Scroll untuk membaca artikel
Bella
Kamis, 23 Juni 2022 | 09:30 WIB
Potret anak-anak kecil di Kampung Warse, Kabupaten Asmat, Papua yang tersenyum saat sedang bermain (22/6/20222). (ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

SuaraKalbar.id - Pendidikan di Kabupaten Asmat, Papua bisa dikatakan cukup berkembang jika dilihat dari jumlah siswa yang semakin meningkat. Namun begitu, Guru dari Sekolah Dasar (SD) YPPK Warse, Kabupaten Asmat, Papua, Blandina Kanubun mengatakan Suku Asmat mengalami kekurangan guru dalam melangsungkan kegiatan pembelajaran.

“Guru di kampung ada lima orang termasuk kepala sekolah. Kepala sekolah mengajar juga, biasanya kelas lima dan enam digabung karena petugas sedikit,“ ujar Dina di Kampung Warse, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu.

Dina mengatakan saat ini jumlah siswa SD yang ada di tiga kampung yakni Kampung Warse, Kampung Akamar dan Kampung Birak sudah mencapai 179 orang.

Dirinya mengungkapkan, selain hanya ada 5 guru untuk menangani 179 siswa ruang kelas yang digunakan untuk pembelajaran pun sering tidak mencukupi karena hanya ada tiga kelas.

Apabila jumlah guru lengkap, kelas akan penuh dengan anak-anak sampai sekolah harus meminjam ruangan lain seperti aula gereja, dalam gereja dan balai pertemuan untuk mengajar.

Baca Juga: Megawati Singgung Soal Kulit Hitam Orang Papua dan Tukang Bakso, Arie Kriting Kasih Sindiran Menohok

Tetapi bila guru tidak hadir, anak-anak yang hadir akan sedikit. Menyebabkan penggabungan kelas dan dibagi menjadi tiga.

“Jadi kadang kalau kelas kurang mereka di gereja, balai atau di teras gereja. Itu kalau lengkap, kalau guru tidak lengkap kelas satu dan dua satu kelas, tiga dan empat satu kelas, lima dan enam satu kelas,” kata Dina yang menjadi guru kelas dua SD itu.

Akibat dari kurangnya jumlah guru tersebut, masih ditemukan banyak siswa pada setiap tingkat kelas belum fasih membaca, menulis maupun berhitung. Sehingga materi belajar hanya sekadar mengenal huruf, belajar membaca dan menulis, itu pun dipukul rata meski pada usia berbeda.

Dina menyebutkan pada kelas dua, dari 32 siswa, hanya ada lima anak yang sudah lancar membaca. Sedangkan pada kelas satu hanya ada sekitar dua orang.

“Bahasa Indonesia mereka bagus, cuma pengertiannya kurang. Di sekolah bahasa daerah dilarang tapi baca dan menulis ini yang masih terlihat sekali,” kata dia.

Baca Juga: Duh, Meja-Kursi SLB di Pekanbaru Ditarik Vendor Buntut Tak Dilunasi Dinas Pendidikan

Dina menambahkan tak jarang anak jadi putus sekolah karena sudah malas belajar dan memilih untuk bermain atau menjaga saudara di rumah. Hal itu juga di dorong dengan acuhnya orang tua pada pendidikan anak.

“Kelas satu sudah ada, tapi kelas dua makin banyak. Kadang ada lima orang tidak banyak banyak. Kemarin 13 orang kelas enam SD. Putus sekolah malas, tidak ada guru ataupun dorongan dari orang tua di rumah,” kata dia.

Sedangkan guru yang mengajar di kelas enam SD, Mariyata Konrada Waragan turut mengaku sudah mengikuti keinginan pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk memberikan pelajaran membaca dan menulis melalui Kurikulum 2013 (K13).

Sayangnya, banyak anak yang belum bisa membaca dan menulis membuat sulitnya para guru untuk melanjutkan ke materi pelajaran lainnya. Apalagi mengikuti metode pembelajaran di kota, sehingga guru melakukan kreasi seperti membuat kebun sayur sebagai media pembelajaran yang sesuai dengan anak Asmat.

Mariyata membeberkan anak Asmat juga lebih senang diajak untuk menghafal bagian-bagian tubuh manusia ataupun hewan secara langsung, sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Belajar di ruang terbuka dengan mengamati secara langsung sambil bermain menjadi kreasi pembelajaran yang paling tepat dan cepat bagi anak Suku Asmat pahami. Lewat metode pembelajaran itu, hanya ada dua anak dari 13 yang tidak diterima di SMP.

“Memang kalau di sini kita mau mengikuti yang di Jakarta, itu tidak bisa sama sekali. Sedangkan kelas lima, enam saja bacanya belum lancar. Ada yg baru mengenal huruf saja. Tapi kita berusaha dengan materi itu bisa diikuti dengan baik,” kata dia. (Antara)

Load More