Kemudian, Pasal 135 UU Minerba lama menyatakan bahwa Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Artinya, pihak industri pertambangan harus melakukan persetujuan dan mencapai kesepakatan terkait pengakuisisian tanah tersebut.
Kemudian, di tahap persiapan penambangan, industri pertambangan wajib menyelesaikan peralihan Hak atas Tanah (HAT) dengan pemegang HAT tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 136 UU Minerba lama. Apabila kedua prosedur tersebut tuntas dilakukan, maka menurut Pasal 137 UU Minerba lama, Industri pertambangan dapat diberikan HAT. Bentuk-bentuk perolehan HAT tersebut. Diantaranya Pertama, apabila pemegang HAT adalah negara, maka perolehannya adalah Izin. Kedua, apabila pemegang HAT adalah masyarakat adat, maka perolehannya adalah izin/kesepakatan. Ketiga, apabila pemegang HAT adalah privat, maka perolehannya adalah melalui jual beli, pinjam pakai, kerja sama, sewa, dan/atau tukar menukar.
Warga Terdampak
Kehadiran perusahaan pertambangan atau pengerukan pasir kuarsa oleh PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM) yang sudah melakukan eksplorasi sebagai sampel untuk ekploitasi di Pulau Gelam mendapat penolakan banyak pihak, mulaidariwarga sekitar, nelayan, tokoh masyarakat hingga beberapa organisasi masyarakat.
Haryanto kesehariannya sebagai nelayan menerangkan, karena dirinya sudah sejak lama memiliki tanah di Pulau Gelam, Haryanto menegaskan, bahwa dirinya menolak kehadiran perusahaan tambang yang akan masuk di Pulau Gelam.
Baca Juga: Pelaku Pencurian Sawit Nekat Tembak Polisi di Ketapang, Begini Kondisinya
Menurut Haryanto, kehadiran perusahaan tambang ke Pulau Gelam hanya akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan hingga menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan.
“Informasi ada masuk tambang cuman kita kan enggak tahu. Kalau untuk perusahaan belum ada. Cuman kita kan belum punya SKT, jadi enggak bisa mengizinkan sepenuhnya lah, kan kita yang punya hak. Kalau dijadikan tambang, kita kurang setuju masalahnya pulau itu akan habis untuk generasi kedepannya, enggak ada lagi. Penghasilan juga akan berkurang, karena disana jadi pusat penghasilan masyarakat terutama nelayan,” ucap pria kelahiran Kedawangan tahun 1988 itu.
Warga menilai, kehadiran perusahaan tambang ini hanya akan membawa kabar buruk bagi para warga termasuk para nelayan.
“Sekarang pendapatan mulai berkurang, karena air mulai tercemar karena racun dari perusahaan sawit dari pulau bawal, apalagi jika misalnya Pulau Gelam ini ditambang, sehingga mengkhawatirkan kami, bahkan kalau saya itu rugi dua kali, pertama unti di daratan, lahan saya akan habis, kedua saya tidak bisa nelayan, karena air sudah tercemar,” kata Suparyanto yang bekerja sebagai nelayan di kawasan pulau Gelam.
Atas ancaman itu, Suparyanto mengharapkan agar Pulau Gelam dibiarkan dengan kondisi alam yang asri, tanpa merusaknya.
Baca Juga: Hadir di Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud, Ini Pesan Ahok untuk Anak Kalimantan
“Maka kami mengharapkan jangan sampai pulau itu (pulau gelam) ditenggalamkan, karena kan kalau tambang masuk, maka sengaja pulau itu ingin ditenggelamkan,” ucapnya.
Satu diantara tokoh masyarakat Kendawangan Ketapang H. Asmuni menilai, bahwa Pulau Gelam merupakan lumbung bahkan pusat bagi para nelayan untuk menangkap ikan, udang dan lainnya. Hal tersebut, kemudian diperkuat setelah beberapa pulau di Kendawangan di dekat Pulau Gelam yaitu Pulau Bawal yang sudah tercemar akibat limbah perusahaan sawit.
“Jadi Pulau Gelam sudah menjadi sumber pendapatan nelayan. Jika ada yang bilang tambang memberikan dampak positif, memberikan lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekonomi masyarakat, itu sangat kecil, karena jika ditambang maka pulau itu akan cepat habis,” tegasnya.
Oleh sebab itu, dirinya menolak berbagai bentuk apapun masuknya perusahaan tambang dan lainnya yang akan merusak Pulau Gelam.
“Pertama karena Pulau Gelam itu daerah konservasi, kedua kalau tambang itu otomatis di mana-mana akan merusak lingkungan sehingga pulau itu bisa tenggelam, karena mereka (pelaku usaha tambang) bikin sampel itu paling dalam 18 meter dan paling dangkal 13 meter buat lobang dan itu sudah banyak,” katanya.
Dengan demikian, hadirnya perusahaan yang akan merusak Pulau Tambang dinilai hanya akan mengganggu kelestarian alam di sana. Selain itu, juga akan mengganggu ketentraman masyarakat sekitar.
Berita Terkait
-
Pelaku Pencurian Sawit Nekat Tembak Polisi di Ketapang, Begini Kondisinya
-
Hadir di Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud, Ini Pesan Ahok untuk Anak Kalimantan
-
Begini Kondisi Jalan di Ketapang, Rusak Parah hingga Mobil Amblas
-
PJ Gubernur Harisson Ajak Warga Pilih Capres yang Dukung IKN, Netizen: NETRAL Sekali Anda!
-
Kronologi Kecelakaan Maut Antara Ambulans dan Truk Box di Jalan Trans Kalimantan
Terpopuler
- Eks Pimpinan KPK: Ustaz Khalid Basalamah Bukan Saksi Ahli, Tapi Terlibat Fakta Kuota Haji
- Jahatnya Sepak Bola Indonesia, Dua Pemain Bidikan Persija Ditikung di Menit Akhir
- 5 Rekomendasi Bedak Tahan Air dan Keringat Murah: Anti Luntur Sepanjang Hari
- Klub Impian Masa Kecil Jadi Faktor Jay Idzes Terima Pinangan Aston Villa
- 6 Mobil Bekas 7 Seater Termurah: Nyaman untuk Keluarga, Harga di Bawah Rp 70 Juta
Pilihan
-
Bocor! Jordi Amat Pakai Jersey Persija
-
Sri Mulyani Ungkap Masa Depan Ekspor RI Jika Negosiasi Tarif dengan AS Buntu
-
Olahraga Padel Kena Pajak 10 Persen, Kantor Sri Mulyani Buka Suara
-
Sering Kesetrum Jadi Kemungkinan Alasan Ade Armando Dapat Jatah Komisaris PLN Nusantara Power
-
Sosok Chasandra Thenu, Selebgram Ambon Akui Dirinya Pemeran Video Viral 1,6 Menit
Terkini
-
Pemutihan Pajak Kendaraan di Kalbar Dimulai: Bebas Denda, Diskon Hingga 50%!
-
BRI Komitmen untuk Perkuat Kontribusi terhadap SDGs dengan Berbagai Pencapaian
-
Tangguh Hadapi Persaingan, UMKM Kuliner Binaan BRI Ekspansi ke Pasar Internasional
-
Gandeng CIC Untan, Aston Pontianak Gelar 'Fun Chem 2025', Liburan Seru dan Edukatif untuk Anak-anak
-
Kualitas Udara Pontianak Memburuk, Wali Kota Imbau Warga Kurangi Aktivitas Luar Ruangan