Ritual Balala, Pembatasan Mobilitas dengan Kearifan Lokal ala Suku Dayak

Suku Dayak telah lebih dulu mempraktikkan lockdown

Galih Priatmojo
Minggu, 10 Oktober 2021 | 09:18 WIB
Ritual Balala, Pembatasan Mobilitas dengan Kearifan Lokal ala Suku Dayak
Seniman Suku Dayak membawakan Tari Balian dalam pagelaran kesenian partisipasi Provinsi Kalimantan Barat di Pesta Kesenian Bali ke-34, Taman Budaya Denpasar, Jumat (15/6). (Antara/Nyoman Budhiana)

SuaraKalbar.id - Jauh sebelum istilah pembatasan mobilitas populer selama pandemi Covid-19, suku Dayak ternyata kerap mempraktikkan ritual serupa dengan tak keluar rumah.

Seperti diketahui selama pandemi Covid-19 melanda, muncul kebijakan untuk membatasi aktivitas dengan tak keluar rumah.

Tapi siapa kira ritual untuk tak keluar rumah ternyata telah lama dipraktikkan suku Dayak. Ritual itu disebut dengan ‘Balala’ atau pembatasan mobilitas. Tapi, istilah ini penyebutan kata lokal di kalangan masyarakat adat Dayak.

Dikutip dari insidepontianak.com Balala’ ini sendiri sudah dicatatkan pada tahun 2020 untuk menjadi warisan budaya di Kalimantan Barat.

Baca Juga:Hiasan Kepala Suku Dayak Ramaikan Parade Atlet di Pembukaan PON Papua

Balala sendiri merupakan perayaan adat masyarakat Dayak Kecematan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat.

Menurut Balai Pelestarian Nilai Budaya bahwa Balala’ dilaksanakan setelah upacara Nabo Panyugu dilaksanakan yang dimana bertujuan untuk keselamatan diri manusia/Talino itu sendiri.

Ini juga dilakukan untuk berpantang/balala’ sebelum mereka mulai berladang dan bersawah dilaksanakan, agar terhindar dari hama dan gangguan yang lainnya.

Pantang dari Balala’ Nagari (Lala Tamakng) apabila ada warga dari luar yang masuk maka tidak boleh pulang sebelum berpantang itu selesai dilaksanakan.

Artinya, tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah selama tiga hari tiga malam, atau satu hari satu malam.

Baca Juga:Museum Kalbar Gelar Pameran Alat Musik Khas Suku Dayak dan Melayu Sampai 26 September 2021

Pantang Balala’ Nagari ini bisa juga dilakukan jika ada musibah atau wabah sampar yang sangat luar biasa dampaknya pada Talino atau manusia.

Hal ini bisa dilakukan oleh warga sesuai dengan kesepakatan bersama di satu kampung, kecamatan, kabupaten ini tergantung dari situasinya. Simbol yang dipasang, yaitu daun kelapa muda dan daun Riyuakng.

Daun-daun tersebut dipasang di ujung batas – batas perkampungan atau wilayah yang telah melakukan Pantang Balala’ Nagari ini. Tujuannya, agar orang atau warga luar bisa mengetahui bahwa wilayah tersebut telah melaksanakan upacara Pantang Balala’ Nagari.

Untuk kepentingan hal tersebut maka semua warga baik yang di dalam maupun yang dari luar wajib mematuhinya. Jika ada yang melanggar selain kena sanksi adat hal ini juga akan berdampak pada hasil panen di tahun yang bersangkutan, maka dengan demikian wajib dilaksanakan dan dipatuhi bersama. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini