Hal ini, menurut Dedi, karena poligraf sama seperti kedokteran forensik memiliki standarisasi dan sertifikasi yang wajib dipatuhi Puslabfor maupun operator poligraf.
Dedi menilai, ada persyaratan yang sama dengan Ikatan Dokter Forensik Indonesia yang wajib dipatuhi. Poligraf memiliki ikatan (perhimpunan) secara universal yang berpusat di AS.
Dia memaparkan, puslabfor memiliki alat poligraf yang sudah terverifikasi dan tersertifikasi, baik itu ISO maupun perhimpunan poligraf di dunia.
Adapun Puslabfor Polri, memiliki alat poligraf buatan AS tahun 2019 yang memiliki tingkat akurasi 93 persen dengan syarat akurasi 93 persen maka hasilnya digunakan untuk penegakan hukum.
Baca Juga:Polri: AKBP Jerry Raymond Bakal Jalani Sidang Etik Terkait Kasus Ferdy Sambo, Jumat Besok
“Kalau (hasil uji) di bawah 90 persen tidak masuk dalam ranah projusticia,” katanya.
Jika hasil poligraf masuk ranah projusticia, menurut Dedi, maka hasilnya diserahkan ke penyidik. Lalu penyidik yang berhak mengungkapkan kepada media, termasuk penyidik bisa menyampaikan di persidangan.
“Karena poligraf tersebut bisa masuk dalam Pasal 184 KUHAP (tentang alat bukti yang sah menurut sistem peradilan pidana) ya alat bukti, selain petunjuk juga termasuk dalam keterangan ahli,” terangnya. Antara