Dari Tetesan Karet Jadi Rupiah, Cara Warga Perbatasan Hidup saat Pandemi

Karet menjadi komoditi andalan warga perbatasan.

Husna Rahmayunita
Jum'at, 13 November 2020 | 15:19 WIB
Dari Tetesan Karet Jadi Rupiah, Cara Warga Perbatasan Hidup saat Pandemi

SuaraKalbar.id - Pandemi Covid-19 memukul kehidupan rakyat kecil seperti Suyanto, warga perbatasan Indonesia-Malaysia di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat.

Untuk bertahan hidup, Suyanto mengais rezeki dengan menyadap karet di perkebunan. Dari tetesan karet itu, ia menghidupi keluargnya.

Perjuangan ekstra keras harus dilakukannya. Mulai pukul 05.00 WIB, ia sudah menyadap satu per satu pohon karetnya di Dusun Semeng, Desa Semanget, Kecamatan Entikong.

Ayah tiga anak itu mengumpulkan tetes demi tetes karet untuk ditukar menjadi lembaran rupiah. Apalagi setelah harga lada anjlok, karet menjadi komoditi andalan warga perbatasan.

Baca Juga:Masa Pandemi, Polda Sumbar Ingatkan Leasing Tak Tarik Paksa Kendaraan

"Ini satu-satunya cara kami diperbatasan untuk bertahan di tengah pandemi Covid-19, karena dampak Covid-19 ini memukul perekonomian masyarakat, ungkap Suyanto kepada Suarakalbar.co.id (jaringan Suara.com).

Bekerja menjadi petani karet bukan hal baru bagi Suyanto. Sejak muda, ia sudah terbiasa melakukannya.

Namun ia bercerita, harga karet saat ini jauh lebih rendah dibandingkan beberapa tahun silam. Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi para petani.

“Harga karet saat ini tidak sebagus 5 tahun lalu, sekarang untuk jinton (kepingan karet) sekitar Rp7.000 per kilogram. Warga di perbatasan lebih memilih membuat jinton ketimbang karet kepingan karena harga tidak jauh berbeda,," sambungnya.

Ilustrasi petani karet. (Shutterstock)
Ilustrasi petani karet. (Shutterstock)

Tak hanya itu, kondisi alam juga menjadi kendala bagi Suyanto. Ia menuturkan, saat curah hujan tinggi seperti sekarang hasil sadapan karet tidak maksimal.

Baca Juga:Kampanye Tatap Muka Masih Jadi Pilihan, Bawaslu Keluarkan 839 Peringatan

"Kalau musim hujan begini, (kualitas) getah yang dihasilkan tidak sebagus waktu kemarau," tambah Suyanto.

Sementara hasil sadapan karet ini yang dikumpulkannya tidak bisa langsung dijual ke pengepul. Sebab, getah hasil sadapan itu harus diolah menjadi jinton terlebih dahulu, baru bisa dijual.

“Hasil sadapan karet yang diolah menjadi jinton akan dijual kepada pengepul setelah terkumpul dalam satu pekan,” ucapnya sembari bersandar di sebatang pohon karet.

Untuk makan sehari-hari Suyanto menghemat dari Bantuan Sosial Tunai (BST) pemerintah sambil menunggu kepingan karetnya dibeli pengepul.

Terlepas dari semuan kesulitan dan dilema, Suyanto bersyukur masih ada karet yang bisa digunakannya untuk menyambung hidup di tengah pandemi saat ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini