Scroll untuk membaca artikel
Husna Rahmayunita
Senin, 07 Juni 2021 | 15:55 WIB
Ilustrasi - Mandau, senjata Suku Dayak dalam peristiwa Mangkok Merah. (dok. istimewa)

Beberapa barisan yang terbentuk antara lain Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS/Paraku), yang memang didominasi orang-orang Tionghoa di bawah komando seorang perwira Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri, yakni Brigadir Jenderal Supardjo.

PGRS/Paraku bahu-membahu bersama TNI dan para sukarelawan Indonesia lainnya menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu bala tentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang masa konfrontasi.

Setelah Peristiwa 30 September 1965

Merangkum artikel jurnal berjudul “Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat 1967” gagalnya Pemberontakan PKI pada tahun 1965 tidak dimungkiri mengubah peta politik di Indonesia.

Baca Juga: Ferdinand ke Prabowo Subianto: Mewujudkan Cita-cita Bung Karno Bukan Hanya dengan Patung

Konfrontasi dengan Malaysia pun berakhir dengan adanya perdamaian yang dilakukan pada tahun 1966.

Brigjen Supardjo pun ditangkap karena dianggap terlibat dalam pemberontakan tersebut. Pemerintahan yang sudah dipegang oleh Soeharto pun sudah tidak sejalan dengan PGRS/Peraku.

Para simpatisan pun memilih untuk masuk ke pedalaman Kalimantan Barat. Namun, militer tidak tinggal diam.

Mereka pun mengirim pasukan dari Jawa untuk melakukan penumpasan terhadap PGRS/Peraku.

Militer meminta bantuan pada gubernur sekaligus tokoh yang sangat disegani orang Dayak di Kalimantan Barat, Oevang Oeray.

Baca Juga: Bulan Juli, Dua Gerai Giant di Palembang Tutup

Karena pamor Oevang Oeray, masyarakat Dayak pun berpartisipasi untuk memberantas PGRS/Peraku.

Load More