Scroll untuk membaca artikel
Bella
Sabtu, 10 Februari 2024 | 15:00 WIB
Dugong. [AAMP / AFP]

SuaraKalbar.id - Pulau Gelam, sebuah pulau kecil yang terletak di pesisir Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Namun, di balik keindahan dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, terdapat kisah kelam yang mengancam keberlangsungan salah satu spesies laut langka, yaitu dugong.

Untuk usia separuh baya dengan kulit cokelat terbakar sinar matahari, Dul Ahyar (70) masih tampak bugar. Hanya kakinya sudah 20 hari ini sakit. Dia tak merinci apa keluhannya. Dul bilang, Ia pernah bertemu dengan dugong ketika sedang mencari tangakapan di sekitar Pulau Gelam.

“Kalau lihat duyung, atau dugong, pernah, tapi kalau nangkap nda pernah. Biasanya saya lihat duyung itu di malang buaya dan malang duyung. Besarnya juga bermacam-macam. Orangtua zaman dulu bahkan sering nangkap dugong karena belum dilindungi. Dulu mereka memburunya pakai tombak,” tutur Dul ketika ditemui di pondok singgahnya di Pulau Gelam.

Dul Ahyar bersama keluarganya. (Tim Investigasi)

Malang, dalam bahasa lokal, bermakna batu, dan dua batu ini dikenal sebagai Malang Buaya dan Malang Duyung. Malang Buaya terletak di depan Pulau Gelam dimana nelayan setempat sering melihat buaya disekitar sana. Sedangkan Malang Duyung letaknya tak jauh dari Pulau Gelam, dan berdasarkan kesaksian nelayan pernah melihat dugong disana.

Baca Juga: Praktik Pasir Kuarsa Rempang di Pulau Kalimantan

Walau sakit kakinya, Dul masih masih kuat untuk mencari ikan. Selain mencari ikan, Dul bersama anaknya juga sering membuat kapal dari kayu gelam, pepohonan yang menjadi cikal bakal nama Pulau Gelam.

“Susah liat duyung. Kalau dicari takde, kalau nda dicari ade,” lanjutnya, dalam dialek Melayu.

Dugong merupakan mamalia laut pemalu yang semi soliter, yakni tidak berkelompok dan biasanya hanya berkumpul bersama anakan. Sejauh ini, di Kalimantan Barat hanya di Kendawangan yang berpotensi menjadi habitat dugong karena memiliki perairan dangkal dan padang lamun, serta tingkat kejernihan air yang tinggi.

Samsul (41) juga mengatakan bahwa ia pernah melihat dugong di Pulau Gelam ketika ia sedang mencari tangkapan disana.

Pulau Gelam merupakan salah satu pulau yang menjadi tujuan utama nelayan Kendawangan untuk mencari hasil tangkapan, terutama lobster dan ranjungan. Terletak di kawasan pesisir Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Pulau Gelam memiliki berbagai keanekaragaman hayati seperti mangrove, padang lamun, serta menjadi habitat spesies langka terkhususnya dugong.

Baca Juga: Modus Menggangsir Penerbitan SKT Pulau Gelam

Dugong merupakan jenis mamalia laut yang termasuk dalam ordo Sirenia dan dapat dijumpai di wilayah perairan Indonesia, walaupun dengan frekuensi yang relatif rendah. International Union for Conservation Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan dugong ke dalam red list karena statusnya yang tergolong langka.

Pulau Gelam, ditempuh selama dua jam dari Pulau Cempedak. Pulau Cempedak adalah salah satu pulau yang kini didiami masyarakat nelayan pesisir. Cuaca saat itu agak mendung dengan gelombang yang cukup tinggi. Dari kejauhan, Pulau Gelam nampak memiliki hutan lebat dengan mangrove yang tebal.

Pasir putih juga terbetang disepanjang pesisir pantai. Perairannya jernih sehingga bisa melihat lamun secara mata telanjang: bayangan hitam di bawah permukaan laut yang bergerak mengalun ombak. Tak jauh dari pantai, tampak beberapa penyu-penyu muncul untuk mengambil nafas setelah mencari makan.

Ukurannya beragam. Ada yang besar, dan ada pula yang baru melewati usia tukik. Tidak jauh dari Pulau Gelam, terdapat sebuah tempat kecil berpasir yang disebut oleh masyarakat disana dengan Malang Duyung. Berdasarkan kesaksian nelayan yang sering melaut di Pulau Gelam, mereka sering melihat dugong disana.

“Dulu sebelum ada larangan, kalau tidak sengaja tertangkap dugong akan dimakan. Ketika sudah dilarang tidak pernah menangkap lagi. Sekarang, kalau tidak sengaja tertangkap pasti dilepas lagi,” ucapnya.

Spanduk yang dipasang BPSPL di Pulau Cempedak. (Tim Liputan Investigasi)

Ada sebuah dogeng mengenai dugong yang terbangun di masyarakat Pulau Cempedak dan sekitarnya. Dulu, ada seorang istri nelayan yang sedang hamil dan mengidam memakan buah lamun. Sang istri menyatakan keinginannya kepada sang suami namun kala itu suami tidak sempat untuk memenuhi keinginan istrinya.

Akhirnya, sang istri seorang diri pergi untuk mencari buah lamun di sekitar pulau. Terlalu nikmat menyantap buah lamun, sang istri tidak menyadari bahwa hari semakin gelap dan air sudah semakin naik. Niat hatinya ingin pulang ke rumah, nyatanya kaki sang istri sudah berubah menjadi ekor dan akhirnya ia berubah menjadi duyung.

Maka, ada sebagian warga yang tidak ingin menyakiti duyung karena dulu merupakan bagian dari masyarakat setempat. Namun, seiring dengan waktu duyung bahkan pernah diburu dan disantap masyarakat setempat, karena mereka meyakini cerita itu hanya mitos.

Bawa Keberuntungan

Dwi Suprapti selaku Marine Megafauna Specialist justru mengatakan bahwa suatu keberuntungan jika ada dugong di suatu daerah karena populasinya yang langka dan sedikit.

“Ada padang lamun belum tentu ada dugong, jadi ketika dugong mau residensi disana maka sebuah keberuntung untuk daerah tersebut,” ungkapnya.

Dengan tingkat populasi yang rendah, ternyata dugong juga merupakan salah faktor yang membantu penyuburan ekosistem lamun dari cara makan dan membuang kotorannya. Saat mencari makan, dugong akan mencangkul pasir disekitar lamun sehingga akan mengangkat nutrisi dan membuat tanah menjadi subur. Biji-biji dari lamun yang keluar dari kotoran dugong juga menjadi salah satu penyebaran bibit-bibit untuk menumbuhkan lamun baru.

“Semakin subur lamun, maka semakin banyak yang bisa memanfaatkannya. Terutama ikan-ikan kecil yang membutuhkan lamun sebagai tempat pemijahannya. Jika lamun tumbuh subur dan ikan-ikan banyak yang memijah disana, maka yang untung juga manusia,” ungkap Dwi.

Dwi juga menegaskan bahwa dugong memiliki nilai ikonik dan populasi yang langka. Apalagi tidak disetiap tempat dugong mau muncul dan kelihatan. Ketika dugong masih mau kelihatan maka artinya dia belum terganggu dan masih nyaman di tempat tersebut.

“Ketika nanti sudah ada gangguan, dugong tidak mau muncul lagi,” tegasnya.

Sekar Mira, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyoroti pentingnya pemahaman terkait eksplorasi sumber daya mamalia laut di Pulau Gelam, termasuk kehadiran dugong. Dalam pandangannya, kondisi mamalia laut di daerah tersebut mencerminkan sejauh mana lingkungan setempat berada dalam keadaan baik atau buruk.

"Jadi sebenarnya kondisi dari mamalia laut itu akan menjadi gambaran seberapa baik dan seberapa buruk lingkungan yang ada disana. Tentu saja ketika mereka terancam bahaya atau ada polusi yang membahayakan mereka, itu sama saja tidak aman juga untuk kita," ungkap Sekar.

Penelitian terhadap nilai ekologis lamun juga menjadi fokus Sekar. Lamun bukan hanya tempat tumbuhnya berbagai spesies laut, tetapi juga berfungsi sebagai nursery ground, yaitu area khusus di lingkungan perairan yang mendukung reproduksi dan pertumbuhan awal spesies ikan dan makhluk hidup lainnya. Selain itu, Sekar menyoroti peran koridor ekosistem, jalur penghubung antar habitat alami, yang mendukung pergerakan berbagai spesies.

"Nursery Ground sendiri merujuk pada area khusus di lingkungan perairan yang biasa dilakukan di habitat seperti terumbu karang, padang lamun, atau mangrove yang berfungsi sebagai tempat utama bagi spesies ikan dan makhluk hidup lainnya. Sedangkan koridor ekosistem berfungsi untuk menyediakan jalur pergerakan bagi berbagai spesies dan memungkinkan aliran genetik antara populasi yang terisolasi," jelas Sekar.

Sekar menekankan bahwa kerugian yang terjadi pada habitat lamun harus diimbangi dengan pendekatan kompensasi, seperti mendefinisikan kawasan alternatif yang dapat menjaga keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam terhadap nilai ekologis lamun dan langkah-langkah kompensasi yang tepat menjadi kunci dalam menjaga keberlanjutan lingkungan di Pulau Gelam.

Penampakan lamun di Pulau Gelam. (Tim investigasi)

Berdasarkan Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPZ) Kendawangan, Pulau Gelam ditemukan memiliki luas padang lamun yang mencapai 1.211,434 hektar di bagian barat dan 238,075 hektar di bagian utara. Informasi ini menggambarkan kekayaan sumber daya alam di wilayah tersebut, namun sayangnya, keadaan padang lamun di Pulau Gelam dianggap kurang sehat.

Jenis lamun yang terdapat di Pulau Gelam ada tujuh yakni Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum dengan jenis yang mendominasi adalah Enhalus acoroides. Kondisi kurang sehat dari padang lamun ini menjadi perhatian serius, mengingat perannya yang sangat penting dalam ekosistem laut. Padang lamun di Pulau Gelam tidak hanya menjadi habitat bagi berbagai jenis lamun, tetapi juga memiliki fungsi sebagai daerah memijah dan bertumbuh (spawning and growing ground) bagi berbagai biota laut, khususnya ikan.

Masuknya Perusahaan Tambang di Pulau Gelam

Sayangnya, saat ini Pulau Gelam menghadapi ancaman karena adanya pemberian izin usaha pertambangan pasir kuarsa. Berdasarkan laporan masyarakat yang terlibat dalam industri pertambangan, terdapat 150 titik galian dengan kedalaman mencapai 6 meter.

Menurut Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada dua perusahaan, yaitu PT Sigma Silica Jayaraya (PT SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (PT ITM), yang telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk tambang pasir kuarsa yang mencakup hampir seluruh Pulau Gelam.

Perlu dicatat, kebijakan Pemerintah Indonesia telah menetapkan sebagian Kecamatan Kendawangan sebagai kawasan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/1993 yang dikeluarkan pada 4 November 1993. Selain itu, pada tahun 2020, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 91/KEPMEN-KP/2020 menetapkan perairan dan pulau sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Meski demikian, Pulau Gelam juga termasuk dalam wilayah zona inti dan zona pemanfaatan terbatas sesuai dengan kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya. Data pemetaan melalui Google menunjukkan bahwa luas Pulau Gelam adalah sekitar 28 kilometer persegi, sehingga Pulau Gelam dapat dikategorikan sebagai pulau kecil berdasarkan ukurannya.

IUP yang dimiliki oleh perusahaan pun masih menjadi skandal karena sebagian masyarakat yang memiliki tanah di Pulau Gelam merasa bahwa tidak pernah mengajukan pembuatan Surat Kepemilikan Tanah (SKT).

Hartono, salah satu masyarakat Pulau Cempedak yang menghabiskan masa kecilnya di Pulau Gelam, merasa keberatan dengan masuknya perusahaan pertambangan. Selain menjadi tempat umum nelayan untuk mencari hasil tangkapan, disana juga merupakan pulau dengan padang lamun yang cukup padat dan juga habitat dugong.

“Beberapa tahun yang lalu, sebelum perusahan masuk di Pulau Bawal, dari timur sampai ke selatan itu lamunnya sangat tebal sekali. Sekarang ketika kemarin kita coba ambil bibit, yang tersisa hanya jenis Cymodocea serrulata. Sejauh ini pemikiran kami setelah adanya perusahaan, lamun sudah mulai punah,” tuturnya.

Lanjut, Hartono juga mendeskripsikan bahwa sebelum adanya perusahaan di Pulau Bawal, lamun disana sangat tebal hingga buahnya itu sampai mengambang di atas air. Bahkan untuk lepeh, atau kapal, ketika ingin menepi harus menggunakan dayung karena baling-baling mesin akan terjerat oleh lamun.

“Perkiraan kami karena adanya perusaan membuat lamun tersebut hilang karena limbah mereka,” katanya.

Arie Antasari Kushadiwijayanto, Dosen Ilmu Kelautan UNTAN, menyebutkan, adanya aktivitas pertambangan yang masif maka aku menambah material tersuspensi di air sehingga bisa membahayakan ekosistem disana.

“Terutama pelepasan sedimen ke laut, yang otomatis di sekitar Pulau Gelam akan terdampak karena zona inti ada di kawasan perairan. Untuk persentase sedimen bekas tambang itu saja kita tidak tahu dan tergantung jumlah pelepasan dan unsur sehingga bisa saja ada logam-logam berat yang sebenarnya bawaan alami,” jelasnya.

Selain itu, Arie juga menambahkan, bisa saja ada zat-zat di tanah yang terbawa ketika proses pertambangan.

“Jika sedimen zat-zat radio aktif yang lepas kemungkinan konsekuensinya cukup banyak apalagi masuk ke lingkungan ekosistem yang bisa menyebabkan kematian terumbu karang, padang lamun, hingga hewan yang ada disana. Akan tetapi tergantung dari banyak atau tidaknya dan itu perlu penelitian lebih lanjut.”

Perjumpaan Dugong di Pulau Sekitar

Menurut catatan perjumpaan yang ditemukan oleh WeBe, yakni organisasi non profit yang berbentuk yayasan dan bergerak di bidang konservasi, pengembangan ekowisata dan pemberdayaan masyarakat, yang berbasis di Ketapang, Kalimantan Barat, merilis data sejak tahun 2020 sudah ada 36 perjumpaan di seluruh wilayah perairan Kendawangan, termasuk juga Pulau Gelam.

Setra Kusumardana, Ketua WeBe, mengatakan, “sepanjang tahun 2020 ada perjumpaan enam kali dengan dugong. Setelah itu sudah tidak ada lagi. Waktu itu ditemukan dalam keadaan mati keenamnya. Satu kali ditemukan dalam keadaan hidup dan kita lepaskan kembali ke habitatnya. Sehabis itu kan sudah mulai patroli dan tidak ada lagi kejadian.”

Di tahun 2022, WeBe juga merilis 11 titik perjumpaan dugong di kawasan konservasi Kendawangan. Dari data tersebut, terdapat 1 laporan perjumpaan dugong dalam kondisi hidup di timur laut Pulau Gelam dan 5,2 mil atau 8 kilometer dari Pulau Gelam.

Kemudian, di Pulau Sawi tercatat laporan dari tim patroli dan nelayan terdapat perjumpaan dengan dugong kurang dari 5 kali. Tidak jauh dari Pulau Sawi, sekitar 5,9 mil atau 9 km, WeBe juga mendapat laporan perjumpaan dengan dugong dan berhasil di dokumentasikan dalam bentuk video.

Di Pulau Cempedak sendiri terdapat 2 titik laporan perjumpaan dengan dugong. Terakhir, titik perjumpaan dengan dugong paling banyak ditemukan di Pulau Bawal dengan total laporan 6 perjumpaan, 5 dalam keadaan hidup dan 1 ditemukan mati. Insiden kematian ini juga ditemukan langsung oleh tim patroli WeBe.

Tim patroli yang dibentuk oleh WeBe merupakan pendampingan bersama dengan masyarakat pulau sekitar dalam rangka membentuk patroli pastisipatif. Pokdarwis, sebagai tim patroli yang melibatkan masyarakat lokal, memiliki peran krusial dalam pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan-kegiatan di sekitar Pulau Gelam yang kemudian akan dilaporkan kepada WeBe.

“Jadi pendampingan ini merupakan pendampingan jangka panjang. Kita sejak tahun 2014 sudah beraktivitas, jadi bukan cuma sekali dua kali saja. Kegiatan-kegiatan yang kita kembangkan itu mulai dari usaha pariwisata, usaha budaya, usaha konservasi. Ada atau tidak adanya dugong, kita akan tetap beraktivitas,” kata Setra.

Ia juga menyebutkan karena dugong merupakan salah satu fauna laut yang langka dan dilindungi, sehingga menjadi catatan khusus ketika tim patroli secara tidak sengaja berjumpa.

Salah satu anggota Pokdarwis, Soehendra (33), menjelaskan bahwa kegiatan patroli dilakukan setiap hari, bersamaan dengan perginya nelayan ke laut sehingga tidak memiliki waktu khusus. Dalam sebulan, Pokdarwis bisa 5 hingga 6 kali berjumpa dengan dugong.

Laporan terbaru dari Pokdarwis, seekor dugong tidak sengaja tertangkap oleh jaring seorang nelayan, Udin, pada 11 Desember 2023. Lokasi tertangkapnya di Pasir Merah, Pulau Bawal dengan bobot 30 kg dan panjang 80 cm. Ketika ditemukan, dugong dalam keadaan hidup dan langsung dilepaskan oleh Udin.

Makna dari Kawasan Konservasi

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan.

Sedangkan dalam Peraturan Mentri Kelautan dan Perairan RI No. 25 Tahun 2021 menyebutkan bahwa Zona Inti adalah bagian dari Kawasan Konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilindungi, yang ditujukan untuk pelindungan habitat dan populasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta pemanfaatannya hanya terbatas untuk penelitian.

Merujuk pada pernyataan Arie, ketika ada aktivitas tambang di Pulau Gelam yang termasuk dalam kawasan konservasi dan zona inti, maka target dari zona inti itu sendiri akan hilang karena dinilai tidak bisa menjaga ekosistem disana.

“Konservasi itu adalah bagaimana kita menjaga lingkungan dan kawasan yang ada di zona yang sudah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan atau kesatuan alam yang dilindungi. Jika kawasan konservasi berubah fungsi menjadi kawasan lain, seperti komersil baik kegiatan pertambangan atau eksplorasi tentunya akan memiliki dampak,” kata Arie.

Beberapa dampak yang akan terjadi yakni menganggu keseimbangan yang sudah ada, daya dukung lingkungan akan turun dan penghasilan masyarakat juga menurun karena ada sebagian masyarakat yang menggantungkan penghasilan mereka dari sana, serta daya tangkap nelayan juga akan berkurang.

“Saat ini kita sulit untuk berpikir bahwa ada pertambangan, maka ekosistem akan baik-baik saja karena ketika di suatu ekosistem ada banyak biota yang menggantungkan hidupnya disitu dan saat ekosistem itu hilang, maka keberadaan biota yang awalnya menjadi ciri khas kawasan juga akan menghilang,” pungkasnya.

Dwi juga menuturkan bahwa ketika ada perusahaan tambang yang masuk di Pulau Gelam, maka akan ada aktivitas yang dapat menganggu ekosistem disana seperti lalu lintas kapal di dalam kawasan bisa menjadi ancaman dugong tertabrak mengingat bahwa dugong bukan spesies aktif melompat seperti lumba-lumba. Kemudian limbah yang dihasilkan dari kapal seperti minyak dan oli juga berpengaruh. Selain itu, aktivitas kapal yang keluar masuk juga membuat sedimentasi semakin tinggi sehingga visibilitas air menjadi semakin keruh.

Padang lamun, selain menjadi habitat makan langsung bagi Dugong, juga memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Namun, dampak yang ditimbulkan oleh perubahan fisik pada habitat padang lamun dapat menyebabkan kerusakan yang berdampak luas. Ketika habitat lamun mengalami perubahan atau rusak, baik secara fisik maupun akibat kebisingan dari aktivitas manusia, ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ekosistem laut.

“Hal-hal tersebut secara tidak langsung akan mengancam ketidaknyamanan spesies dan mereka otomatis akan berpindah tempat. Dan kita akan kehilangan spesies langka, terutama dugong. Untuk apa ada kawasan untuk melindungi dugong tapi akhirnya menjadi tidak bisa terlindungi?” tutur Dwi.

Aktivitas manusia, termasuk eksplorasi sumber daya di Pulau Gelam dapat merusak padang lamun sebagai tempat memijah dan bertumbuh berbagai spesies ikan. Jika padang lamun rusak atau berkurang, maka sumber makanan dugong dapat erancam dan mengakibatkan penuruan populasi atau bahkan kematian.

Dwi menegaskan bahwa yang seharusnya kita lakukan sekarang jangan sampai dugongnya hilang karena aktivitas kerusakan lingkungan.

Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak, Mongabay Indonesia dan Project Mulatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.

Load More