Peristiwa Mangkok Merah, Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa di Kalimantan Barat

Mangkok merah simbol akan dimulainya perang.

Husna Rahmayunita
Senin, 07 Juni 2021 | 15:55 WIB
Peristiwa Mangkok Merah, Tragedi Pembantaian Etnis Tionghoa di Kalimantan Barat
Ilustrasi - Mandau, senjata Suku Dayak dalam peristiwa Mangkok Merah. (dok. istimewa)

SuaraKalbar.id - Peristiwa Mangkok Merah, tragedi pembantaian etnis Tionghoa di Kalimantan Barat yang melibatkan Suku Dayak. Mangkok Merah tragedi berdarah.

Mangkok Merah terjadi pada medio September hingga Desember 1967. Peristiwanya ini merupakan peristiwa penyerangan yang disertai pembunuhan dan pengusiran suku Dayak terhadap warga etnis Tionghoa di pedalaman Kalimantan Barat.

Salah satu tragedi kemanusiaan yang memilukan ini disebut sebagai Peristiwa Mangkok Merah karena mengacu ritual dan adat Suku Dayak.

Mangkok merah merupakan istilah ritual yang digunakan sebagai sarana konsolidasi dan mobilisasi pasukan lintas subsuku yang efektif dan efisien. Hal ini merupakan simbol akan dimulainya perang.

Baca Juga:Ferdinand ke Prabowo Subianto: Mewujudkan Cita-cita Bung Karno Bukan Hanya dengan Patung

Dimulai dari seruan ganyang Malaysia

Pada pemerintahan Orde Lama, sekitar 1963 sampai 1966, Soekarno menyerukan Ganyang Malaysia

Konfrontasi ini dipicu oleh penolakan Indonesia terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang didukung penuh oleh Inggris.

Para etnis Tionghoa yang ada di Kalimantan Utara yang tinggal di perbatasan pun serempak menolak hal tersebut.

Ilustrasi pembunuhan, mutilasi, pembantaian, jenazah, mayat, sadis, penjahat, perampok, pisau (Freedigitalphotos/Toa55)
Ilustrasi pembantaian Mangkok Merah. (Freedigitalphotos/Toa55)

Soekarno pun mengirimkan salah satu menterinya, Oei Tjoe Tat, ke sana untuk menggalang kekuatan warga Tionghoa di sana.

Baca Juga:Bulan Juli, Dua Gerai Giant di Palembang Tutup

Oei Tjoe Tat pun berhasil mengajak para pemuda di Kalimantan Utara dan sekitarnya untuk membentuk beberapa barisan sukarela dan gerilyawan.

Beberapa barisan yang terbentuk antara lain Pasukan Gerilya Rakyat Sarawak (PGRS/Paraku), yang memang didominasi orang-orang Tionghoa di bawah komando seorang perwira Angkatan Darat yang dekat dengan kelompok kiri, yakni Brigadir Jenderal Supardjo.

PGRS/Paraku bahu-membahu bersama TNI dan para sukarelawan Indonesia lainnya menghadapi pasukan Malaysia yang dibantu bala tentara Gurkha, Inggris, dan Australia sepanjang masa konfrontasi.

Setelah Peristiwa 30 September 1965

Merangkum artikel jurnal berjudul “Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat 1967” gagalnya Pemberontakan PKI pada tahun 1965 tidak dimungkiri mengubah peta politik di Indonesia.

Konfrontasi dengan Malaysia pun berakhir dengan adanya perdamaian yang dilakukan pada tahun 1966.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini