Depresi Sekolah Online, Siswi SMA Tenggak Racun Rumput

Korban kerap bercerita pada teman-temannya mengenai sulitnya akses internet di kampung.

Husna Rahmayunita
Senin, 19 Oktober 2020 | 12:02 WIB
Depresi Sekolah Online, Siswi SMA Tenggak Racun Rumput
Ilustrasi garis polisi. [Suara.com]

SuaraKalbar.id - MI, seorang siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) bunuh diri lantaran diduga depresi mengikuti sekolah online.

Perempuan berusia 16 tahun itu nekat mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun ramput.

Insiden bunuh diri tersebut menggegerkan warga. Jenazah MI ditemukan di rumahnya pada Sabtu (17/10/2020).

MI merupakan siswi dari Dusun Bontote'ne, Desa Bilalang, Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Baca Juga:Sebelum Tewas Gantung Diri, Kadus di Payangan 'Pamit' lewat Facebook

Dikutip dari SuaraSulsel.id., MI diduga bunuh diri karena depresi dengan banyaknya tugas-tugas daring dari sekolah.

Semasa hidup, korban kerap bercerita pada teman-temannya mengenai sulitnya akses internet di kampung. Akses internet yang minim di kediamannya menyebabkan tugas-tugas daringnya menumpuk.

Mirisnya, MI merekam aksi bunuh dirinya dalam sebuah video. Rekaman ponsel berdurasi 32 detik itu menunjukkan detik-detik ketika korban meminum racun rumput.

"Mengerikan," ungkap Muhammad Ramli Rahim, Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia, Senin (19/10/2020).

Racun yang ditemukan polisi di dekat tubuh siswi SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel / Foto : Istimewa
Racun yang ditemukan polisi di dekat tubuh siswi SMA di Kabupaten Gowa, Sulsel / Foto : Istimewa

Kejadian ini menurut Jaringan Sekolah Digital Indonesia bukan kejadian tunggal.

Baca Juga:Kadus di Payangan Gianyar Ditemukan Gantung Diri, Gegerkan Warga

Stres yang dialami siswa akibat pembelajaran jarak jauh yang tidak memiliki standar khusus dan cenderung sangat memberatkan siswa.

"Dari sisi tugas-tugas dari guru telah mengakibatkan depresi terhadap siswa. Yang akhirnya dapat berujung pada kejadian bunuh diri seperti ini," ungkap Ramli.

Ramli mengatakan, jumlah mata pelajaran yang sangat banyak. Ditambah dengan mudahnya guru memberikan tugas kepada siswa menjadi beban yang begitu berat bagi siswa.

Sebanyak 14 sampai 16 mata pelajaran tentu bukan sesuatu yang mudah. Apalagi dengan dukungan jaringan internet yang tidak memadai.

Ikatan Guru Indonesia sejak awal sudah meminta pemerintah pusat dan Mendikbud Nadiem Makarim, bahwa beban mata pelajaran yang dialami oleh siswa sesungguhnya menjadi masalah utama rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.

Namun hingga saat ini, upaya penyederhanaan kurikulum tampaknya masih mengalami jalan buntu.

Nadiem Makarim seolah tidak punya formulasi untuk menuntaskan masalah jumlah mata pelajaran yang sangat membebani anak didik di Indonesia.

Ilustrasi bunuh diri. (Shutterstock)
Ilustrasi bunuh diri. (Shutterstock)

Standar penugasan oleh guru juga tidak diatur, baik oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pendidikan Provinsi maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.

Bisa dibayangkan jika setiap guru memberikan satu saja tugas setiap minggu. Maka setiap siswa akan mendapatkan 14-16 tugas yang harus dituntaskan sebelum mata pelajaran dilanjutkan minggu depannya.

Memang guru sangat mudah memberikan tugas, apalagi mereka saat ini dengan dukungan LMS tak perlu tampil di depan kelas lagi.

Cukup memberikan tugas lewat LMS yang ada, tetapi mereka tidak memperhitungkan secara komprehensif beban tugas yang diberikan ke siswa tersebut.

Kejadian bunuh diri oleh siswa di kabupaten Gowa, seharusnya menjadi alarm yang sangat keras kepada pemerintah. Dengan tegas memperingatkan pemerintah bahwa masalah penugasan-penugasan ini adalah sesuatu yang sangat serius memberikan dampak depresi kepada siswa.

Seharusnya kepala sekolah dan para guru konseling mampu mengetahui dan mengukur beban yang dialami oleh siswa.

Ilustrasi Belajar Online (pixabay)
Ilustrasi Belajar Online (pixabay)

Akibat banyaknya penugasan yang dilakukan guru di suatu sekolah terhadap seorang siswa. Sehingga bisa menjadi standar bagi guru-guru di sekolah tersebut untuk memberikan penugasan kepada siswanya.

Setiap daerah seharusnya mempertimbangkan kemampuan jaringan internet di daerahnya. Ketersediaan alat baik berupa tablet smartphone maupun laptop dan komputer di daerah tersebut yang dimiliki oleh siswanya.

Kemudian mempertimbangkan kemampuan ekonomi siswa di daerah-daerah tersebut. Sehingga pemerintah tidak berlepas tangan dengan memberikan kuota data kepada siswa saja.

"Tetapi memahami secara penuh suasana dan kondisi pembelajaran di masa pandemi Covid-19. Dan semua itu seharusnya diatur dan dibuat standarnya oleh Kemendikbud," ungkap Ramli.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini