Bahkan sudah ada warga yang membuat Surat Pernyataan, bahwa tidak pernah membuat permohonan atau membuat SKT kepada Pemerintah Desa.
“Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengurus lahan yang terletak di Pulau Gelam Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri kepada saudara Nono Romansyah,” kata Arpa’i membacakan surat pernyataannya begitu juga hal yang sama disamaikan oleh Kamal.
Dijelaskan oleh Arpa’i dan Kamal, bahwa Nono Romansyah waktu itu merupakan Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri yang dipercaya oleh pihak Desa untuk mengumpukan surat kuasa atau surat permohonan penerbitan SKT.
Dalam penerbitan SKT ini, ada dugaan pihak Pemdes Kendawangan Kiri tidak transparan ke publik, bahkan kepada warga yang namanya tercatut dalam SKT yang hingga saat ini tidak diperlihatkan dokumen fisiknya. Selain tidak mendapat dokumen fisik, warga juga mendengar selentingan tak sedap terkait besaran uang pembayaran SKT tersebut.
Baca Juga:Pelaku Pencurian Sawit Nekat Tembak Polisi di Ketapang, Begini Kondisinya
Hanya saja, seorang warga bernama Sumia (50) yang dibuatkan SKT hanya diberikan uang sebesar Rp1 juta sebagai uang gantinya. Padahal dalam pembelian SKT tersebut, berdasakan keterangan dari pihak Pemdes Kendawangan Kiri sebesar Rp7 juta perorang.
“Ada dapat uang sejuta. SKT-nya tidak ada dilihatkan. Tidak kenal dengan orang yang menawarkan SKT,” kata Sumia (50) selaku Warga Pulau Cempedak, Desa Kendawangan Kiri yang pernah menerima uang pengganti SKT.
Padahal warga sangat menginginkan melihat secara langsung dokumen fisik SKT yang diterbitkan itu, mengingat sudah puluhan tahun memiliki tanah di Pulau Gelam.
“Ada lahan dan kebun di Gelam, orang tua kuburannya di sana,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Lima (45) Warga Pulau Cempedak, bahkan kata Lima dalam penerbitan SKT ini sempat terjadi perselisihan.
Baca Juga:Hadir di Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud, Ini Pesan Ahok untuk Anak Kalimantan
“(dulu) Surat menyurat (legalitas tanah) memang tidak diperhatikan. Ada dapat pembayaran global. Tidak ada terima (melihat berkas SKT). Sebagian (warga) dapat sebagian tidak,” ucapnya.
“(ada) Yang berkelahi (berselisih_red. Berkelahi tidak secara fisik) karena hal itu ( Silaturahmi pecah) Kalau bisa jangan sampai terpecah karena itu. Saya juga ingatkan adik untuk tidak berkelahi karena hal itu,” timpal Lima.
Eksplorasi Tambang
Kejadian ini berawal dari masuknya perusahaan pertambangan atau pengerukan pasir kuarsa oleh PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM) yang mulai melakukan eksplorasi sebagai sampel untuk ekploitasi di Pulau Gelam Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Masuknya perusahaan tambang ini disertai adanya perampasan lahan milik warga bahkan diduga ada jual beli lahan kepada perusahaan tambang oleh beberapa oknum.
Dugaan Pulau Gelam yang dijual kepada pelaku usaha pertambangan dengan modus penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri di atas Pulau Gelam atas nama sekelompok orang atau masyarakat yang kemudian dijual kepada pelaku usaha pertambangan di Pulau Gelam tersebut.
Penerbitan SKT tersebut diduga bertujuan sebagai syarat sebagai kepentingan ekplorasi Pulau Gelam. Demi beroperasinya perusahaan tambang, mereka pun diduga merampas lahan milik warga dengan modus penerbitan SKT baru di atas lahan milik warga.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba lama), Pasal 134 dikatakan bahwa Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. Pasal 138 UU Minerba lama yang juga menyatakan IUP, IPR, dan IUPK tidaklah termasuk hak atas tanah permukaan bumi. Oleh karena itu, industri pertambangan wajib melakukan pengadaan tanah.