Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Jum'at, 09 Oktober 2020 | 13:49 WIB
Salah satu toko halal di Amerika Serikat (VOA Indonesia)

SuaraKalbar.id - Nahdlatul Ulama menyatakan ada 2 ancaman terbesar dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversi. UU Cipta Kerja tuai penolakan sampai demo anarkistis.

Bahaya UU Cipta Kerja pertama, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj menyoroti kelonggaran sertifikasi halal dari aspek syariah dampak dari pemberlakuan UU Cipta Kerja.

"Negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal," kata Said kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/10/2020).

UU Cipta Kerja mengabaikan syarat auditor halal harus sarjana syariah.

Baca Juga: Pengusaha di Kab. Tangerang Tidak PHK Buruh yang Ikut Demo UU Cipta Kerja

Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Jakarta mengumpulkan 398 ton sampah [Antara]

Auditor halal bisa berasal dari sarjana nonsyariah sehingga kekuatan sertifikasi halal secara keagamaan menjadi berkurang.

Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi peraturan termasuk masalah sertifikasi halal.
Pasal 48 UU Ciptaker mengubah beberapa ketentuan UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Pasal tersebut, lanjut dia, mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa halal kepada satu lembaga.

Sejumlah petugas membersihkan puing Halte Bus Trans-Jakarta Tosari yang hangus saat kericuhan unjuk rasa menolak pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja di Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Jumat (9/10/2020). [Suara.com/Oke Atmaja]

"Sentralisasi dan monopoli fatwa, di tengah antusiasme industri syariah yang tengah tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi," kata dia.

Said mengatakan PBNU memahami upaya negara untuk memenuhi hak dasar warga atas pekerjaan dan penghidupan layak melalui pengesahan UU Ciptaker.

Baca Juga: DPRD Bogor Bersurat ke DPR: Cabut UU Cipta Kerja!

Kendati begitu, kata dia, ada beberapa koreksi sehingga Nahdlatul Ulama siap membersamai pihak-pihak yang akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Load More