanjut, dia lalu menyebut cara mengendalikan marah dan rasa lapar yakni dengan berpuasa seperti yang dilakoni umat muslim.
"Orang-orang yang terbiasa berpuasa akan merespons rasa lapar dengan emosi yang netral atau malah positif,” katanya.
Baca Juga:Viral Wanita Bertato di Cibadak Lebak Aniaya Balita Usia Dua Minggu