SuaraKalbar.id - Suasana pagi di sebuah rumah yang berada di bilangan Jalan Tanjung Pura, Pontianak, Kalimantan Barat kental dengan bernuasa perpustakan.
Buku-buku sejarah tersusun rapi dirak-rak lemari dan foto-foto para pejuang terlihat dari berbagai sisi sudut rumah itu.
Para sahabat memanggilnya dengan sebutan Pak Long Udin. Nama sebenarnya adalah Syafaruddin Daeng Usman. Dia merupakan satu di antara peminat sejarah di Kalimantan Barat. Di kediamannya itu, Suara.com mengulik cerita kisah-kisah para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Sembari meminum kopi dan memakan makanan yang dihidangkan, Syafaruddin dengan semangatnya menceritakan kisah-kisah para pejuang terlebih pejuang 45.
Baca Juga:Singgung Pidato Kenegaraan Jokowi, Amnesty International : Jauh dari Harapan, hanya Mengulang
Salah satu pejuang yang diceritakan merupakan putra daerah yang berasal dari Kalimantan Barat bernama Ya' Syarif Umar.
Ya' Syarif Umar adalah salah satu putra Kalimantan Barat yang berjuang di pulau Jawa dalam Gerilya.
Barangkali nama Ya' Syarif Umar tak begitu familiar bagi masyarakat Kalbar meski beliau adalah eksponen angkatan 45 sekaligus legiun veteran Republik Indonesia (LVRI) serta purnawirawan TNI Angkatan Laut (AL).
“Ya' Syarif Umar bersama kawannya bernama Abdul Murat. Kebetulan keduanya ini sama-sama berasal dari Ngabang, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Merekalah dua putra daerah asal Kalbar ini yang ikut dalam peristiwa heroik pertempuran Surabaya,” kata Pak Long Udin kepada Suara.com, Selasa (16/08/2022).
Ya` Syarif Umar merupakan pejuang yang lahir di Ngabang, pada tanggal 12 Desember 1922. Beliau merupakan bangsawan di lingkungan keraton Landak. Pada awalnya, Ya’ Syarif Umar mendapatkan Pendidikan Guru Sekolah Rakyat (PGSR). Pendidikan Sekolah Guru Desa kala itu. Akan tetapi pada saat masuknya invasi militer jepang pada tahun 1941, Ya' Syarif Umar mengikuti tes sekolah calon pelaut yang akan ditempatkan di Makassar.
Baca Juga:5.770 Narapidana di Sulawesi Selatan Dapat Remisi Perayaan Kemerdekaan 17 Agustus 2022
“Lulus lah dia, maka dia diberikan pendidikan di suatu tempat didekat Makassar itu nama daerahnya itu bernama Cappagallu. Tetapi, selama dia di sana bukannya mendapatkan pendidikan, melainkan terlibat langsung dalam pertahanan, karena orang-orang belanda pada waktu itu sudah mau kalah, Ya’ Syarif Umar itu bahu membahu dengan para pejuang Sulawesi Selatan,” ujarnya.
“Dia tak tahu sama sekali kalau Indonesia mau merdeka. Tapi dia dan kawan-kawannya bersama pemuda lainnya yang akan bersekolah di Makassar itu mencarter perahu bugis untuk berlayar ke pulau jawa untuk meneruskan perjuangan, maka melaut lah dia pada September 1944,” sambungnya lagi.
Awal Mula Menjadi Pejuang di Pulau Jawa
Keberangkatan mereka yang hendak menuju pulau Jawa itu akhirnya gagal. Sebab, pada saat itu di sepanjang laut lepas terjadi pengeboman dan penembakan.
“Dia baru bisa meninggalkan daerah Pare-pare pada Juli tahun 1945. Lalu mereka terdampar di Surabaya pada tanggal 18 Agustus,” ceritanya.
Ketika Hendak mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya mereka terkejut dan terenyuh kagum hatinya melihat sepanjang jalan bendera merah putih berdiri tegak berkibar. Sesampainya disana mereka di tempatkan oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) disebuah sekolah bernama Juliana School bekas sekolah Belanda.
“Mereka ditempatkan oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) yang salah satu pendirinya adalah Bung Tomo di sebuah sekolah bekas Belanda daerah Moro Krembangan,” katanya.
Pelaku Sejarah Peristiwa Perobekan Warna Biru Bendera Belanda yang Berkibar di Hotel Yamato
Ya` Syarif Umar bersama dua orang putra Kalimantan Barat lainnya yaitu Imran atau Ya` Muran Saiyan dan Abdul Murat atau Badung ikut dalam kancah revolusi di pulau Jawa.
Di sana lah Ya’ Syarif Umar dan kawan-kawan bergabung dengan Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI). “Setiap malamnya suara Bung Tomo di sini menggelegar membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk angkat senjata,” terangnya.
Pada waktu itu juga, bulan September 1945 terjadi insiden di hotel Yamato berkibar bendera Belanda. Melihat hal tersebut Ya’ Syarif Umar dan kawan-kawan sangat marah. Saat itu Ya’ Syarif Umar sudah menjadi komandan Pleton di Tentara Republik Indonesia (TRI) yang dipimpin oleh Kapten Abdullah.
Pada saat bendera belanda yang dilihatnya berkibar di hotel Yamato itu, Ya Syarif Umar lalu mengangkat Sumpah. Bahkan sumpahnya tersebut dibenarkan dan disaksikan oleh kawan-kawan seperjuangannya yang menceritakan bahwa Ya’ Syarif Umar lah orang yang berani merampas kunci dari komandan belanda itu serta memerintahkan arek-arek Surabaya memukul dan menginjak komandan belanda tersebut.
“Piting lehernya, banting orangnya, injak orangnya dan habisi. Matilah orang yang mengibarkan bendera belanda itu dikeroyok anak-anak surabaya,”ucapnya.
Setelah itu, para Tokoh dan pemuda perjuangan Surabaya mengakui bahwa Ya’ Syarif Umar mempunyai keberanian menumpas orang yang berani mengibarkan bendera Belanda di hotel Yamato itu.
“Mereka menyaksikan dan bilang kepadanya hebat anak Kalimantan ini. Punya keberanian berkelahi hingga membuat mati Knil itu, bahkan anak Kalimantan dianggap orang yang memiliki kedikdayaan,” ungkapnya.
Ya` Syarif juga termasuk satu di antara pelaku sejarah peristiwa perobekan warna biru bendera Belanda yang berkibar di Hotel Yamato, Surabaya.
Ya’ Syarif Umar Putra Daerah Membentuk TNI Angkatan Laut
Pada saat pertempuran Surabaya tahun 1945, Ya’ Syarif Umar memimpin untuk merampas senjata yang ada di Kembang Jepun. Mereka menangkap komandan tempur belanda saat itu. Diwaktu bersamaan, Bung Karno bersama Moh Hatta datang juga diikuti Tokoh lainnya.
Dari kejadian itu, mereka bermufakat membentuk ALRI Divisi 5 yang dikenal dengan Angkatan Laut Republik Indonesia cikal bakal TNI Angkatan Laut. Pada tanggal 10 September 1945, saat itulah mereka mengumumkan secara resmi ALRI Divisi 5 di Tegal.
“Ya’ Syarif Umar merupakan satu-satunya yang menyatakan diri sebagai pendiri ALRI atau sekarang ini TNI Angkatan Laut,” ucap Syafaruddin.
Setelah terbentuk ALRI Divisi 5, Ya’ Syarif Umar tidak meneruskan di Angkatan Laut. Dirinya dibawa oleh sang sahabat untuk menjadi Perwira Angkatan Darat dengan pangkat terakhir sebagai Mayor.
“Dia tidak meneruskan di ALRI tetapi dibawa oleh rekannya untuk menjadi perwira Angkatan Darat,” jelasnya.
Menolak Gabung dengan RIS Menjadi Ketua Ranting Partai Nasional Indonesia
Setelah peristiwa Surabaya, ia pun ikut bergerilya, serta ikut memadamkan pemberontakan PKI di Madiun. Namun, pada tahun 1950 saat Republik Indonesia Serikat, Syarif Umar adalah orang yang menyatakan kecewa dan protes.
“Dia katakan mengapa negara ini menjadi negara serikat? Masih ada bau-bau kolonial belandanya. Kami ini para pejuang bahu membahu berhamburan darah, nyawa, doa dan air mata mempertahankan republik Indonesia harus mengakui kedaulatan RIS. Maka beliau menyatakan mengundurkan diri dengan hormat dari TNI Angkatan Darat,” ujarnya.
Dari kejadian itu, akhirnya Ya’ Syarif Umar pindah dari Surabaya ke Jakarta. Di Jakarta ia menjadi ketua Ranting Partai Nasional Indonesia. Disini jugalah Ya’ Syarif Umar diangkat sebagai staff Pelayaran Laut Nasional Indonesia (PELNI).
Cikal Bakal Asrama Mahasiswa Pontianak Bernama Rahadi Oesman di Yogyakarta
Pada Tahun 1955, Ya’ Syarif Umar juga ikut memperhatikan bahwa Kalimantan Barat belum menjadi Provinsi pada waktu itu. Dia merasa heran, sebab para pelajar yang ada di Pontianak waktu itu hanya menimbah ilmu hingga sekolah menengah pertama saja, tidak melanjutan sekolah kejenjang tingkat atas.
Dari sini, dia berinisiatif pergi ke Yogyakarta yang juga kebetulan untuk mengajak beberapa Tokoh Kalimantan lainnya yang sudah berada di sana meminta bekas rumah pejabat tinggi belanda yang ada di Bintaran Tengah diserahkan untuk menjadi asrama pelajar Kalimantan Barat. Tetapi hal ini justru tak direspon. Ya’ Syarif Umar dengan memegang senjata api pergi sendiri untuk meminta rumah tersebut.
Dari sinilah cikal bakal Keluarga Pelajar Mahasiwa Kalimantan Barat (KPMKB) yang sekarang menjadi asrama Rahadi Oesman Yogyakarta.
“Mengapa pelajar-pelajar kita ini cuma bisa tamat SMP dan tidak melanjutkan ke jenjang SMA di Pontianak waktu itu, pulanglah dia ke Yogyakarta untuk meminta bekas rumah pejabat tinggi belanda yang ada di Bintaran Tengah diserahkan untuk menjadi asrama pelajar Kalimantan Barat, itulah cikal bakal asrama pelajar Pontianak yang berada di Yogyakarta,”ceritanya.
“Alumni pertama yang menghuni asrama itu ada 3 orang, keponakannya sendiri yakni Mahmud Akil yang kini menjadi Profesor, Fattah Rahman Nur kini menjadi dokter, dan satunya lagi Mas'ud Abdullah adalah mertua Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono,” sambungnya.
Kembali ke Kampung Halaman Kalimantan Barat Mendirikan UNTAN
Setelah berhasil mendirikan asrama mahasiwa pelajar Kalimantan Barat di Yogyakarta, Ya’ Syarif Umar akhirnya pulang ke Kalimantan Barat. Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, ia tak tinggal di Pontianak, melainkan pulang ke Ngabang, Kabupaten Landak hingga menyempatkan diri untuk setiap waktu berziarah ke makam kedua orang tuanya.
“Banyak pengalaman besar beliau ini dari pengalaman bertempur di Surabaya, Gerilya, Pengalaman dia dengan Tokoh-Tokoh Jakarta Raya, Bahkan dengan Bung Karno dia Sangat dekat,” ucap Syafaruddin.
Semangat nasionalisnya patut diacungi jempol. Ia kembali ke Pontianak untuk mengajak para tokoh-tokoh Kalimantan Barat mendirikan sebuah universitas. Universitas itulah yang sekarang ini dinamai Universitas Tanjung Pura (UNTAN). Ya’ Syarif Umar salah satu tokoh penting dan merupakan pendiri Universitas Tanjung Pura.
Sebelum bernama UNTAN, Sekolah tinggi ini diberi nama Univesitas Daya Nasional. Sebab ada dua unsur nama yang disatukan pada waktu itu juga turut ikut serta mendirikannya.
Wafat di Pontianak
Ya` Syarif wafat tahun 1998 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dharma Patria Jaya di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Meskipun pernah menjadi pejabat negara, namun Ia lebih memilih hidup sederhana. Hal itu merupakan prinsip dalam hidupnya yang dipegang teguh hingga akhir hayatnya.
Ya’ Syarif Umar juga mendapatkan kehormatan diberi gelar Anumerta Letnan Kolonel.
Ada dua sikap hidup yang selalu beliau dengungkan, yang pertama hidup sederhana tapi berpikir luhur, dan kedua perjuangan adalah ibu dan bapak dari segala-galanya.
“Ketika Ya’ Syarif Umar wafat, secara kenegaraan sekretariat negara RI menyatakan berbela sungkawa kepada beliau. Maka dari itu, beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dharma Patria Jaya,” pungkasnya.
Kontributor: Diko Eno