SuaraKalbar.id - Masih ingat dengan kasus dugaan pemerkosaan pejabat imigrasi Entikong? Terkini, kasusnya jalan di tempat.
Pejabat Imigrasi (Kanim) Kelas II TP Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat diduga memerkosa pegawainya di rumah dinas.
Polres Sanggau sejak mengambil alih kasus ini dari Polsek Entikong, hingga kini belum menetapkan pelaku sebagai tersangka, dengan dalih masih melakukan pendalaman.
"Mungkin saya belum bisa (beri keterangan). Soalnya harus seizin pimpinan. Sementara masih dalam pendalaman," singkat Kasat Reskrim Polres Sanggau, AKP Yafet Efraim Patabang dihubungi wartawan, Selasa (9/2/2021).
Baca Juga:Kepala Imigrasi Diduga Perkosa Bawahan, Modusnya Buat Laporan
Dalam menangani dugaan pemerkosaan ini, kepolisian sudah memeriksa delapan saksi. Termasuk RFS, mantan Kepala Kanim Imigrasi Kelas II TPI Entikong sebagai terlapor dan korban tak lain pegawainya sendiri.
Perbuatan tak senonoh itu dilakukan di rumah dinas RFS, kawasan Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong, Kabupaten Sanggau kala itu pada Kamis, 14 Januari 2021.
Perbuatan ini kemudian dilaporkan ke Polsek Entikong dan diambil alih penanganannya oleh Polres Sanggau. Hasil pemeriksaan sementara, diketahui bahwa RFS yang saat itu masih sebagai Kepala Kanim, meminta korban untuk memperbaiki laporan tugas.
Usai mengerjakan tugas, korban kemudian menyerahkan ke RFS. Saat itu, RFS sedang berada di ruang kerjanya. Akan tetapi, RFS menolak menandatangani laporan tugas yang diserahkan korban.
Ia malah meminta korban membawa laporan pekerjaan itu ke rumah dinasnya. Tidak jauh dari kantor mereka. Sesampainya di rumah dinas, RFS malah membawa korban ke kamar tidurnya. Lalu, dugaan pemerkosaan itupun terjadi.
Baca Juga:Tersandung Kasus Dugaan Asusila, Kepala Imigrasi Entikong Dibebastugaskan
Terpisah, tim kuasa hukum korban, Saulatia mengatakan, berdasarkan bukti permulaan yang diperoleh dalam penyidikan tersebut, maka sudah seharusnya penyidik Polres Sanggau menetapkan terlapor sebagai tersangka.
"Tidak ada alasan lagi penyidik untuk tidak menetapkan pelaku sebagai tersangka," tegas Saulatia kepada sejumlah wartawan, Rabu (10/2/2021).
Menurut dia, hal ini bukan tanpa dasar. Karena usai menerima laporan polisi, Polsek Entikong dengan sigap langsung membawa korban segera ke tempat kejadian yakni rumah dinas RFS.
"Kemudia penyidik melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap seprai yang ada di kamar dan pakaian RFS. Saat itu, disaksikan tetangga RFS yang juga merupakan PNS dari Kanim Entikong," bebernya.
Tidak hanya itu, kata Saulatia, korban telah dimintai keterangan mengenai fakta-fakta adanya perbuatan-perbuatan kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan oleh RFS.
Keterangan ini sudah diberikan kepada pihak Polsek Entikong maupun penyidik Polres Sanggau. Keterangan korban tertuang dengan terang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik.
"Korban juga telah menyampaikan saksi-saksi. Yakni saksi menjelang kejadian dan tidak berapa lama sesudahnya dari kejadian tersebut. Saksi-saksi ini juga sudah dimintai keterangan oleh penyidik,” jelas Saulatia.
Saulatia menyatakan, setelah membuat laporan pada 14 Januari 2021, korban langsung dibawa pihak Polsek Entikong ke Puskesmas Entikong untuk melakukan visum et repertum. Kemudian, korban dibawa penyidik Polres Sanggau ke RSUD dr Soedarso Pontianak untuk dilakukan visum et repertum ulang.
“Pada 20 Januari 2021 penyidik juga menyampaikan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Sanggau,” ucapnya.
Saulatia menyatakan, berdasarkan laporan polisi, keterangan saksi korban, saksi-saksi lainnya dan visum et repertum serta barang-barang bukti yang diperoleh dalam penyidikan tersebut, sesungguhnya penyidik telah memiliki bukti permulaan yang telah memenuhi syarat untuk segera menetapkan terduga pelaku sebagai tersangka.
“Penyidik tidak perlu mendalami kasus, menunggu hingga terdapat bukti permulaan yang cukup, cukup bukti atau bukti yang cukup,” katanya.
Menurut dia, bukti permulaan yang cukup baru diperlukan apabila penyidik hendak melakukan penangkapan terhadap tersangka untuk kepentingan penyidikan. Cukup bukti baru diperlukan apabila penyidik hendak melakukan penangkapan terhadap tersangka untuk kepentingan penyidikan, penuntutan atau peradilan.
Namun demikian, dia menambahkan, sayangnya hingga saat ini kenyataannya RFS belum ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik. Oleh karena itu selaku penasihat hukum korban, Saulatia bersama tim lainnya Herawan Oetoro dan Roslaini Sitompul, akan menyiapkan permohonan koreksi dan pengawasan terhadap penyelesaian perkara tersebut.
"Baik secara internal vertikal di Polri, maupun secara horisontal kepada pihak terkait, termasuk praperadilan apabila terjadi penghentian penyidikan," tegasnya.
Didatangi kantornya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kakanwil Kemenkumham) Kalimantan Barat, Fery Monang Sihite mengatakan, pihaknya sampai saat ini masih mengumpulkan bahan keterangan dan pemeriksaan untuk hal sanksi kepegawaian.
“Karena kedua-duanya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Tentunya harus patuh kepada undang undang aturan kepegawaian. Seperti pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2010. Tinggal nanti mendengar rekomendasi dari pusat,” kata Fery.
Ia menuturkan, lembaga perlindungan saksi dan korban (LPSK) sudah datang ke Kanwil Kemenkum dan HAM Kalbar. Pihaknya, kata Fery, sudah memberikan penjelasan dan keterangan apa yang terjadi pada kasus itu.
"Dan bagaimana nanti keputusannya, merekalah (pihak terkaot) yang mengambil kesimpulan. Saya hanya menyajikan informasi,” katanya.
Fery menyatakan, terkait sanksi akan diberikan kepada kedua ASN tersebut. Dalam kasus itu pihaknya tidak semata-mata melihat benar salahnya. Tetapi yang jelas ada dua ASN yang melakukan perbuatan asusila. Tentunya dilihat dulu kronologi kejadian sampai akan diungkap titik terangnya nanti.
“Jangan nanti di media, terminologi yang selalu digunakan pengaduan itu adalah pemerkosaan. Tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu unsur-unsurnya terpenuhi atau tidak, tentu itu ada di kepolisian,” tuturnya.
Fery menyatakan, meskipun polisi nantinya menetapkan pelaku sebagai tersangka, maka kedua-duanya akan mendapatkan sanksi internal. Sanksinya bisa berupa pemecatan, penurunan pangkat, ringan, sedang atau berat. Semua tergantung diuji pada nantinya.
Kontributor : Ocsya Ade CP