SuaraKalbar.id - Dokter Ida Bagus Putu Alit DFM, SpF, membagikan cerita soal pengalamannya saat menjadi bagian dari tim autopsi kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Sebagai satu-satunya dokter forensik asal Bali yang turut menangani kasus tersebut, dr. Alit mengaku bahwa tak ada yang membedakan dengan autopsi atau pemeriksaan lainnya.
"Tidak ada perasaan tegang. Kita prinsipnya dipercaya kompetensinya, kita pergunakan kompetensi. Kasus ini sama, yang membedakan skala informasi yang ditemukan oleh masyarakat karena masyarakat masih banyak bertanya-tanya," kata dr. Alit yang merupakan dokter forensik RSUP Prof Ngoerah di Denpasar, Kamis (1/9/2022).
Adapun saat proses autopsi jenazah Brigadir J, tim forensik berjumlah lima dokter dan dua teknisi dengan dirinya satu-satunya dokter yang dipanggil dari Bali.
"Autopsi hanya memakan waktu satu hari atau beberapa jam saja, hanya saja pemeriksaan penunjang yang membutuhkan waktu lama, sebelumnya kita menyampaikan membutuhkan waktu empat sampai delapan pekan. Nah, maksudnya agar mempunyai waktu untuk meneliti agar sampai standar pembuktiannya tidak terbantahkan," ujarnya.
Sebelumnya, menurut dr. Alit ia telah biasa terhadap pemeriksaan serupa, ditambah Bali yang kerap mendapat kasus lebih spesifik yang gaungnya sampai terdengar ke internasional.
"Kasus yang saya ingat kasus besar, dalam artian korbannya banyak seperti bom. Atau kasus yang sensitif seperti Angeline. Dan kasus yang lama terungkap jadi kasus beku masih tetap disimpan sampai sekarang belum terungkap," kata dr. Alit memberi contoh.
Dirinya mengaku, turut serta atas dasar kewajiban bahwa secara hukum ada kewenangan dari penyidik untuk meminta dokter forensik melakukan pemeriksaan.
"Ada kewajiban hukum bagi profesi dokter, bahwa dokter akan mengaplikasikan ilmu dan teknologi yang dimilikinya untuk kepentingan peradilan. Bukan semata-mata untuk kepentingan pasien, tapi untuk peradilan karena peradilan memerlukan suatu bukti-bukti yang tidak terbantahkan," kata dr. Alit kepada media.
Baca Juga:Komnas HAM: Ada Dugaan Kuat Brigadir J Melakukan Kekerasan Seksual kepada Putri Candrwathi
Menurutnya, salah satu alasan PDFI pada Juli 2022 lalu menunjuknya karena posisinya yang masuk sebagai akademisi sehingga imparsial dan bebas dan juga karena kepercayaan dan pengalaman.
"Jadi itu kembali ke kewenangan PDFI yang memilih saya, bahwa dari PDFI yang mempercayai kita disini. Karena banyak kasus yang kita dapatkan, bukan kasus bersifat nasional saja tapi juga ada beberapa kasus Internasional. Dan pertimbangannya yang jelas melibatkan akademisi," ujar dia. Antara