SuaraKalbar.id - Tradisi meriam karbit, yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan malam takbiran menjelang Hari Raya Idul Fitri di Kota Pontianak, kini menghadapi tantangan pelestarian.
Warga pesisir Sungai Kapuas, yang selama ini menjaga warisan budaya ini, mengharapkan dukungan pemerintah berupa subsidi pembelian bahan dasar, khususnya batu karbit, serta pengadaan bahan baku seperti kayu balok dan rotan.
Harapan ini disampaikan oleh Ketua Kelompok Meriam Asopwa Nurul Hidayah, Muhammad Andri, yang mewakili aspirasi para pelaku tradisi tersebut.
“Subsidi pembelian karbit sangat kami harapkan, karena ini adalah bahan peledak utama yang membuat meriam karbit bisa berdentum. Selain itu, kami juga membutuhkan bantuan pengadaan balok kayu dan rotan agar tradisi ini tetap berlangsung,” ujar Andri kepada awak media belum lama ini.
Baca Juga:3 Eks Pejabat Bank Kalbar Jadi Buronan Kejati dalam Kasus Korupsi Pengadaan Tanah
Ia menegaskan bahwa meriam karbit bukan sekadar permainan, melainkan simbol kegembiraan dan identitas budaya masyarakat pesisir Sungai Kapuas yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak 2015.
Menurut Andri, proses pembuatan meriam karbit sudah dimulai oleh para pemain setempat menjelang Ramadan.
Namun, kelangkaan bahan baku, terutama kayu balok berkualitas seperti kayu mabang atau meranti, menjadi kendala utama.
“Sekarang banyak yang beralih ke pipa paralon karena kayu semakin sulit didapat. Tapi, paralon tidak seefektif kayu balok dalam menghasilkan dentuman yang khas. Kami harap pemerintah bisa mempermudah pengadaan kayu ini,” tambahnya.
Ia juga menyebut bahwa harga karbit yang terus naik turut membebani para pelaku tradisi, sehingga subsidi dari pemerintah dinilai sangat mendesak.
Baca Juga:Dompet Dhuafa hingga BAZNAS Kini Hadir di BRImo, Berzakat & Sedekah Makin Mudah
Sejarah Meriam Karbit di Pontianak

Tradisi meriam karbit memiliki akar sejarah yang kuat di Pontianak, terkait dengan berdirinya kota ini pada abad ke-18. Berdasarkan catatan sejarah yang dikutip dari situs resmi Pemerintah Kota Pontianak, tradisi ini berasal dari masa Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak pada 1771.
Konon, saat menyusuri Sungai Kapuas untuk mencari lokasi strategis membangun kota, rombongan sultan kerap diganggu oleh makhluk halus yang diyakini sebagai kuntilanak.
Untuk mengusir gangguan tersebut, sultan memerintahkan pasukannya menembakkan meriam ke arah daratan.
Ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa meriam digunakan untuk mengusir bajak laut yang mengancam keselamatan pedagang di sungai.
Seiring waktu, penggunaan meriam berkembang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Pada masa lalu, dentuman meriam tak hanya menjadi alat komunikasi untuk menandakan waktu salat, sahur, atau berbuka puasa, tetapi juga sebagai ekspresi kegembiraan menyambut hari besar Islam, khususnya Idul Fitri.
Menurut Ahmad Sofian, penulis buku Meriam Karbit, Menjaga Tradisi, Memberi Identitas, permainan ini menjadi simbol peradaban masyarakat tepian Sungai Kapuas dan identitas budaya yang unik, yang hanya ditemukan di kampung-kampung tua di Pontianak.
Awalnya, meriam dibuat dari bambu, tetapi seiring perkembangan zaman, bahan berubah menjadi kayu balok berdiameter 50-70 cm dan panjang 5-7 meter.
Proses pembuatannya melibatkan gotong royong, mulai dari melubangi kayu, melilitnya dengan rotan, hingga mengisinya dengan karbit yang dicampur air untuk menghasilkan gas asetilen—bahan yang memicu dentuman keras saat disulut api.
Tantangan dan Harapan Pelestarian
Andri menekankan bahwa meskipun tradisi ini sarat nilai budaya, tantangan pelestarian semakin nyata.
Selain kelangkaan kayu, biaya produksi meriam yang mencapai jutaan rupiah per unit menjadi beban tersendiri bagi komunitas.
“Kami sangat bergantung pada donatur dan gotong royong warga. Kalau ada subsidi karbit dan bantuan balok dari pemerintah, beban ini bisa berkurang,” ungkapnya.
Keamanan juga menjadi perhatian utama dalam pembuatan dan penggunaan meriam karbit. Andri menegaskan bahwa kelompoknya selalu mengutamakan prosedur keselamatan.
“Kami sangat berhati-hati, mulai dari takaran karbit hingga penyulutan. Kami tidak ingin ada kejadian yang tidak diinginkan,” katanya.
Meski berisiko, ia yakin tradisi ini bisa terus lestari jika didukung dengan regulasi dan bantuan yang tepat.
Lebih jauh, Andri berharap pemerintah tidak hanya memberikan bantuan materi, tetapi juga menjadikan meriam karbit sebagai agenda tetap pariwisata.
“Kami ingin anak-anak muda mengenal dan belajar membuat meriam dengan cara yang aman. Ini bukan cuma tradisi, tapi juga warisan yang harus dijaga untuk generasi mendatang,” tutupnya.
Eksibisi meriam karbit yang rutin digelar setiap malam takbiran di sepanjang Sungai Kapuas selalu menarik perhatian wisatawan.
Dengan dukungan pemerintah dan masyarakat, tradisi ini diharapkan tetap hidup, menjadi magnet budaya yang memperkuat identitas Pontianak.