Scroll untuk membaca artikel
Bella
Senin, 12 Februari 2024 | 19:12 WIB
Penampakan Pulau Gelam. (Tim Liputan Investigasi)

SuaraKalbar.id - September 2022, Yayasan Webe Konservasi Ketapang menemukan cangkang telur penyu yang rusak tidak jauh dari bekas galian berlubang di Pulau Gelam, Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Ketapang, Kalbar.

Meskipun jumlahnya terbatas, Webe yakin bahwa itu merupakan sisa dari telur penyu yang gagal menetas.

Temuan cangkang telur penyu di pasir Pulau Gelam menunjukkan kesulitan penyu dalam berkembang biak, terutama dengan adanya alat berat untuk penambangan dan logam sisa galian tambang yang membuat penyu kesulitan mencapai daratan pulau.

Izin tambang yang diberikan pada tahun 2021 di Pulau Gelam dapat mengancam kelestarian pulau tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Ketua Yayasan Webe Ketapang, Setra Kusumardana.

Baca Juga: Pulau Gelam Terancam, Dugong Bernasib Kelam

“Bukan bisa, tapi sudah. Buktinya itu tadi temuan cangkang telur penyu di Pasir Pulau Gelam,” kata Ketua Yayasan Webe Ketapang Setra Kusumardana.

Pulau Gelam termasuk pulau kecil dengan luas 28.000 M2 atau 28 Km2. Pulau Gelam merupakan bagian zona Kawasan konservasi Kendawangan, Kabupaten Ketapang sesuai Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Taman Pulau Kecil Kendawangan Kabupaten Ketapang tahun 2019 dan diterbitkan tahun 2020.

Pulau Gelam dalam data kependudukan setempat sudah tidak ditinggali. Penduduk sebelumnya pindah ke pulau lain, seperti Pulau Cempedak, Pulau Gambar hingga Pulau Bawal. Tak jauh jaraknya antara satu pulau ke pulau lain.

Sejumlah pulau di konservasi Kendawangan jadi tempat habitat penyu. Termasuk Pulau Gelam dan Pulau Cempedak. Di sana selain penyu juga jadi rumah hidup bagi dugong, padang lamun hingga bentangan mangrove di kawasan pesisir pulau tersebut.

Karena itu, kawasan konservasi Kendawangan dikukuhkan sebagai satu dari lima kawasan konservasi yang ada di Kalbar sejak tahun 2020 lalu. Kawasan konservasi lainnya adalah Taman Pulau Kecil Pulau Randayan (Bengkayang), Taman Pesisir Paloh (Sambas), Taman Pesisir Kubu Raya hingga Kawasan Konservasi Perairan Kubu Raya dan Kayong Utara. Mencakup mencakup Pulau Gelam.

Baca Juga: Praktik Pasir Kuarsa Rempang di Pulau Kalimantan

Penetapan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 193/DKP/2017 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Provinsi Kalimantan Barat.

Kemudian dikuatkan dengan terbitnya Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Barat 2018-2038.

Keberadaan dua perusahaan tambang PT Sigma Silica Jayaraya dan PT Inti Tama Mandiri membuat penyu dan habitatnya makin terancam. Reptil dilindungi ini ‘terjepit’ antara keinginan tetap bertahan di sana atau harus pindah. Memilih mengalah dan tergusur oleh kepentingan pemilik modal.

Penyu dan Nasib Nelayan

Aktivitas nelayan di Kendawangan. (Tim Liputan)

Pulau Gelam diketahuai adalah bagian dari gugusan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kendawangan. Kecamatan itu terdiri 32 pulau, 4 diantaranya berpenghuni dan 28 lainnya tidak berpenghuni. Jaraknya tak jauh dari Pulau Gelam.

Di sana, kami bertemu dengan sejumlah penduduk yang berprofesi sebagai nelayan. Menariknya, banyak dari mereka dulunya pemburu penyu. Namun, setelah penyu dilarang diburu mereka pun menjadi nelayan penangkap ikan.

Faktanya, baik Pulau Cempedak dan Pulau Gelam menurut laporan Yayasan Webe jadi tempat singgah penyu untuk bertelur dan mencari makan. Ini diperkuat oleh keterangan warga setempat.

Jenis penyu hijau (chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricate) kerap ditemukan di pulau-pulau dengan pasir putih di Kalbar. Penyu hijau tercatat menjadi penghuni tetap sejak lama, terutama untuk bertelur di pulau itu.

Tidak ada data resmi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalbar berapa jumlah pasti populasi penyu hijau dan penyu sisik di Pulau Gelam. Namun dari keterangan nelayan, penyu bisa ditemui di sekitaran pulau-pulau kecil perairan Kendawangan. Seperti Pulau Gelam, Pulau Cempedak, Gambar, Pulau Bawal hingga Pulau Penabung.

Tim liputan bertemu Salmin. Pria 41 ini merupakan penduduk Pulau Cempedak. Ia mencari ikan di sekitaran Pulau Gelam.

Pulau Gelam menjadi salah satu area pencarian ikan favorit Salmin dan nelayan lain. Potensi besar lobster, rajungan (sejenis kepiting air laut) hingga ikan popular (baronang, bawal, dll) gampang ditemukan dengan jumlah besar.

Sementara untuk penyu masih bisa ditemukan di perairan Kendawangan. Penyu terbanyak menurut Salmin ada di Pulau Cempedek. Untuk Pulau Gelam, penyu hanya bisa ditemukan diperairannya saja.

Tak hanya penyu, dugong juga hidup disekitaran Pulau Gelam. Namun, tak banyak memang penyu ‘mendarat’ di Pulau Gelam dalam beberapa tahun ini. Apalagi kata nelayan sejak adat alat-alat tambang, penyu tak pernah terlihat sama sekali.

Bisa dikatakan penyu-penyu makin sulit ditemukan di Pulau Gelam. Bahkan, dulunya sering naik ke daratan pulau, kini hampir tak ada penyu membuat sarang di pulau tersebut.

Tim juga menjumpai Arsyad (47). Arsyad dulu pemburu penyu. Area pencariannya hampir di seluruh perairan Indonesia. Saat itu, belum ada regulasi pelarangan penangkapan penyu. Perairan Ketapang salah satu area penyu biasanya berkumpul. Terutama di sekitaran pulau-pulau kecil, Pulau Gelam salah satunya.

Ia sangat tahu di mana dan jalur mana biasanya penyu Pulau Gelam berada. Sebelum perusahaan masuk, penyu kerap lalu lalang dan naik ke Pulau Gelam dan sekitarnya. Jika ditanya apakah ada sarang penyu di Pulau Gelam, Arsyad dengan tegas menjawab tidak ada lagi.

Ia sangat tahu kondisi di sana. Jika ia melaut, ia bersama anak istrinya menginap di Pulau Gelam. Menghabiskan waktu berhari-hari di pulau itu. Ia ‘menunggu’ ikan berkumpul di malam hari.

Pulau Gelam dan sekitarnya masih menjadi tumpuan warga pulau sekitar, seperti Pulau Cempedak dan Pulau Bawal yang berprofesi sebagai nelayan. Salmin maupun Arsyad resah saat tambang dikabarkan akan segera melakukan eksploitasi masif.

Mereka tahu bahwa aktivitas tambang sarat akan bahayan limbah yang bisa mencemari laut. Kekhawatiran Arsyad dan Salmin cukup beralasan. Mereka adalah nelayan yang menggantungkan nasib hidupnya di perairan Kendawangan untuk menyambung hidup usai tak lagi menjadi pemburu penyu. Mereka beranggapan jika tambang melakukan ekploitasi di Pulau Gelam, area mata pencarian akan tergerus.

“Habis sudah,” ucap mereka.

Tambang dan Habitat Penyu

Penampakan penyu di Pulau Cempedak. (Tim Liputan Investigasi)

Tahun 2021, dua perusahaan tersebut memperoleh izin ekplorasi pasir kuarsa secara resmi dari pemerintah pusat.

Jika tak ada kendala, dua perusahaan itu kabarnya segera meningkatkan kegiatan tambangnya menjadi eksploitasi lebih lanjut. Meski banyak penolakan, hingga ancaman lingkungan dan sosial yang ditimbulkan maupun yang bisa terjadi. Laporan warga pun menyebut aktivitas tambang masih berlangsung hingga saat ini.

Di satu sisi, Pulau Gelam merupakan tempat hidup satwa dan habitat yang dilindungi, salah satunya penyu hijau dan sisik. Ini sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/ 12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.

Demikian juga dengan Surat Edaran Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor: SE.526 Tahun 2015 mengatur tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, Bagian Tubuh dan/atau Produk Turunannya.

Berbagai pihak menyuarakan protes karena khawatir tindakan pengerukan berlebihan akan membuat habitat dan ekosistem yang ada di Pulau Gelam hancur. Banyak pihak pun menyayangkan lolosnya izin tambang oleh pusat tanpa kajian mendalam.

Jika penambangan tidak di stop dan terus berlanjut beroperasi, Pulau Gelam dan penghuninya akan tinggal nama.

Banyak upaya dilakukan untuk melindungi ekologi dan habitat di Pulau Gelam. Dari mulai aduan, petisi hingga laporan ke Polda Kalbar untuk membuat tambang tidak lagi beroperasi.

“Ini upaya masyarakat dan yayasan untuk menghentikan tambang itu,” ucap Setra.

Dalam faktanya, habitat penyu makin tahun makin menipis. Ini berakibat jumlah reptile ini makin berkurang. Penyu hijau misalnya. Dalam penelitian Wawan Kurniawan, Erianto, Iswan Dewantara yang diterbitkan di Jurnal Hutan Lestari (2020) menyebutkan populasi penyu hijau terus menurun.

Salah satu penyebabnya adalah banyaknya vegetasi yang rusak sehingga penyu enggan mau mendarat untuk bertelur. Padahal, area hidup penyu ini harus stabil.

Dalam penelitian itu mencatat habitat peneluran penyu hijau tidak boleh rusak, baik fisik dan morfologi penyusun pantainya. Ekosistem pantai tempat peneluran penyu harus terjaga karena secara tidak langsung akan berpengaruh pada proses perkembangbiakan penyu.

Bisa dibayangkan jika habitat mereka rusak oleh eksploitasi tambang, maka proses pembuahan dan bertelur akan sulit. Kebingungan ini yang akan menimpa psikologis penyu hijau saat hendak bertelur dan menciptakan generasi tukik untuk keberlangsungan ekosistem alam.

Kepunahan Mengintai

Yayasan Webe Ketapang mencatat pergerakan migrasi penyu dari sekitar pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Kendawangan cukup massif mengingat kondisi alam yang masih stabil.

Namun, kondisi ini akan berubah seiring adanya aktivitas komersil yang merusak. Webe mencontohkan, kepunahan penyu di Pulau Bawal. Dulu, Pulau Bawal jadi pusat penyu diantara pulau-pulau di Kawasan konservasi. Namun, sejak masuk perusahaan sawit dan invasi besar-besaran, keberadaan penyu di sana tinggal nama.

Webe khawatir hal sama juga akan berlaku di Pulau Gelam. Pulau Gelam kaya akan pasir kuarsa. Izin dua perusahaan untuk bisa melakukan kegiatan tambang akan merugikan habitat yang hidup di sana.

Untuk mengungkap sejauh mana ancaman keberadaan tambang, saya menemui Dosen Ilmu Kelautan Ketua Jurusan Kajian Hosenografi Pesisir MIPA Universitas Tanjungpura, Arie Antasari Kushadiwijayanto.

Ia menegaskan, kegiatan seperti pertambangan rentan merusak kondisi lingkungan, tak terkecuali perairan dan ekologinya.

Kata dia, kawasan perairan Kendawangan Ketapang mirip dengan kawasan lain di Kalbar seperti Kota Pontianak, Mempawah, Sambas masih baik mengingat aktivitas dan jumlah penduduk tidak terlalu banyak seperti kondisi di Pulau Jawa.

Sementara jika ditarik lebih spesifik untuk Pulau Gelam tak jauh berbeda jika itu berkutat terhadap aktivitas warga setempat. Namun, akan berbeda jika ada kegiatan komersil, seperti pertambangan dan sawit.

Arie menuturkan, kondisi terganggu hingga bisa berbahaya jika ada kegiatan yang mengganggu aktivitas ekologi, apalagi di zona inti maupun perairan sekitar.

“Karena belum ada penelitian di sana, kita tidak tahu dampaknya. Pelepasan zat-zat radioaktif seperti apa. Tapi, diri banyak kasus yang ada tentu akan berbahaya jika ada sedimen yang dihasilkan akibat kegiatan pertambangan maupun sawit,” terang dia.

Meski hal itu pun harus dilihat cara yang dilakukan perusahaan saat melakukan aktivitas kerja atau jika itu kasus tambang. Paling dikhawatirkan dari tambang adalah materi limbahnya.

“Adanya pelepasan sedimen ke laut dari pengolahan, logam-logam berat yang melebihi ambang batas dan itu jelas membahayakan ekosistem di sana jika masif aktivitas tambangnya,” terang dosen aktif ini.

Untuk tahu lebih jelas kondisi ekologi Pulau Gelam terbaru, perlu penelitian lebih lanjut. Kelemahannya saat ini adalah penelitian tentang kawasan Konservasi Kendawangan, terutama Pulau Gelam yang kontroversi belum dilakukan.

“Kondisi yang paling terasa jika sedimen berbahaya masuk ke laut dan mengotori kawasan di sana, yang paling terasa adalah lingkungan ekosistem dan bahkan menyebabkan kematian terumbu karang, padang lamun hingga hewan yang ada di sana meski tergantung banyak atau tidaknya, terutama di Pulau Gelam itu,” paparnya.

Dampak lain eksploitasi tambang terhadap kawasan konservasi adalah keseimbangan yang ada. Daya dukung lingkungan akan turun, penghasilan masyarakan terdampak karena ada sebagian masyarakat menggantungkan penghasilan mereka.

Dalam pola penelitian, kondisi biofisik dan biota dan perubahan lingkungan yang terjadi di Pulau Gelam akan menjadi prioritas. Kondisi awal sebelum dan sesudahnya pun harus jelas dalam laporan penelitian.

Ketika kawasan konservasi sudah ditetapkan, maka seharusnya tidak diperbolehkan ada kegiatan komersialitas yang bisa merusak ekosistem kawasan, seperti tambang yang sekarang menguasai Pulau Gelam.

Arie pun menekankan isu Pulau Gelam ini harus dikawal baik-baik karena ‘ngeri’ jika aktivitas massif tambang. Tak hanya penyu dan dugong yang akan hilang tapi seluruh ekosistem semua akan punah.

Ia tidak bisa membayangkan seperti apa kerusakan lingkungan yang bisa diakibatkan tambang di Pulau Gelam.

Sejak masuknya konsesi tambang di Pulau Gelam dua tahun lalu, keberadaan penyu dan habitatnya hampir tak ditemukan. Jika pun ditemukan, penyu-penyu ini sudah enggan bertelur di sana. Perusahaan tersebut berfokus pada tambang pasir kuarsa di zona pemanfaatan di Pulau Gelam. Ironisnya, perairan Pulau Gelam adalah zona inti kawasan konservasi Kendawangan. Artinya, satu kawasan berlabel steril dari kegiatan apapun yang merusak ekosistem, termasuk pertambangan.

“Dalam aturan kawasan inti masuk perlindungan penuh. Tak boleh ada unsur yang bisa merusak lingkungan Kawasan konservasi,” kata Ketua Yayasan Webe Ketapang, Setra Kusumardana.

Ini sesuai PERMEN KP Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan, zona inti adalah bagian Kawasan Konservasi Perairan yang letak, kondisi dan potensi alamnya merupakan daerah pemijahan, pengasuhan, dan/atau alur ruaya ikan.

Penyu adalah mahluk sensitif. Sebagaimana diungkap Dwi Suprapti dari Indonesia Aquatic Megafauna - Flying Vet (IAM Flying Vet). Penyu memiliki tingkat sensifitas tinggi, terutama terhadap aktivitas manusia yang dianggap mengganggu.

Sekecil apapun gangguan bisa membuat mereka enggan ke darat. Bahkan jika itu gerakan bara rokok yang tersulut di kejauhan.

Perilaku sensitif penyu ini akan jauh terasa saat hendak naik ke darat untuk bertelur. Biasanya mereka ‘memantau’dengan menyumbulkan kepala kecilnya itu ke permukaan air hanya untuk melihat apakah aman atau tidak saat naik ke darat. Tindakan itu dilakukan berkali-kali hingga memastikan area tempat bertelur tidak memiliki gangguan.

“Jika ada ada aktivitas manusia, tidak bakalan penyu hijau ke darat. Mereka tidak mau, bahkan jika pun terpaksa bertelur mereka akan bertelur di air ketimbang harus ke area yang banyak aktivitasnya,” terangnya.

Ada banyak jenis penyu di Indonesia. Ada Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu pipih (Natator depressus) dan Penyu tempayan (Caretta caretta). Semua jenis penyu ini dilindungi.

Dari enam jenis penyu ini, dua diantaranya memilih hidup di perairan Pulau Gelam dan pulau kecil lainnya di perairan Kendawangan, Ketapang. Terbanyak penyu hijau.

Penyu hijau biasanya ditemukan di sepanjang pantai pulau kecil di Kalbar. Termasuk di Pulau Gelam dan sejumlah pulau kecil di sekitarnya. Penyu hijau ini hampir bisa ditemukan di seluruh perairan Indonesia, diantaranya pesisir bagian barat Indonesia seperti Aceh, Sumatra Barat, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.

Penyu hijau juga bisa ditemukan di perairan Tengah Indonesia seperti Kepulauan Seribu, Jawa Barat, Karimun Jawa, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Begitu juga di kawasan timur seperti Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku dan Papua.

Mereka dikenal mahluk yang mudah beradaptasi dan tidak sulit mencari makan. Cukup ada daun atau tumbuhan, mereka akan bertahan di lingkungan itu.

Penyu apapun menyukai vegetasi semak tumbuhan rimbun dengan tingkat kejernihan air yang baik. Mengutip penelitian yang diterbitkan Wawan Kurniawan, Erianto, Iswan Dewantara di Jurnal Hutan Lestari (2020), makanan penyu adalah tumbuhan seperti Cemara Laut (Casuarina equisetifolia ), Pandan Laut (Pandanus tectorius) (Hibiscus tiliaceus), Cemara Laut (Casuarina equisetifolia).

Penyu hijau termasuk hewan pelintas samudera dengan jarak tempuh hingga ribuan kilometer. Namun, mereka tidak lupa untuk ‘pulang’bertelur ke habitat pertama mereka. Tak heran jika Pulau Gelam bisa dikatakan ‘rumah’ asal mereka. Mau tidak mau, mereka akan kembali.

Namun, kondisi itu akan berbeda jika di Pulau Gelam sudah memiliki aktivitas tinggi. Dengan diberikannyan izin legal untuk penggalian tambang, membuka babak baru akan nasib satwa ini di masa depan.

Dwi tidak optimis tentang keberlangsungan hidup hewan dilindungi ini. Dengan perilaku yang sensitif terhadap pergerakan, getaran hingga cahaya buatan pun akan sulit bagi penyu hijau untuk bertahan di sana.

Menurut Dwi, adanya tambang malah akan memperparah keengganan penyu untuk mendarat di sana. Mengingat penyu adalah mahluk yang sensitif, jika tempat habitat aslinya ramai oleh aktivitas manusia, maka mereka akan terganggu dan tak nyaman.

“Jika kita lihat ada tambang, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sistem pembuangan limbahnya. Selain penyu di sana ada dugong dan padang lamun yang jadi makanan mereka akan hilang. Bisa karena limbah, aktivitas bolak-balik kapal pengangkut yang bisa merusak kondisi lingkungan di sana,” ujar Dwi.

Menurut Dwi tidak ada yang bisa menjamin aktivitas tambang tak akan memusnahkan siklus penyu di Pulau Gelam.

“Pulau Gelam kan masuk pulau kecil, dengan dua tambang yang mengelola hampir semua kawasan akan lebih sulit bagi penyu untuk tetap di sana. Mereka akan mengalah dengan adanya tambang itu,”ujarnya.

Penyumbang Ekosistem Lamun

Penampakan penyu di perairan pulau Gelam. (Tim Liputan Investigasi)

Dalam banyak penelitian penyu sangat menggantungkan hidupnya pada padang lamun. Faktanya, keberadaan penyu sangat penting bagi ekosistem dan lingkungan sekitar laut dan pulau itu sendiri. Wilson EG,' Mille, KL, Allsion D dan Magliocca M dalam tulisannya di situs oceana.org mencatat penyu, terutama penyu hijau mampu menyumbang kehidupan lamun dan laut lebih baik.

Penyu sangat menyukai tumbuhan. Terutama penyu hijau. Lamun menjadi tempat area makan favoritnya. Memakan lamun nyatanya membantu penyebaran lamun agar tumbuh kembali di sepanjang pegerakan mereka.

Perilaku Penyu hijau dalam memakan lamun juga membantu penyebaran lamun. Seringnya penyu memakan daun lamun di bagian yang sama, maka lamun hidup menyebar, tidak terkumpul pada satu tempat.

Kebiasaan penyu saat memakan lamun itu adalah dengan mengambil beberapa cm dari pangkal daun yang menyebabkan bagian ujung dan yang lebih tua akan hilang.

Ketika mereka makan, maka penyu hijau telah membantu menambah nutrisi dan membantu produktifitas lamun. Penyu hijau turut menjaga keberlangsungan hidup lamun dan rumput laut.

Tak bisa dipungkiri, penyu itu mempunyai peran penting dalam menjaga ekosistem laut yang sehat. Laut yang sehat akan menjadi habitat berjuta-juta ikan sebagai sumber protein penting bagi manusia.

Perlindungan Penyu

Dosen Teknik Lingkungan Universitas Teknologi Sumbawa, Nurul Amri Komarudin dalam tulisannya di https://uts.ac.id/2022/08/25/konservasi-penyu-di-kawasan-ekosistem-esensial-nipah-sebagai-upaya-dalam-menjaga-sumber-daya-alam-dan-lingkungan-perairan/ menyebut penyu hijau mampu menyuburkan area sekitarnya.

Untuk mewujudkan itu, penyu perlu habitat baik. Terutama area makan dan bertelurnya agar ekosistem lingkungan. Jika penyu tidak mampu beradaptasi karena lingkungannya rusak, maka perkembangan penyu akan terganggu. Tak hanya itu, keberadaan penyu pun bisa hilang alias punah.

Dari prilaku penyu hijau ini semakin menguatkan peran penting hewan satu ini dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut.

“Saya pun mengklarifikasikan persoalan Kawasan konservasi dan penyu yang hidup di sana kepada Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, Syarif Iwan Taruna Alkadri,” kata Amri, dalam tulisannya.

Ia menegaskan penyu dan dugong adalah mahluk dilindungi. Dilindungi tanpa tapi. Alasan apapun tidak dibenarkan mengganggu aktivitas hidup penyu di habitat aslinya.

Ia pun menegaskan fungsi konservasi Kendawangan dan perairan sekitarnya untuk perlindungan habitat, baik potensi perikanan, terumbu karang, padang lamun, mangrove, penyu hingga dugong.

Kalau dilihat dari Permenkap No 31 tahun 2020 tentang pengelolaan kawasan konservasi sebagai satuan ekosistem dilindungi dan dilestarikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Ada beberapa zona yang ditetapkan. Zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Untuk Kawasan pemanfaatan ini umumnya untuk aktivitas masyarakat. Itu pun dengan catatan dan cara yang ramah lingkungan. Sementara zona inti hanya untuk penelitian.

Saat ditanya soal tambang yang beroperasi di Pulau Gelam salah satu area konservasi Kendawangan yang masuk zona inti, Iwan sangat menentang keras. Jika ada pelanggaran di zona inti, maka harus ditindak.

Termasuk jika itu perusahaan tambang yang bisa merusak Kawasan konservasi. Jika masih bandel, BPSPL berjanji tidak akan mengeluarkan Izin Pemanfaatan Ruang Laut disebut juga PKKPRL untuk dua perusahaan itu.

Hal sama ditegaskan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kalimantan Barat Fran Zeno. Ketika kawasan konservasi ditetapkan, maka seluruh yang ada didalamnya dilindungi.

Ia pun tak mempersoalkan investasi yang ada selama tidak melanggar aturan yang ada. Pihaknya mendukung investasi selama tidak menyalahi aturan, termasuk untuk kawasan konservasi.

Hingga saat ini DKP Kalbar maupun BPSPL Pontianak mengawasi area kawasan konservasi, meski dengan sejumlah keterbatasan SDM hingga prasarana, seperti belum dibentuknya unit kerja di setiap kawasan konservasi di Kalbar itu.

Melanggar Konservasi

Dari laporan pemerintahan Desa Kendawangan, Pulau Gelam saat ini nyaris tidak berpenghuni. Ditinggalkan satu per satu penduduk dengan berbagai alasan, paling mencuat adalah soal ekonomi.

Meski secara kependudukan Pulau Gelam tidak berpenghuni, namun Pulau Gelam masih jadi tempat hidup habitat satwa dan tumbuhan dilindungi. Tak hanya itu, pulau kecil tersebut pun sudah menjadi sumber ekonomi nelayan sekitar.

Dalam dua tahun ini, Pulau Gelam mendapat sorotan usai dua korporasi tambang mendapat izin melakukan penggalian pasir kuarsa, tepatnya tahun 2021. Padahal Pulau Gelam masuk dalam konservasi RPZ Kendawangan 2020.

Saya pun menemui Dosen Bioekologi dan Konservasi MIPA Universitas Tanjungpura, Ika Safitri, untuk mencari tahu tentang kawasan konservasi.
Kawasan konservasi kata Ika tak hanya sekedar kawasan lindung yang memiliki sifat khas tempat keanekaragaman hayati, baik berupa flora maupun fauna.

Dalam pengertiannya, yang namanya konservasi adalah tempat yang dilindungi sehingga tidak ada akivitas yang bisa merusak lingkungan di kawasan itu.
Apalagi untuk zona inti. Menurut Ika, zona ini harus steril kegiatan yang merusak karena masuk dalam perlindungan penuh sesuai dokumen RPZ Kendawangan tahun 2020.

Sudah jelas katanya, kawasan inti tidak boleh ada aktivitas tambang. Seperti di Kawasan Konservasi Paloh, Kabupaten Sambas tempat penyu yang sama sekali tidak diperbolehkan ada tambang.

“Jika masih diizinkan, ya kawasan konservasi tapi tak seperti konservasi. Tepatnya tak lagi konservasi,” ucapnya.

Ia pun menyinggung soal pentingnya penelitian di Pulau Gelam dan sejumlah pulau sekitar penyu untuk melihat sejauh mana dampak yang bisa terjadi.
Ini katanya akan sangat berguna untuk menjadikan data menjadi baseline manual. Ini juga untuk melihat tujuan konservasi itu. Harusnya, kawasan konservasi menjadi ‘rumah’ tempat aman semua satwa dan benar-benar menjadi kawasan konservasi yang sebenarnya.

Kendawangan dipilih karena mereka punya penyu dan dugong. Terutama dugong yang jadi icon Kendawangan. Jika mereka hilang, akan sia-sia kendawangan menjadi pusat perlindungan dugong karena mereka dipilih karena keunikan itu.

Saya juga bertanya kepada Senior Director Marine Program Indonesia, Victor Nikijuluw saat berada di Kota Pontianak. Sama seperti yang lain, penetapan kawasan konservasi tidak bisa sembarang ada kajian yang mendalam sebelum disahkan.

Jika ada persoalan yang bisa merusak kawasan, harus bisa diselesaikan. Namun, jika ada persoalan di Kawasan konservasi pastinya ada yang salah.

“Pasti ada yang salah dalam mengurus ini. Kita pertanyakan mengapa mereka mengeluarkan hal itu,” ucanya.

Victor menegaskan aktivitas tambang jika itu ekploitasi maka itu tidak diperbolehkan. Konservasi itu sejalan dengan kebijakan, jika berubah akan bertentangan dengan konsep konservasi itu sendiri. Pemerintah katanya harus tegas dan berani untuk menyelamatkan kawasan konservasi tersebut, salah satunya membatalkan izin tambang itu.

Catatan Redaksi: Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak, Mongabay Indonesia dan Project Mulatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.

Load More