SuaraKalbar.id - PT. Sigma Silica Jayaraya (PT. SSJ) menjadi perbincangan hangat setelah melakukan eksplorasi pasir kuarsa di Pulau Gelam, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Kegiatan ini menimbulkan dugaan adanya pelanggaran terhadap sejumlah aturan, seiring dengan meningkatnya kebutuhan pasir kuarsa untuk pabrik kaca di Pulau Rempang, Riau. Berikut merupakan hasil penyelidikan tim investigasi kolaborasi.
Pada akhir Oktober 2023, kami melakukan penelusuran ke sebuah pulau kecil seluas 28.000 meter persegi yang dijadikan lokasi penambangan PT. Sigma Silica Jayaraya. Perusahaan ini mendapat izin eksplorasi pasir kuarsa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 93.K/MB.01/MEM.B/2022, dengan luas konsesi 839,00 Ha.
Lewat kabar yang beredar, sejak tahun 2022 perusahaan tambang tersebut sudah melakukan gerakan-gerakan kecil untuk mengambil sample pasir yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan keramik dan kaca itu. Kegiatan ini diduga melanggar sejumlah aturan tentang peruntukan dan perizinan. Warga eks Gelam juga mempertanyakan soal penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang menurut mereka ujug-ujug dikantongi perusahaan tersebut.
Keesokan harinya, kami berangkat menumpang nelayan. Namun, sebelum ke Pulau Gelam, kami memutuskan untuk singgah di Pulau Cempedak yang berlokasi dua jam dari Gelam. Rupanya, hari itu cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan turun tiada henti dan gelombang air laut tinggi. Tim bertahan berhari-hari di Cempedak. Baru pada hari ke empat, kami bisa berangkat menuju ke Pulau Gelam.
Baca Juga:Modus Menggangsir Penerbitan SKT Pulau Gelam
Tiba di Gelam pada 4 Oktober 2023, pukul 09.00 wib. Pulau itu sepi dari aktivitas PT. Sigma Silica Jayaraya. Namun, tim menemukan sejumlah peralatan (mesin) yang diduga digunakan untuk penambangan di pondok milik perusahaan. Menurut informasi, pondok tersebut selain digunakan untuk menyimpan peralatan dan menampung sample, juga digunakan karyawan untuk menginap.
Pulau Gelam merupakan satu dari lima pulau kecil yang berada di Kecamatan Kendawangan. Pulau ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Perairan Sekitarnya, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Nomor: 91/KEPMEN-KP/2020.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir) termasuk UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil hanya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budi daya laut dan pariwisata.
Selain itu juga usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, dan pertanian organik, peternakan; dan/atau pertahanan dan keamanan negara. Selain PT. Sigma Silica Jayaraya, ada perusahaan lain PT. Inti Tama Mineral (PT. ITM) yang bernaung di sana.
Berdasarkan dokumen Ditjen AHU, PT. Sigma Silica Jayaraya disahkan pada 19 November 2021, dengan SK pengesahan Nomor; AHU-0073846.AH.01.01.Tahun 2021. Dalam dokumen tersebut tertera nama-nama pengurus dan pemegang saham. Satu di antaranya, pengusaha sekaligus politikus Denny Muslimin. Ia tercatat sebagai Komisaris Utama dengan jumlah saham mayoritas, yakni 950 lembar atau senilai Rp950 juta dari dari total penyertaan modal awal sebesar Rp1 miliar.
Baca Juga:Hadir di Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud, Ini Pesan Ahok untuk Anak Kalimantan
Selain Denny Muslimin, terdapat nama-nama lain, di antaranya Hairi ST, yang menjabat selaku direktur, dan Herma Irwanda, selaku komisaris, dengan jumlah saham masing-masing sebanyak 30 dan 20 lembar. Dalam dokumen tersebut, PT Sigma Silica Jayaraya diketahui telah mengalami perubahan data perseroan sebanyak dua kali. Perubahan pertama terjadi pada 8 Desember 2021. Jajaran direktur yang sebelumnya dipegang oleh Hairi ST, beralih kepada Sudirman. Sedangkan Denny Muslimin, yang sebelumnya menjabat sebagai Komisaris Utama, berubah menjadi Komisaris. Kepemilikan saham Denny Muslimin pun turun menjadi 800 lembar atau senilai Rp 800 juta.
Perubahan kedua terjadi pada 25 Februari 2022. Di mana saham mayoritas PT. Sigma Silica Jayaraya beralih kepada PT. Mustika Bahtera Abadi, dengan kepemilikan saham 800 lembar dan PT. Sigma Group Indonesia, dengan jumlah saham 200 lembar.
Kami kembali menelusuri siapa dibalik perusahaan PT. Sigma Group Indonesia tersebut. Pada dokumen AHU, PT. Sigma Group Indonesia disahkan berdasarkan SK pengesahan Nomor; AHU-0074165.AH.01.01.Tahun 2021, tanggal 22 November 2021.
Perusahaan tersebut juga menyertakan modal awal sebesar Rp 1 miliar, dalam bentuk uang. Di mana mayoritas saham dikuasai oleh Denny Muslimin, selaku Direktur Utama, dengan total saham sebanyak 900 lembar atau senilai Rp.900 juta. Sementara sisanya dikuasai oleh pengurus lain, di antaranya Sudirman, selaku direktur sebanyak 30 lembar, Mohani selaku Direktur sebanyak 20 lembar, Hairi, selaku Komisaris Utama sebanyak 30 lembar dan Herma Irwanda sebanyak 20 lembar.
Demikian juga PT. Inti Tama Mineral (PT. ITM). Berdasarkan data Ditjen AHU, Perusahaan tersebut disahkan pada 19 November 2021, berdasarkan SK pengesahan Nomor; AHU-0073876.AH.01.01.Tahun 2021.
Perusahaan yang mendapatka izin konsesi 1.163,00 Ha, berdasarkan SK : 887/MB.03/DJB/ WIUP/2022, dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) itu juga menyertakan modal awal sebesar Rp 1 miliar. Di mana saham mayoritas dikuasai oleh Denny Muslimin, selaku Direktur Utama, dengan nilai saham Rp 900 juta atau sebanyak 900 lembar.
Dalam dokumen tersebut, PT. Inti Tama Mineral juga mengalami perubahan data perseroan, baik pada jajaran direksi maupun peralihan penguasaan saham. Perubahan pertama pada 6 Desember 2021. Di mana 200 lembar saham dikuasai oleh PT. Sigma Group Indonesia. Sedangkan 800 lembar saham lainnya, masih dkuasai oleh pengusaha sekaligus politikus Denny Muslimin.
Perubahan kedua terjadi pada 22 Juni 2022, di mana saham mayoritas beralih kepada PT. Mustika Bahtera Abadi, dengan kepemilikan saham 800 lembar dan PT. Sigma Group Indonesia, dengan jumlah saham 200 lembar.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumberdaya Mineral (Disperinda ESDM), Provinsi Kalimantan Barat Syarif Khamaruzaman, mengatakan, izin PT. Sigma Silica Jayaraya dikeluarkan oleh kementerian. Pada saat izin itu dikeluarkan Khamaruzaman mengatakan kewenangan sektor pertambangan berada di pusat. Hal itu merujuk Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.
“Izin itu dikeluarkan oleh kementerian. Bukan kami,” Baru lah pada tahun 2022, ada penyerahan atau pendelegasian kewenangan ke provinsi, berdasarkan Perpres 55 tahun 2022. Itu hanya untuk izin tambang non logam,” kata Khamaruzaman saat ditemui pada 22 November 2023.
Dikatakan Khamaruzaman, ketika pendelegasian ke provinsi, proses IUP Ekplorasi PT. Sigma Silica Jayaraya sudah masuk ke tahapan pengajuan AMDAL.
“Dan Itu ranahnya berada di DLHK,” katanya.
Khamaruzaman mengatakan, secara umum pengajuan izin pertambangan sudah menganut sistem Online Single Submission (OSS). Di mana pelaku usaha mengunggah dokumen atau syarat-syarat yang telah dipersyaratkan.
“Jadi semua sudah sistem online. Jika, seluruh syarat tersebut terpenuhi, maka izin bisa langsung keluar. Itu pun yang mengeluarkan PTSP (pelayanan terpadu satu pintu),” terangnya.
Ketika pelaku usaha sudah mendapatkan izin, seperti IUP Eksplorasi misalnya, maka dia wajib membayar jaminan kesungguhan eksplorasi, yang nilainya ditentukan berdasarkan luasan konsesi. Begitu juga ketika masuk pada tahapan operasi produksi, wajib membayar jaminan reklamasi.
Terkait pertambangan di Pulau Gelam, Khamaruzaman, enggan berkomentar. Menurut dia, izin perusahaan tambang tersebut dikeluarkan oleh kementerian.
“Sekali lagi, izin itu dikeluarkan di pusat, kewenangan kami sebatas memberikan pertimbangan teknis, kajian keekonomian dan kajian tata kelola tambang. Itu pun, setelah ada peningkatan status dari eksplorasi ke operasi produksi (OP),” tegasnya.
Tidak Dilengkapi Kajian Lingkungan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kalimantan Barat, Adi Yani mengungkapkan, aktivitas eksplorasi PT. Sigma Silica Jayaraya di Pulau Gelam tidak disertai dengan kajian lingkungan atau dokumen pengelolaan lingkungan hidup pertambangan.
Dikatakan Adi Yani, untuk melakukan eksplorasi, harus dilengkapi dokumen lingkungan atau UKL UPL sebagai panduan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 22 Tahun 2021.
“Ini yang harus dilihat terlebih dahulu, apakah saat dikeluarkannya izin eksplorasi itu telah disertai dengan dokumen lingkungan atau tidak. Dan nyatanya kan tidak ada. Ini sudah menyalahi aturan,” ungkap Adi Yani, 22 November 2023.
Terkait dengan pengajuan penerbitan AMDAL, diakui Adi Yani, PT. Sigma Silica Jayaraya telah mengajukan permohonan penerbitan AMDAL, pada awal tahun 2023, khususnya untuk membangun tarsus (terminal khusus) di kawasan Pulau Gelam. Namun, pada saat pemeriksaan baru diketahui bahwa lokasi tersebut masuk kawasan konservasi kelautan.
“Maka, kami sarankan kepada pelaku usaha untuk melakukan koordinasi lebih lanjut ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Barat,” kata Adi Yani.
Lebih lanjut, Adi Yani mengatakan, perusahaan juga diminta untuk mengurus Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPR) Laut untuk lokasi tarsus (terminal khusus). Sepanjang PKKPR Laut belum diperoleh, maka proses penilaian AMDAL tidak bisa dilanjutkan alias ditolak.
“Selama tidak ada dokumen PKKPR Laut, maka kami tidak akan menerbitkan AMDAL, dan kami sudah lakukan pertemuan dengan ESDM, Asisten II, DKP, dan instansi terkait. Kami sepakat mengembalikan izin IUP eksplorasi ini ke kementerian,” tegas Adi Yani.
Terkait dengan pelanggaran regulasi, kata Adi Yani, Pemerintah Daerah dapat memberikan rekomendasi pencabutan izin jika terbukti bahwa pelaku usaha telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
“Saat ini untuk rekomendasi pencabutan izin sedang berproses di Biro Perekonomian Setda Provinsi Kalbar. Karena memang mereka yang memproses,” kata Adi Yani.
Penguasaan Lahan dengan Penerbitan SKT Fiktif
Pada awal September 2023, tim kembali melakukan penelusuran adanya informasi penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) fiktif oleh pemerintah desa setenpat. Penerbitan SKT tersebut diduga sebagai syarat kepentingan ekplorasi Pulau Gelam oleh pihak perusahaan yang melibatkan pemerintah desa, terutama kepala desa Kendawangan Kiri.
Dalam penelusuran tersebut, kami berhasil menemui sejumlah warga yang namanya tercantum dalam SKT, sementara mereka tidak merasa mengajukan permohonan pembuatan surat tanah tersebut.
Satu di antaranya adalah Haryanto (35), warga Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang. Berdasarkan salinan dokumen SKT nomor P/177/KDW.KIRI-D.593.2/VI/2/2023 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Kendawangan Kiri, Pusar Rajali, pada 23 Juni 2023, nama Haryanto tercantum di dalamnya. Padahal dirinya tidak pernah mengajukan penerbitan surat tanah tersebut.
“Saya tidak pernah mengajukan permohonan pembuatan SKT ke Desa. Kalau misalnya nama saya tercatat sudah buat SKT, kita enggak terima lah, kan masalahnya kita enggak tau kita mau ajukan ke desa, nginjak ke rumah desa aja belum pernah,” ujarnya saat diwawancara tim jurnalis investigasi Oktober 2023 lalu.
Bahkan, ia mengaku belum pernah melihat wujud SKT yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tersebut.
“Kita enggak terima lah karena kita enggak pernah bikin SKT. Boleh jadi juga kita akan buat laporan ke pihak yang berwajib atau berwenang, karena kita enggak terima,” tegas Haryanto.
Padahal, lanjut Haryanto, dirinya sudah sejak lama memiliki lahan di Pulau Gelam. Yang seharusnya memang sangat diperlukan SKT sebagai bukti yang kuat untuk mempertahankan tanah miliknya.
“Saya di sana (Pulau Gelam) sudah lama, dari zaman kakek dan nenek saya. Lebih dari puluhan tahun,” timpal Haryanto pria kelahiran Kedawangan tahun 1988 itu.
Karena sudah sejak lama memilik tanah di Pulau Gelam, Haryanto kembali menegaskan, dirinya menolak kehadiran perusahaan tambang yang akan masuk di Pulau Gelam.
“Informasi ada masuk tambang cuma kita kan enggak tahu. Kalau untuk perusahaan belum ada. Cuma kita kan belum punya SKT, jadi enggak bisa mengizinkan sepenuhnya lah, kan kita yang punya hak. Kalau dijadikan tambang, kita kurang setuju masalahnya pulau itu akan habis untuk generasi ke depannya, enggak ada lagi. Penghasilan juga akan berkurang, karena di sana jadi pusat penghasilan masyarakat terutama nelayan,” ucap Haryanto yang kesehariannya sebagai nelayan.
Selain itu, tim bertemu dengan Suparyanto. Ia juga mengalami nasib yang sama dengan Haryanto. Meski memiliki lahan di Pulau Gelam, Suparyanto juga merasa tidak mengajukan permohonan pembuatan surat tanah. Namun, namanya tercantum di SKT.
“Saya tinggal di sana selama belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek moyang dan tanahnya tidak pernah saya jual. Tapi kenapa sekarang ada orang yang mau mengambil lahan di situ, padahal dia tidak punya hak di situ. Dan saya tidak pernah buat SKT,” kata Suparyanto.
“Saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengrus lahan yang terlekak di Pulau Gelam kepada siapapun,” tegasnya.
Begitu juga dengan Kamal dan Arpa’i.
“Kami tidak pernah menandatangai surat keterangan tanah maupun surat kuasa untuk mengurus lahan di Pulau Gelam,” kata Kamal.
Dalam penerbitan SKT ini, menurut dia, ada dugaan pihak Pemdes Kendawangan Kiri tidak transparan ke publik, bahkan kepada warga yang namanya tercatut dalam SKT yang hingga saat ini tidak diperlihatkan dokumen fisiknya.
Hanya saja, warga yang katanya dibuatkan SKT diberikan uang sebesar Rp1 juta per orang sebagai uang gantinya. Padahal dalam pembelian SKT tersebut, berdasakan keterangan dari pihak Pemdes Kendawangan Kiri sebesar Rp7 juta per orang.
“Ada dapat uang sejuta. SKT-nya tidak ada dilihatkan. Tidak kenal dengan orang yang menawarkan SKT,” sambung Sumia (50), warga Pulau Cempedak, Desa Kendawangan Kiri yang pernah menerima uang pengganti SKT.
Sumia merupakan warga Pulau Gelam yang saat ini bermukim di Pulau Cempedak.
“Ada lahan dan kebun di Gelam, orang tua kuburannya di sana,” katanya.
Sementara itu, Kasi Pemerintahan Desa Kendawangan Kiri, Ahmad Nurdin mengkalim, penerbitan SKT berdasarkan permohonan warga.
Menurutnya, jika tidak ada permohonan, maka SKT tidak bisa diterbitkan.
“Setiap SKT yang diterbitkan pasti ada pemohonnya, dan ada tanahnya. Kalau tidak ada, tidak mungkin bisa diterbitkan,” ujarnya.
Nurdin menyebut, jumlah SKT yang telah diterbitkan, lebih dari 100 lembar. Namun saat ditanya angka pastinya, Nurdin mengaku tidak mengetahyi.
“Jumlahnya ada ratusan,” kata Nurdin.
Disingging soal syarat penerbitan SKT, Nurdin menjelasakan, bagi pemohon SKT harus membuat surat permohonan dan ditandatangani. Pemohon juga menyatakan bahwa dirinya memiliki tanah di Pulau Gelam. Selanjutnya, kata Nurdin, surat permohonan tersebut ditandatangi oleh kepala dusun setempat. Setelah itu, diserahkan kepada Desa.
Tidak hanya cukup sampai di situ, lanjut Nurdin, sebelum SKT terbit, terlebih dahulu ditandatangani oleh saksi yang menyatakan bahwa pemohon benar-benar miliki tanah.
“Saksinya maksimal empat dan minimal dua,” kata Nurdin
Nurdin mengatakan, permohonan SKT berlangsung sejak akhir tahun 2021, dan diterbitkan pada tahun 2022 oleh pemerintah Desa Kecamatan Kendawangan Kiri. Nurdin mengaku, SKT yang telah diterbitkan tersebut sudah diserahkan kepada perusahaan pada awal tahun 2023, dan perusahaan sudah memberikan ganti rugi sebesar Rp7 juta per oranng yang namanya tercantum dalam SKT.
Nurdin juga mengaku, dari uang Rp 7 juta tersebut, hanya Rp 5 juta yang diserahkan kepada pemilik SKT. Sementara Rp2 juta untuk biaya operasional dalam pengurusan SKT.
“SKTnya sekarang sudah diserahkan ke perusahaan. Dan lahannya sudah dibebaskan. Dari uang Rp7 juta itu, Rp5 jutanya diserahkan ke pemilik SKT. Sedangkan yang Rp 2 juta, untuk operasional kantor dan pengurus atau kuasa,” bebernya.
Dalam penerbitan SKT tersebut diduga juga melibatkan Camat Kendawangan. Berdasarkan salinan dokumen SKT yang dimiliki tim kolaborasi, terdapat tandatangan Camat Kendawangan yang saat itu dijabat oleh Eldy Yanto, pada 11 Juli 2022.
Namun setelah dikonfirmasi, Plt Camat Kendawangan Didik Radianto menepis hal itu. Didik menerangkan, penerbitan SKT tersebut tidak mengetahui Camat Kendawangan.
Daya Rusak Lingkungan
Pulau Gelam ditetapkan sebagai kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Nomor: 91/KEPMEN-KP/2020.
Pulau ini juga masuk dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018-2038, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat No. 1 Tahun 2019.
Berdasarkan dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut, Kecamatan Kendawangan memiliki 32 pulau, 4 di antaranya berpenghuni dan 28 lainnya tidak berpenghuni. Pulau-pulau tersebut menjadi salah satu habitat biota perairan dan ekosistem laut seperti padang lamun, dan ekosistem mangrove, serta tempat pendaratan penyu.
Keberadaan padang lamun berfungsi sebagai sumber makanan bagi invertebrata, sebagai tempat tinggal bagi biota perairan, dan sebagai pelindung biota perairan dari serangan predator. Lamun juga menyokong rantai makanan dan penting dalam proses siklus nutrien, serta sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi ataupun abrasi.
Di sekitar Pulau Gelam, terdapat hamparan padang lamun. Setidaknya terdapat tujuh jenis lamun, diantaranya Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassodendron ciliatum. Jenis yang paling umum adalah Enhalus acoroides, sedangkan jenis Halodule uninervis adalah yang paling jarang ditemukan.
Selain Lamun, juga terdapat ekosistem mangrove, dengan persentase tutupan dalam kriteria sedang (68,24%). Ekosistem mangrove berfungsi sebagai daerah penyangga biota perairan yang sangat penting sebagai tempat bertelur, mencari makan, dan berkembang biak.
Dosen Ilmu Lingkungan MIPA Universitas Tanjungpura, Arie Antasari Kushadiwijayanto, mengatakan, aktivitas pertambangan bisa membahayakan ekosistem yang ada. Terutama pelepasan sedimen ke laut, yang otomatis di sekitaran Pulau Gelam akan terdampak karena zona inti ada di kawasan perairan.
“Untuk persentasi sediman bekas tambang itu tergantung jumlah pelepasan dan unsur bisa saja ada logam-logam yang berat yang sebenarnya itu bawaan alami,” kata Arie.
Menurutnya, jika kawasan konservasi berubah fungsi menjadi kawasan lain, seperti kermersil baik kegiatan pertambangan atau eksplorasi, maka akan berdampak terganggunya keseimbangan yang sudah ada, daya dukung lingkungan akan turun, penghasilan masyarakat turun karena ada sebagian masyarakat yang menggantungkan penghasilan mereka di situ juga.
“Daya tangkap juga berkurang, apa lagi nelayan di daerah itu hampir sebagian masyarakatnya nelayan kecil,” bebernya.
Kuarsa dan Pulau Rempang
Pasir kuarsa merupakan bahan alam yang memiliki banyak kegunaan dan manfaat dalam berbagai industri. Pasir yang terbentuk dari silika (SiO2) ini umumnya ditemukan dalam jumlah besar di kerak bumi.
Pasir kuarsa memiliki warna yang umumnya putih atau transparan, dengan butiran yang kasar dan tidak mudah hancur. Kandungan kuarsa dalam pasir kuarsa mencapai lebih dari 90%, membuatnya menjadi salah satu jenis pasir yang paling murni.
Pasir kuarsa memiliki kegunaan di antaranya, sebagai kontruksi campuran beton dan mortir untuk meningkatkan kekuatan dan stabilitas struktur. Industri kaca, industri kimia, di mana pasir ini digunakan dalam produksi berbagai bahan kimia seperti silikon, silikon karbida, dan silikon dioksida.
Selain itu juga digunakan sebagai filtrasi air, Industri minyak dan gas dalam proses pengeboran sumur minyak dan gas untuk menjaga kestabilan dinding sumur.
Di pasar internasional, dikutip dari Indonesian.alibaba.com, harga satu ton pasir kuarsa dengan tingkat kemurnian 99 persen, berkisar antara USD 630,00 sampai USD 730,00, atau sekitar Rp 10.950.00 (USD1=Rp15.000).
Tidak heran jika banyak perusahaan pertambangan non logam memburu pasir ini. terlebih saat pemerintah Indonesia menjadikan Pulau Rempang sebagai industri pengolahan pasir kuarsa besar-besaran.
Di Kalimantan Barat, selain di Pulau Gelam, izin pertambangan eksplorasi pasir kuarsa mulai marak. Tepatnya setelah pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan pemerintah provinsi dalam penerbitan izin pertambangan non logam.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi dan Sumber Daya Mineral (Disperindag ESDM) Kalimantan Barat, Syarif Khamaruzaman mengatakan, saat ini mulai banyak perizinan tambang pasir kuarsa di Kalimantan Barat, terutama pada saat adanya penedelegasian dari pusat ke pemerintah provinsi.
“Pasir kuarsa ini mulai booming, ya karena setelah pemerintah pusat membuka pabrik silica di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Untuk di Kalbar, rata-rata izinnya baru pada tahap eksplorasi,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan pemberhati Pertambangan Kalimantan Barat, Ismail. menurut dia, pertambangan pasir kursa menjadi salah satu komoditi yang diminati saat ini. Terutama pada jalur atau sabuk granit. Semisal daerah Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Tengah, dan sedikit di Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat).
“Saya berasumsi ada fenomena demam silika. Karena silika dianggap mendatangkan keuntungan dikemudian hari,” kata Ismail.
Menurut dia, selain di dalam sabuk granit, izin pertambangan pasir kuarsa juga terdapat di sejumlah daerah. Di Kabupaten Sambas misalnya. Setidaknya ada 10 perizinan eksplorasi pasir kuarsa yang diterbitkan Gubernur Kalimantan Barat.
“Padahal kita harus tahu, mengajukan izin itu harus ada jaminan kesungguhan eksplorasi yang dihitung dari luasan izin. Bisa saja nilainya ratusan juta bahkan miliaran tergantung luasannya,” bebernya.
Terkait Pulau Gelam, Ismail mengaku, dirinya pernah mengunjung pulau yang berada di sebelah selatan Kecamatan Kendawangan itu. Menurutnya, ia tidak menemukan adanya pasir kuarsa di sana.
“Sebelum heboh penambangan di sana, saya sudah pernah ke sana. menurut pengamatan saya, tidak ada pasir kuarsa di sana. kalau pun ada, nilai ekonominya rendah,” katanya.
“Tapi biar lah hasil eksplorasi mereka yang menguji itu,” sambungnya.
Ismail mengatakan, dirinya menyayangkan ada penerbitan izin pertambangan di Pulau Gelam, yang nota bene telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil.
Ismail juga mengatakan, penambangan pasir kuarsa dapat mengakibatkan dampak lingkungan yang serius jika tidak dikelola dengan baik. Misalnya, kerusakan habitat, karena penambangan pasir kuarsa dapat mengakibatkan kerusakan habitat alami dan mengganggu ekosistem lokal. Debu dan polusi udara, pencemaran air, dan peningkatan erosi tanah.
“Saya yakin, jika Pulau Gelam dilakukan penambangan, maka pulau itu akan tenggelam,” kata Ismail.
Menolak Diwawancara
Tim mencoba menghubungi Denny Muslimin, selaku Komisaris Utama di PT. Sigma Silica Jayaraya maupun PT. Sigma Group Indonesia melalui aplikasi Whats App pada tanggal 27 Desember 2023. Namun yang bersangkutan tidak merespon.
Kembali menghubungi Denny Muslimin pada 7 Januari 2024, dan mendapat respon. Namun, yang bersagkutan menolak diwawancara dan mengarahkan agar kami, menghubungi Direktur perusahaan tersebut.
“Ke direktur saja,” kata Denny Muslimin melalui pesan Whats App.
Denny lalu mengirim nomor kontak Sudirman.
Kemudian, mencoba menghubungi Sudirman, melalui aplikasi Whats App, namun tidak langsung direspon. Beberapa saat kemudian, kami kembali menghubungi Sudirman melalui jaringan telephone.
Pada saat dikonfirmasi, Sudirman, yang juga pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kalimantan Barat itu sempat menghardik.
“Apa hubungannya dengan saya,” tanya Sudirman.
Setelah mencoba menjelaskan duduk perkara PT. Sigma Silica Jayaraya dengan dirinya. Namun, yang bersangkutan mengatakan jika Denny Muslimin yang lebih mengetahui soal aktivitas pertambangan di kawasan konservasi Pulau Gelam tersebut.
“Ke Denny saja. Sudah bener itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara,” kata Sudirman sembari menutup telephon. (***)
Catatan Redaksi: Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak, Mongabay Indonesia dan Project Mulatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.