SuaraKalbar.id - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menetapkan Mantan Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana penyelewengan dana oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Senin.
Selain kedua petinggi ACT tersebut, polisi juga menetapkan dua orang lainnya sebagai tersangka.
"Inisial tersangka A usia 56 tahun, selaku Ketua Pembina ACT, IK selaku pengurus Yayasan ACT, HH sebagai anggota pembina, dan NIA selaku anggota pembina," kata Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Prolri Kombes Pol. Helfi Assegaf.
A merujuk pada Ahyudin, IK merujuk pada Ibnu Khajar, HH merujuk pada Hariyana Hermain, dan NIA adalah Novariadi Imam Akbari. Mereka ditetapkan tersangka terhitung Senin (25/7) pukul 15.50 WIB.
Sebelumnya Mantan Presiden Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar diperiksa beberapa kali terkait dugaan penyalahgunaan sebagian dana sosial yang berasal dari pihak pabrik pesawat Boeing.
Dana sosial yang semestinya disalurkan kepada ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi pada 2018 itu diduga digunakan untuk kepentingan pribadi masing-masing berupa pembayaran gaji dan fasilitas peribadi.
“Saudara Ahyudin selaku pendiri merangkap ketua pengurus dan pembina serta Saudara Ibnu Khajar selaku ketua pengurus melakukan dugaan penyimpangan sebagian dana sosial dari pihak Boeing tersebut untuk kepentingan pribadi masing-masing,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/7).
Selain itu, lanjut Ramadhan, kedua pengurus ACT tersebut tidak pernah mengikutsertakan pihak ahli waris dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial, tidak pernah memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial yang didapatkan dari pihak Boeing serta penggunaan dana sosial tersebut yang merupakan tanggung jawabnya.
Ramadhan mengungkapkan, dari hasil pemeriksaan keduanya, diperoleh fakta ACT menerima dana dari Boeing untuk disalurkan kepada korban sebagai dana sosial sebesar Rp138 miliar.
Dirinya menyebutkan, pihak Boeing memberikan dua jenis dana kompensasi yaitu dana santunan tunai kepada ahli waris korban masing-masing sebesar Rp2,06 miliar serta bantuan nontunai berupa dalam bentuk dana sosial sebesar Rp2,06 miliar.
“Dana tersebut tidak dapat dikelola langsung oleh para ahli waris korban, melainkan harus menggunakan lembaga atau yayasan yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak Boeing, salah satunya adalah lembaga harus bertaraf internasional,” ujar Ramadhan.
Kemudian, kata Ramadhan, pihak Boeing menunjuk ACT atas rekomendasi ahli waris korban untuk mengelola dana sosial tersebut yang untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi dari ahli waris para korban.
Namun, lanjut dia, pihak ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana sosial yang diterima dari pihak Boeing kepada ahli waris korban, termasuk nilai serta progres pekerjaan yang dikelola oleh ACT.
“Diduga ACT tidak merealisasikan seluruh dana sosial tersebut, melainkan sebagian dana sosial tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staf dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan kepentingan pribadi Ahyudin dan wakil ketua pengurus,” kata Ramadhan. (Antara)