SuaraKalbar.id - Meriam Karbit Pontianak merupakan bagian budaya dan tradisi unik yang umumnya digunakan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
Pada awalnya, Meriam Karbit hanya terbuat dari bambu, tetapi seiring berjalannya waktu, bahan pembuatannya berkembang menjadi pohon pinang, kelapa, dan bahkan menggunakan gelondongan kayu yang sudah tidak terpakai.
Kayu meranti dan mabang dipilih sebagai bahan utama untuk meriam ini, yang bisa memiliki bobot hingga 500 kilogram. Kayu tersebut kemudian diolah dengan mengukir bagian tengahnya dan diberi pelumas agar tahan air dan menghasilkan suara yang kuat.
Proses pembuatan Meriam Karbit melibatkan perajin lokal yang mahir dalam mengolah kayu.
Baca Juga:Pria ODGJ di Pontianak Ditemukan Tewas Gantung Diri di Pohon, Netizen Curiga
Kayu yang telah diolah kemudian disatukan dengan kuat menggunakan rotan sepanjang badan kayu. Untuk menjaga keawetan kayu dan melindunginya dari serangan rayap, kayu ini direndam dalam Sungai Kapuas selama beberapa malam.
Selain itu, kayu meriam dicat dengan warna-warni yang menarik dan sering dibungkus dengan kain berbagai motif, menambahkan unsur estetika pada tradisi ini.
Meriam yang telah siap digunakan diisi dengan sekitar 3-5 ons karbit dan kemudian dinyalakan dengan obor.
Tradisi Meriam Karbit ini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Selain itu ada pula Festival Meriam Karbit ini, yang merupakan acara tahunan yang digelar pada malam sebelum Hari Raya Idulfitri.
Baca Juga:Sejarah Singkat Kota Pontianak yang Rayakan Ulang Tahun Setiap 23 Oktober
Acara ini sangat diminati oleh warga Kota Pontianak, dengan berkumpul di pesisir Sungai Kapuas untuk menyaksikan dan merasakan sensasi mendengar suara meriam yang dinyalakan dengan tangan mereka sendiri.
Pembuatan dan perawatan Meriam Karbit tidaklah murah, sehingga kampung-kampung di sepanjang Sungai Kapuas diketahui melakukan pengumpulan dana secara swadaya.
Meriam Karbit menghasilkan suara yang keras, yang seringkali menarik perhatian para wisatawan.
Wisatawan kerap memiliki kesempatan untuk menyulut meriam ini dengan membayar biaya retribusi kepada panitia penyelenggara.
Pada awalnya, penyulutan meriam dilakukan satu minggu sebelum Idul Fitri, tetapi kemudian diatur dalam peraturan daerah bahwa meriam hanya boleh dibunyikan tiga hari sebelum dan tiga hari sesudah Idulfitri.
Tradisi Meriam Karbit Pontianak memiliki sejarah yang kaya, yang menghubungkannya dengan sosok Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang bangsawan Arab pada abad ke-18. Ketika ia tiba di wilayah Sungai Kapuas, ia menembakkan meriam ke arah Beting, yang merupakan daratan di pinggir sungai.
Hal ini turut menjadi awal dari pendirian Masjid Jami dan kesultanan Kadriah, yang merupakan akar dari berdirinya Kota Pontianak.
Selain cerita tersebut, legenda lain mengaitkan tradisi Meriam Karbit dengan upaya mengusir hantu, terutama kuntilanak, yang menghantui Kota Pontianak pada masa lalu.
Raja pertama Pontianak, Syarif Abdurrahman Alkadrie, menghadapi gangguan hantu ketika membuka lahan untuk pemukiman. Ia memerintahkan pasukannya untuk mengusir hantu tersebut dengan meriam, dan sejak itu, tradisi Meriam Karbit menjadi bagian dari budaya kota ini.