Bagi pengunjung yang ingin mencicipi buah langsung, bisa melihat kondisi musim buah tiba. Harga yang ditawarkan cukup murah. Jika biasa di kota harga tiap buah Rp50 ribu, di sekitar Danau Laet hanya Rp5 ribu.
Begitu pun potensi di dalam danau. Jika musim air pasang, sejumlah kelompok nelayan, 5-10 orang, secara swadaya memasang jermal. Alat tangkap ikan yang mengandalkan pasang surut air. Jermal merupakan perpaduan antara sero dan bagan tancap.
"Jika beruntung, satu bagan jermal bisa menghasilkan ikan satu ton lebih," jelas Nikodemus, nelayan setempat.

Danau Laet Menyasar Pengunjung Milenial
Baca Juga:Jalan-jalan ke Kalimantan Barat? Ini Lima Hidangan yang Pantang Terlewat
Pada 2016, Anselmus gencar menawarkan promosi pengembangan Danau Laet menjadi ekowisata.
Silih berganti pergantian kepala daerah, keinginan menjadikan Danau Laet sebagai lokasi ekowisata, tak kunjung terealisasi.
Anselmus tak patah arang. Dia memutuskan berjuang secara mandiri. Menyasar wisatawan milenial, jadilah tempat wisata di Danau Laet seperti sekarang.
Ia menggunakan dana sendiri untuk menghidupkan Danau Laet.
"Bila ditotalkan, ada setengah miliar. Baru saya sadar, membangun ternyata mahal juga, ya?" tanya Anselmus, sembari tertawa kecil.
Baca Juga:Bus Listrik MAB Karya Putra Bangsa, Diharapkan Bisa Mengilhami Anak Sekolah
Anas, Landscape Manager Muller Shcwaner Arabela (MSA), WWF Indonesia, ketika diminta pendapatnya tentang karakter wisatawan milenial menjelaskan, karakter wisatawan milenial adalah mereka yang gemar mencari pengalaman baru. Termasuk wisata petualangan, eksplorasi, dan perjalanan darat atau road trip.