Scroll untuk membaca artikel
Bella
Kamis, 08 September 2022 | 19:42 WIB
Tersangka Irjen Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi saat rekonstruksi pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). [Suara.com/Alfian Winnato]

SuaraKalbar.id - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan mengatakan, hasil uji kebohongan (lie detector) tidak bisa digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.

Oleh karena itu, dirinya meminta kepada Tim Khusus Polri untuk tidak menjadikan hasil uji kebohongan tersangka kasus Ferdy Sambo sebagai alat bukti, melainkan hanya untuk pembanding.

"Jangan menjadikan hasil 'lie detector' tersangka sebagai ukuran kebenaran dalam peristiwa kematian Brigadir J meskipun hasilnya dinyatakan jujur," kata Edi, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (8/9/2022).

Edi mengungkap, hasil 'lie detector' cuma dipercaya 60 persen kepolisian di dunia.

Baca Juga: Polri: AKBP Jerry Raymond Bakal Jalani Sidang Etik Terkait Kasus Ferdy Sambo, Jumat Besok

"Bagi orang yang biasa bohong, dia tidak akan terpengaruh dengan alat kebohongan apapun," tegasnya.

Dalam proses hukum, menurut Edi, polisi sebetulnya tidak harus mesti mendapatkan pengakuan dari tersangka.

"Tetapi yang paling penting, penyidik memiliki bukti bukti pendukung yang cukup sesuai dengan tuduhan pembunuhan berencana Brigadir J," katanya.

Dirinya kemudian memberi saran, agar tim penyidik fokus saja kepada pengumpulan alat bukti yang sah sesuai pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk.

"Kami yakin tim penyidik Polri sudah memahami ini," kata Edi.

Baca Juga: Sinyal Kapolri Sebut Ferdy Sambo Cerita Keluar Perkuat Skenario Bohongnya: Kepada Orang Dianggap Berpengaruh

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol. Dedi Prasetyo menyampaikan bahwa hasil pemeriksaan menggunakan "lie detector" (poligraf) adalah untuk penegakan hukum (projusticia), jadi ada hasil yang bisa disampaikan kepada publik dan ada hasil yang hanya menjadi konsumsi penyidik.

Hal ini, menurut Dedi, karena poligraf sama seperti kedokteran forensik memiliki standarisasi dan sertifikasi yang wajib dipatuhi Puslabfor maupun operator poligraf.

Dedi menilai, ada persyaratan yang sama dengan Ikatan Dokter Forensik Indonesia yang wajib dipatuhi. Poligraf memiliki ikatan (perhimpunan) secara universal yang berpusat di AS.

Dia memaparkan, puslabfor memiliki alat poligraf yang sudah terverifikasi dan tersertifikasi, baik itu ISO maupun perhimpunan poligraf di dunia.

Adapun Puslabfor Polri, memiliki alat poligraf buatan AS tahun 2019 yang memiliki tingkat akurasi 93 persen dengan syarat akurasi 93 persen maka hasilnya digunakan untuk penegakan hukum.

“Kalau (hasil uji) di bawah 90 persen tidak masuk dalam ranah projusticia,” katanya.

Jika hasil poligraf masuk ranah projusticia, menurut Dedi, maka hasilnya diserahkan ke penyidik. Lalu penyidik yang berhak mengungkapkan kepada media, termasuk penyidik bisa menyampaikan di persidangan.

“Karena poligraf tersebut bisa masuk dalam Pasal 184 KUHAP (tentang alat bukti yang sah menurut sistem peradilan pidana) ya alat bukti, selain petunjuk juga termasuk dalam keterangan ahli,” terangnya. Antara

Load More