SuaraKalbar.id - Dirampas paksa, itulah analogi yang tengah dirasakan kelompok warga Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat terkait lahan milik mereka yang dirampas untuk kepentingan investasi tambang.
Lahan petakan yang terletak di Pulau Gelam, pulau seluas 28 kilometer persegi itu habis jadi bancakan dengan penerbitan surat keterangan tanah (SKT) yang akhirnya dijual kepada dua perusahaan tambang. Tak kala warga merasakan dalam penerbitan SKT ini banyak kejanggalan dan hanya menguntungkan sejumlah pihak saja.
Tim investigasi menemukan penerbitan SKT juga diduga tidak melibatkan warga yang memiliki hak tanah di Pulau Gelam. Nama Haryanto juga tercantum dalam penerbitan SKT. Dalam penerbitan SKT ini, juga diduga tidak melibatkan warga yang memiliki hak lahan di Pulau Gelam. Bahkan dalam penerbitan SKT tersebut juga mencatumkan nama warga tanpa sepengetahuan warga itu sendiri.
“Saya belum pernah mengajukan permohonan pembuatan SKT ke Desa. Kalau misalnya nama saya tercatat sudah buat SKT, kita enggak terima lah, kan masalahnya kita enggak tau kita mau ajukan ke desa, nginjak ke rumah desa aja belum pernah,” ujarnya saat diwawancara tim jurnalis investigasi Oktober 2023 lalu.
Baca Juga:Pelaku Pencurian Sawit Nekat Tembak Polisi di Ketapang, Begini Kondisinya
Namanya tercantum dalam penerbitan SKT oleh Pemdes Kendawangan Kiri berdasarkan dokumentasi salinan SKT nomor P/177/KDW.KIRI-D.593.2/VI/2/2023 yang ditandatangani oleh Kepala Desa Kendawangan Kiri Pusar Rajali dibuat pada 23 Juni 2023.
Semuanya bermula pada awal tahun 2023 ketika penerbitan SKT itu mulai didengar warga Desa Kendawangan Kiri. Ketika itu warga juga mendengar penerbitan ini diperuntukkan untuk warga yang memiliki hak tanah di Pulau Gelam. Bahkan dalam penerbitan SKT itu juga diduga mencatut beberapa nama warga yang merasa belum pernah mengajukan permohnan penerbitan SKT. Namun tiba-tiba mendengar namanya sudah memiliki SKT. Hal ini kemudian mencuat ke publik dan ramai diperbincangan.
Hingga saat ini, Haryanto mengaku belum pernah diperlihatkan terait SKT yang diterbitkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tersebut.
Oleh sebab itu, Haryanto menegaskan, bahwa dirinya siap menempuh jalur hukum jika namanya tercantum dalam penerbitan diduga SKT fiktif itu.
“Kita enggak terima lah karena kita enggak pernah bikin SKT. Boleh jadi juga kita akan buat laporan ke pihak yang berwajib atau berwenang, karena kita enggak terima,” tegas Haryanto.
Baca Juga:Hadir di Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud, Ini Pesan Ahok untuk Anak Kalimantan
Padahal Haryanto melanjutkan, dirinya sudah sejak lama memiliki lahan di Pulau Gelam. Yang seharusnya memang sangat diperlukan SKT sebagai bukti yang kuat untuk mempertahankan tanah miliknya.
“Saya disana sudah lama, dari zaman kakek dan nenek saya sudah di Pulau Gelam, lebih dari puluhan tahun,” timpal Haryanto pria kelahiran Kedawangan tahun 1988 itu.
Hal senada juga disampaikan oleh Suparyanto. Ia menegaskan, bahwa dirinya juga tidak terima terhadap penjualan tanah oleh oknum yang tidak memiliki hak di Pulau Gelam.
“Lahan banyak tumpukannya lahan milik saya sekitar 50 hektare kalau dikumpulkan, karena tinggal disana sudah lebih belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek muyang dan tanahnya tidak pernah saya jual, tapi itu ada orang yang mengambil lahan disitu orang yang enggak ada hak disitu. Saya enggak pernah buat SKT. Dulu saya mau buat SKT ke kepala desa pak Rajali, tapi tadak dibikinkan,” ucapnya.
Ia pun tidak mengetahui alasan, Pemdes tidak menerbitkan SKT yang ia ingin buat. Oleh sebab itu, Suparyanto menegaskan, bahwa jika namanya tercatut dalam penerbitan itu, tanpa sepengetahuannya dan merupakan tanda tangan fiktif, karena dirinya tidak pernah menandatangani SKT.
“Kalau saya tidak pernah menadatangani, kalau memang ada asli pasti ada tanda tangan saya (kalau misalnya namanya tercantum) enggak terima lah,” ucapnya.
Bahkan sudah ada warga yang membuat Surat Pernyataan, bahwa tidak pernah membuat permohonan atau membuat SKT kepada Pemerintah Desa.
“Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengurus lahan yang terletak di Pulau Gelam Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri kepada saudara Nono Romansyah,” kata Arpa’i membacakan surat pernyataannya begitu juga hal yang sama disamaikan oleh Kamal.
Dijelaskan oleh Arpa’i dan Kamal, bahwa Nono Romansyah waktu itu merupakan Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri yang dipercaya oleh pihak Desa untuk mengumpukan surat kuasa atau surat permohonan penerbitan SKT.
Dalam penerbitan SKT ini, ada dugaan pihak Pemdes Kendawangan Kiri tidak transparan ke publik, bahkan kepada warga yang namanya tercatut dalam SKT yang hingga saat ini tidak diperlihatkan dokumen fisiknya. Selain tidak mendapat dokumen fisik, warga juga mendengar selentingan tak sedap terkait besaran uang pembayaran SKT tersebut.
Hanya saja, seorang warga bernama Sumia (50) yang dibuatkan SKT hanya diberikan uang sebesar Rp1 juta sebagai uang gantinya. Padahal dalam pembelian SKT tersebut, berdasakan keterangan dari pihak Pemdes Kendawangan Kiri sebesar Rp7 juta perorang.
“Ada dapat uang sejuta. SKT-nya tidak ada dilihatkan. Tidak kenal dengan orang yang menawarkan SKT,” kata Sumia (50) selaku Warga Pulau Cempedak, Desa Kendawangan Kiri yang pernah menerima uang pengganti SKT.
Padahal warga sangat menginginkan melihat secara langsung dokumen fisik SKT yang diterbitkan itu, mengingat sudah puluhan tahun memiliki tanah di Pulau Gelam.
“Ada lahan dan kebun di Gelam, orang tua kuburannya di sana,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Lima (45) Warga Pulau Cempedak, bahkan kata Lima dalam penerbitan SKT ini sempat terjadi perselisihan.
“(dulu) Surat menyurat (legalitas tanah) memang tidak diperhatikan. Ada dapat pembayaran global. Tidak ada terima (melihat berkas SKT). Sebagian (warga) dapat sebagian tidak,” ucapnya.
“(ada) Yang berkelahi (berselisih_red. Berkelahi tidak secara fisik) karena hal itu ( Silaturahmi pecah) Kalau bisa jangan sampai terpecah karena itu. Saya juga ingatkan adik untuk tidak berkelahi karena hal itu,” timpal Lima.
Eksplorasi Tambang
Kejadian ini berawal dari masuknya perusahaan pertambangan atau pengerukan pasir kuarsa oleh PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM) yang mulai melakukan eksplorasi sebagai sampel untuk ekploitasi di Pulau Gelam Dusun Pulau Bawal Desa Kendawangan Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Masuknya perusahaan tambang ini disertai adanya perampasan lahan milik warga bahkan diduga ada jual beli lahan kepada perusahaan tambang oleh beberapa oknum.
Dugaan Pulau Gelam yang dijual kepada pelaku usaha pertambangan dengan modus penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri di atas Pulau Gelam atas nama sekelompok orang atau masyarakat yang kemudian dijual kepada pelaku usaha pertambangan di Pulau Gelam tersebut.
Penerbitan SKT tersebut diduga bertujuan sebagai syarat sebagai kepentingan ekplorasi Pulau Gelam. Demi beroperasinya perusahaan tambang, mereka pun diduga merampas lahan milik warga dengan modus penerbitan SKT baru di atas lahan milik warga.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba lama), Pasal 134 dikatakan bahwa Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. Pasal 138 UU Minerba lama yang juga menyatakan IUP, IPR, dan IUPK tidaklah termasuk hak atas tanah permukaan bumi. Oleh karena itu, industri pertambangan wajib melakukan pengadaan tanah.
Kemudian, Pasal 135 UU Minerba lama menyatakan bahwa Pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Artinya, pihak industri pertambangan harus melakukan persetujuan dan mencapai kesepakatan terkait pengakuisisian tanah tersebut.
Kemudian, di tahap persiapan penambangan, industri pertambangan wajib menyelesaikan peralihan Hak atas Tanah (HAT) dengan pemegang HAT tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 136 UU Minerba lama. Apabila kedua prosedur tersebut tuntas dilakukan, maka menurut Pasal 137 UU Minerba lama, Industri pertambangan dapat diberikan HAT. Bentuk-bentuk perolehan HAT tersebut. Diantaranya Pertama, apabila pemegang HAT adalah negara, maka perolehannya adalah Izin. Kedua, apabila pemegang HAT adalah masyarakat adat, maka perolehannya adalah izin/kesepakatan. Ketiga, apabila pemegang HAT adalah privat, maka perolehannya adalah melalui jual beli, pinjam pakai, kerja sama, sewa, dan/atau tukar menukar.
Warga Terdampak
Kehadiran perusahaan pertambangan atau pengerukan pasir kuarsa oleh PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (ITM) yang sudah melakukan eksplorasi sebagai sampel untuk ekploitasi di Pulau Gelam mendapat penolakan banyak pihak, mulaidariwarga sekitar, nelayan, tokoh masyarakat hingga beberapa organisasi masyarakat.
Haryanto kesehariannya sebagai nelayan menerangkan, karena dirinya sudah sejak lama memiliki tanah di Pulau Gelam, Haryanto menegaskan, bahwa dirinya menolak kehadiran perusahaan tambang yang akan masuk di Pulau Gelam.
Menurut Haryanto, kehadiran perusahaan tambang ke Pulau Gelam hanya akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan hingga menyebabkan penurunan hasil tangkapan nelayan.
“Informasi ada masuk tambang cuman kita kan enggak tahu. Kalau untuk perusahaan belum ada. Cuman kita kan belum punya SKT, jadi enggak bisa mengizinkan sepenuhnya lah, kan kita yang punya hak. Kalau dijadikan tambang, kita kurang setuju masalahnya pulau itu akan habis untuk generasi kedepannya, enggak ada lagi. Penghasilan juga akan berkurang, karena disana jadi pusat penghasilan masyarakat terutama nelayan,” ucap pria kelahiran Kedawangan tahun 1988 itu.
Warga menilai, kehadiran perusahaan tambang ini hanya akan membawa kabar buruk bagi para warga termasuk para nelayan.
“Sekarang pendapatan mulai berkurang, karena air mulai tercemar karena racun dari perusahaan sawit dari pulau bawal, apalagi jika misalnya Pulau Gelam ini ditambang, sehingga mengkhawatirkan kami, bahkan kalau saya itu rugi dua kali, pertama unti di daratan, lahan saya akan habis, kedua saya tidak bisa nelayan, karena air sudah tercemar,” kata Suparyanto yang bekerja sebagai nelayan di kawasan pulau Gelam.
Atas ancaman itu, Suparyanto mengharapkan agar Pulau Gelam dibiarkan dengan kondisi alam yang asri, tanpa merusaknya.
“Maka kami mengharapkan jangan sampai pulau itu (pulau gelam) ditenggalamkan, karena kan kalau tambang masuk, maka sengaja pulau itu ingin ditenggelamkan,” ucapnya.
Satu diantara tokoh masyarakat Kendawangan Ketapang H. Asmuni menilai, bahwa Pulau Gelam merupakan lumbung bahkan pusat bagi para nelayan untuk menangkap ikan, udang dan lainnya. Hal tersebut, kemudian diperkuat setelah beberapa pulau di Kendawangan di dekat Pulau Gelam yaitu Pulau Bawal yang sudah tercemar akibat limbah perusahaan sawit.
“Jadi Pulau Gelam sudah menjadi sumber pendapatan nelayan. Jika ada yang bilang tambang memberikan dampak positif, memberikan lapangan pekerjaan dan meningkatkan ekonomi masyarakat, itu sangat kecil, karena jika ditambang maka pulau itu akan cepat habis,” tegasnya.
Oleh sebab itu, dirinya menolak berbagai bentuk apapun masuknya perusahaan tambang dan lainnya yang akan merusak Pulau Gelam.
“Pertama karena Pulau Gelam itu daerah konservasi, kedua kalau tambang itu otomatis di mana-mana akan merusak lingkungan sehingga pulau itu bisa tenggelam, karena mereka (pelaku usaha tambang) bikin sampel itu paling dalam 18 meter dan paling dangkal 13 meter buat lobang dan itu sudah banyak,” katanya.
Dengan demikian, hadirnya perusahaan yang akan merusak Pulau Tambang dinilai hanya akan mengganggu kelestarian alam di sana. Selain itu, juga akan mengganggu ketentraman masyarakat sekitar.
Warga Lapor Polisi
Penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) di Pulau Gelam Desa Kendawangan Kiri Kecamatan Kendawangan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat hingga kini masih menjadi tanda tanya.
Satu diantara tokoh masyarakat Kendawangan Ketapang H. Asmuni menyampaikan, bahwa sampai saat ini, warga masih belum mengetahui siapa saja yang memiliki atau namanya tercantum dalam SKT tersebut.
Karena tidak adanya transparansi terkait penerbitan SKT tersebut, diduga SKT yang diterbitkan ini merupakan SKT fiktif. Bahkan warga telah melaporkan hal tersebut kepada Polda Kalbar.
"Kami sudah membuat laporan ke Polda dari bulan Juni 2023, namun belum berkembang, masih dalam lidik. Nah yang saya tekankan pada laporan ini adalah saya minta usut tuntas pembuatan SKT yang diduga fiktif itu, karena mereka yang membuat SKT tidak dibuka secara transparan kepada masyarakat yang punya hak di sana," ujarnya saat diwawancara.
Bahkan kata H. Lakok panggilan karibnya, mengaku dirinya lahir Pulau Gelam pada tahun 1962, orang tua dan kakeknya sudah tinggal disana dan memiliki tanah di Pulau Gelam. Namun karena tidak adanya akses pendidikan dan kesehatan disana, warga terpaksan harus pindah ke pulau terdekat seperti Pulau Cempedak, Kendawangan dan pusat Kota untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehata yang layak.
Akan tetapi, dirinya tidak menyangka akan penerbitan SKT oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tanpa sepengetahuan masyarakat yang memilki hak disana. Ia menyebut berdasarkan informasi yang didapat, bahwa sudah sebanyak kurang lebih 300 SKT yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri. Penerbitan SKT tersebut kata Asmuni, masih baru sekitar tahun 2022 lalu.
"SKT ini masih baru diterbitkan, begitu ada perusahaan tambang masuk, baru dibuat. Sehingga yang dipertanyakan dasar penerbitan SKT ini apa," ucap pria kelahiran 1962 di Pulau Gelam itu.
Bahkan kata Asmuni, sepanjang yang dia ketahui, warga di Pulau Gelam waktu itu belum sampai mencapai jumlah 300 penduduk.
"SKT yang diterbitkan desa sebanyak 300 lebih . Sedangkan penduduk Pulau Gelam yang asli punya sejarah di sana tidak sampai segitu. Maka kita minta dibuka secara transparan SKT ini atas nama siapa-siapa saja. Karena sampai saat ini kami belum tahu siapa-siapa saja yang punya SKT ini," ujarnya.
"Bahkan tidak ada masyarakat yang dilibatkan atau istilahnya diukur di lapangan, karena kan kalau SKT ini setiap diterbitkan harus ada lampiran kiri, kanan, timur, barat di SKT juga ada saksi-saksi, patok batas. Saya lihat enggak ada mereka lakukan, hanya main buat aja,” timpalnya.
Susyanto yang juga merupakan tokoh masyarakat Kecamatan Kendawanagan sekaligus Ketua PAC Pemuda Pancasila menerangkan, bahwa pihaknya juga sudah memberikan keterangan kepada pihak kepolisian yakni Polda Kalbar terkait laporannya. Namun ia mengaku, bahwa laporan tersebut hingga saat ini masih mandek dan tidak ada tindak lanjut dari pihak kepolisian.
“Sudah dilaporkan ke Polda kebetulan saya sebagai saksi untuk memberikan keterangan ke polda. Disitu kita sudah memenuhi panggilan dari Polda dan memberikan keterangan sekitar tiga jam dan bukan hanya saya sendiri yang memberikan keterangan terkait Pulau Gelam. Namun sampai saat ini belum pernah mendengar sejauh mana proses itu dilakukan. Sehingga saya pernah menyampaikan, bahwa ini seolah-olah mati suri, tidak ada tindak lanjut. Tolong lah aturan ini harus tajam ke atas, jangan tajam ke bawah, kasian masyarakat,” ungkapnya.
Alasan melaporkan persoalan tersebut ke Polda Kalbar, lanjut Susyanto, karena penerbitan SKT yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri ini tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat secara luas sehingga diduga SKT fiktif.
Penerbitan SKT itu terjadi, lanjut Susyanto, baru tampak saat adanya perusahaan tambang dan pasir kuarsa tersebut masuk dan melakukan ekplorasi sebagai sample untuk ekploitasi dan beroperasinya perusahaan tersebut. Sehingga muncul ratusan SKT.
“Yang mana pembuatan SKT ini tidak transparan. Seharusnya menurut saya ketika pengeluaran SKT itu harus ada verifikasi ke lapangan untuk menentukan keabsahan hak milik si a si b atau si d. Jadi ketika ada munculnya SKT tanpa sepengetahuan sepeti itu atau hanya segelintir orang yang mengetahui itu, saya anggap ini SKT fiktif,” ungkapnya.
Selain itu, menurut Susyanto, dalam penerbitan SKT tersebut juga harus mengacu pada sejarah asal usul Pulau Gelam sehingga bisa diketahui, warga mana saja yang memiliki hak tanah disana.
“Jadi tidak hanya semena-mena bisa membuat SKT tanpa keterangan asal usul. Sejauh ini kita tidak tau dasar asal usul mereka menerbitkan SKT, itu yang saya tanyakan terhadap sekitar ada 300 SKT yang diterbitkan,” imbuhnya.
Susyanto menerangkan, bahwa dirinya berusaha menanyakan kepada warga, terkait dengan penerbitan SKT tersebut. Namun warga tidak mengetahui, siapa saja pemilik SKT yang diterbitkan Pemdes Kendawangan Kiri tersebut. Bahkan warga juga tidak pernah mengetahui secara langsung dokumen fisik SKT tersebut. Kata Susyanto, warga hanya bisa melihat beberapa salinan dokumen SKT lewat handphone.
Klaim Pemdes
Kasi Pemerintahan Desa Kendawangan Kiri, Ahmad Nurdin mengklaim, bahwa Pemerintah Desa Kendawangan Kiri telah meneritkan SKT berdasarkan permohonan dari warga.
Nurdin menerangkan, jika tidak ada pemohon dari warga tentu, SKT tersebut tidak bisa diterbitkan oleh Pemdes.
“Setiap SKT yang terbit pasti ada pemohonnya dan ada tanahnya. Kalau tidak ada pemohonnya enggak mungkin lah kita buatkan. Karena semua desa bagian membuat SKT kalau ada pemohon nanti kepala dusun verifikasinya,” ujarnya mewakili Kades yang waktu itu Kades dikabarkan lagi sakit pada Oktober lalu di Kantor Desa Kendawangan Kiri.
“Ketika SKT terbit pasti ada pemohon pasti ada tanah dan pasti dilakukan pengukuran,” timpalnya.
Nurdin menyebut, SKT yang telah diterbitkan oleh Pemdes Kendawangan Kiri, jumlahnya lebih dari seratus. Namun saat ditanya angkanya, dia tidak menyebutkan.
“Pemohon sih ramai, ratusan, seratus lebih warga memohon ke desa,”kata Nurdin.
Kemudian Nurdin menjelaskan, terkait dengan syarat penerbitan SKT oleh Pemdes Kendawangan Kiri. Katanya, bagi pemohon SKT harus membuat surat permohonan dan menandatanganinya sebagai menyatakan diri memiliki tanah di Pulau Gelam. Selanjutnya, surat permohonan tersebut kemudian ditandatangani oleh Dusun setempat.
Setelah ditandatangani oleh Dusun, kemudian diserahkan kepada Desa. Tidak cukup hanya disitu, sebelum terbit SKT, terlebih dahulu ditandatangani saksi yang menyatakan, bahwa pemohon tersebut memang benar memiliki tanah di Pulau Gelam.
“Saksinya maksimal empat dan minimal dua,” kata Nurdin.
“Syarat penerbitan SKT, ada pemohon, ada tanahnya, dilakukan verifikasi oleh dusun setempat nanti dia akan kirim dengen surat permohonan itu dengan KTP pemohon dan saksi-saksinya. Barulah kita olah sesuai dengan format yang telah ditentukan dan formatnya untuk di kedawangan sama semua,” jelas Nurdin.
Nurdin menyebut, bahwa pemohon pembuatan SKT yang dilakukan warga pada akhir tahun 2021 dan diterbitkan pada tahun 2022 oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri.
Saat ini, Nurdin menerangkan, bahwa SKT yang telah diterbitkan tersebut sudah diserahkan kepada perusahaan pada awal tahun 2023 dan perusahaan sudah memberikan ganti rugi sebesar Rp7 juta peroranng yang namanya tercantum dalam SKT.
Namun dalam pembelian SKT tersebut, warga hanya mendapat Rp5 juta perorang. Sementara Rp2 juta untuk biaya operasional dalam pengurusan SKT.
“SKT nya sekarang sudah sama perusahaan, sudah dibebaskan lahannya, itu tujuh juta, yang ke warga itu Rp5 juta. Rp2 juta itu untuk operasional kantor dan pengurus atau kuasa yang bolak balik, adalagi lah, operasional kapal yang bolak balik, uang makan mereka dan berapa kali terjadi pengukuran yang ricuh ada yang tiga malam disana. Pembebasan lahan awal tahun 2023,” imbuhnya.
Dalam penerbitan SKT tersebut juga diduga ikut terlibat Cama Kendawangan. Jika dilihat dari salinan dokumen SKT yang diterbitkan oleh Pemdes Kendawangan Kiri mengetahui Camat Kendawangan yang saat itu masih dijabat oleh Eldy Yanto yang ditandatangani ada 11 Juli 2022.
Namun setelah dimintai keterangan pihak kecamatan, pada Oktober 2023 yang ditemui oleh Plt Camat Kendawangan yang sebelumnya menjabat sebagai Kasi Pemerintahan camat kendawangan Didik Radianto menepis hal itu. Didik menerangkan, bahwa penerbitan SKT tersebut tidak mengetahui Camat Kendawangan.
“Pemlik tanahnya warga, yang saya tau ada yang membuat SKT, tapi kalau sertifikat belum ada. Yang mengelurkan SKT adalah desa. Kurang tau saya karena saya baru Plt, tapi kayaknya enggak mengetahui camat.” ucapnya.
Tidak mau berkomentar panjang, Didik kemudian melanjutkan dengan penyataan, bahwa pihaknya menolak dengan adanya perusahaan tambang di Pulau Gelam yang merupakan kawasan konservasi.
“Untuk Pulau Gelam pada intinya sebenarnya pulau itu tidak diizinkan untuk diekplorasi untuk tambang, karena pulau ini bagian dari konservasi, jadi enggak bisa ditambang,” tegasnya.
Didik mengatakan, bahwa pihaknya mengizinkan dan menyyetujui perusahaan tambang dan pasir kuarsa masuk ke Kendawangan jika sudah dilakukan kajian untuk memastikan tidak terjadi dampak negativ yang ditimbulkan.
“Harus ada kajian, mana wilayah-wilayah tertentu seperti cagar alam, kemudian daerah konservasi, status hutan HP. Yang mana ini statusnya sangat tidak dianjurkan untuk di tambang. Dan kalau dikawasan konservasi tidak menyetujui, sama termasuk di Pulau Gelam, alangkah baiknya tetap dilestarikan, jangan ditambang,” ungkapnya.
Respon Perusahaan
Tim liputan investigasi mencoba menghubungi Denny Muslimin, selaku Komisaris Utama di PT. Sigma Silica Jayaraya maupun PT. Sigma Group Indonesia melalui aplikasi WhatsApp pada tanggal 27 Desember 2023. Namun yang bersangkutan tidak merespon.
Kemudian tim investigasi kembali menghubungi Denny Muslimin pada 7 Januari 2024, dan mendapat respon. Namun, yang bersangkutan menolak untuk diwawancara dan mengarahkan agar menghubungi Direktur perusahaan tersebut.
“ke direktur saja,” kata Denny Muslimin melalui pesan Whats App.
Kemudian, Denny mengirim nomor kontak Sudirman. Selanjutnya, tim investigasi mencoba menghubungi Sudirman, melalui aplikasi WhatsApp, namun tidak langsung direspon. Beberapa saat kemudian, tim investigasi kembali menghubungi Sudirman melalui jaringan telepon.
Pada saat dikonfirmasi, Sudirman, yang juga pengurus HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) Kalimantan Barat itu sempat menghardik.
“Apa hubungannya dengan saya,” tanya Sudirman.
Tim investigasi pun kemudian mencoba menjelaskan duduk perkara PT. Sigma Silica Jayaraya dengan dirinya. Namun, yang bersangkutan mengatakan jika Denny Muslimin yang lebih mengetahui soal aktivitas pertambangan di kawasan konservasi Pulau Gelam tersebut.
“Ke Denny saja. Sudah bener itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara,” kata Sudirman sembari menutup telephone.
Ancam Ekosistem
Penguasaan tanah di Pulau Gelam untuk dieksploitasi tentu sangat membahayakan terhadap lingkungan di Pulau Gelam dan sekitarnya, termasuk dampak negatif bagi warga yang mata pencahariannya bergantung pada pulau Gelam. Karena Pulau Gelam merupakan wilayah kaya akan flora dan fauna, selain menjadi habitat penyu dan dugong yang dilindungi.
Menurut tokoh masyarakat Kendawangan, Ketapang H. Asmuni, praktik eksploitasi pulau kecil untuk tambang tersebut jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan. Terlebih kata dia, saat ini Pemerintah telah menerbitkan sejumlah aturan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil. Aturan yang dimaksud adalah UU No. 1 Tahun 2014 perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Pada Pasal 23 Ayat 2 dalam UU dengan tegas menyebutkan, bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara. Tidak ada sama sekali klausul tentang kegiatan tambang di pulau-pulau kecil.
Larangan untuk semua bentuk penambangan juga disebutkan dalam Pasal 35, yaitu penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral. Pelanggaran hukum pada aturan tersebut akan dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun. Nominal denda yang dikenakan Rp 2 miliar sampai Rp 10 miliar.
Oleh sebab itu, Asmuni dengan tegas menolak penambangan di Pulau Gelam dengan beberapa alasan sesuai aturan tersebut.
“Pertama karena Pulau Gelam itu daerah konservasi, kedua kalau tambang itu otomatis di mana-mana akan merusak lingkungan sehingga pulau itu bisa tenggelam, karena mereka (pelaku usaha tambang) bikin sampel itu paling dalam 18 meter dan paling dangkal 13 meter buat lobang dan itu sudah banyak,” kata Haji Lakok sapaan karibnya.
Selain itu, aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil juga dapat menyebabkan munculnya bencana ekologis bagi masyarakat meliputi kejadian bencana ekstrem, pencemaran air, tanah, dan laut; kerusakan hutan dan sulitnya akses pangan, serta hilangnya ruang hidup masyarakat.
Selain karena Pulau Gelam sudah masuk kawasan konservasi yang telah diatur dalam undang-undang, penolakan warga juga karena khawatir akan hadir bencana yang dapat menimpa warga Kendawangan yang disebabkan kerusakan lingkungan.
“Yang paling kami takutkan, karena itu (pulau gelam) pulau yang dikelilingi lautan, kami takut ketika pulau itu dikeruk dan habis, malah terjadi bencana. Disini ketika ada bencana semua yang menjadi korban nanti itu masyarakat Kecamatan Kendawangan,” ujar Susyanto selaku tokoh masyarakat Kecamatan Kendawanagan sekaligus Ketua PAC Pemuda Pancasila.
“Karena yang saya tau pulau gelam ini masuk wilayah konservasi, artinya enggak boleh ditambang. Kalau memang tidak melanggar aturan yang ditentukan dalam undang-undang. Kami tidak masalah. Artinya kami masyarakat kendawangan menolak perusahaan yang belum pernah memberikan iktikad niat baik kepada masyarakat.”timpanya.
Pengerukan lahan karena aktivitas tambang juga dapat merusak ekosistem yang telah terbangun selama jutaan tahun. Sehingga keseimbangan lingkungan terganggu dan dapat memicu bencana banjir bandang serta tanah longsor di wilayah-wilayah yang sebelumnya nihil bencana.
Permukaan lahan yang telah gundul dapat mengurangi infiltrasi air hujan dan meningkatkan laju aliran permukaan. Kemudian, penumpukan material galian dan kayu-kayu akan terbawa oleh aliran air permukaan. Kestabilan lereng perbukitan pulau-pulau kecil juga rusak karena pengerukan yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan keseimbangan topografinya.
Selain itu, juga terjadi pencemaran air, tanah, dan laut karena limbah hasil pengolahan komoditas tambang, karena tambang dapat merusak ekosistem pesisir dan mangrove. Bahkan tidak hanya secara ekologi, aktivitas tambang di pulau kecil juga rawan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal, karena banyak komoditas pangan yang akhirnya hilang. Alih fungsi lahan mendorong keruntuhan ekosistem pangan sehingga masyarakat juga kesulitan mencari pangan di hutan atau ladang karena telah beralih fungsi ke tambang.
Dampak lain pertambangan di pulau-pulau kecil dapat berkurangnya wilayah desa dan lokasi mata pencarian masyarakat. Kerusakan lingkungan di laut menyebabkan kerugian besar bagi nelayan yang kian sulit mendapatkan tangkapan ikan. Hal serupa dialami petani yang harus menelan pil pahit akibat gagal panen karena minimnya akses air yang memadai bagi areal budidaya taninya. Air sungai yang tercemar buangan limbah juga menjadi racun yang mematikan tanaman (flora) dan hewan (fauna) dalam laut. ***
Catatan Redaksi: Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak, Mongabay Indonesia dan Project Mulatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.