Profil Sarwo Edhie Wibowo, Sang Pembasmi PKI, Mertua SBY

Sarwo Edhie Wibowo yang marah karena Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu korban Gerakan 30 September 1965 itu memutuskan bergabung dengan Soeharto untuk menumpas PKI.

Pebriansyah Ariefana
Kamis, 30 September 2021 | 07:40 WIB
Profil Sarwo Edhie Wibowo, Sang Pembasmi PKI, Mertua SBY
Letnan Jenderal TNI Sarwo Edhie Wibowo [Dokumentasi Twitter AHY]

SuaraKalbar.id - Profil Sarwo Edhie Wibowo. Sarwo Edhie Wibowo adalah pembasmi PKI pada Gerakan 30 September 1965. Sarwo Edhie Wibowo adalah mertua SBY yang juga ayah dari mendiang Kristiani Herrawati atau Ani Yudhoyono.

Sarwo Edhie Wibowo juga dikenal sebagai pembasmi PKI. Dalam sejarah tertulis, pasca peristiwa Gerakan 30 September, terjadi pembantaian massal terhadap anggota, simpatisan, dan orang-orang yang dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bahkan Sarwo Edhie Wibowo yang marah karena Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu korban Gerakan 30 September 1965 itu memutuskan bergabung dengan Soeharto untuk menumpas siapapun pelakunya.

Pada akhirnya Sarwo Edhie Wibowo bekerja sama dengan Soeharto untuk memberantas PKI yang disebut sebagai otak utama Gerakan 30 September 1965.

Baca Juga:Sejarah Hari Kesaktian Pancasila dan Maknanya bagi Bangsa Indonesia

Panglima RPKAD

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo berperan sangat besar dalam penumpasan pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Dia berposisi sebagai panglima RPKAD (Kopassus pada saat ini). Dia pernah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan dan menjadi Gubernur AKABRI.

Berasal dari Keluarga PNS dan Bangsawan Jawa

Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo lahir di Pangenjuru, Purworejo, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1925. Dia meninggak di Jakarta, 9 November 1989.

Orang tuanya pasangan bangsawan Jawa, Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini. Kedua orang tuanya bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pda mass pemerintahan kolonial Belanda.

Baca Juga:Mbah Min dan Unjuk Rasa PKI di Perkebunan Djengkol

Prajurit PETA

Pada tahun 1942, ketika Jepang menduduki Indonesia, Sarwo Edhie Wibowo mendaftarkan diri sebagai Prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Prajurit PETA merupakan kekuatan tambahan Jepang yang terdiri dari tentara Indonesia.

Bergabung dengan BKR

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno, pada tanggal 17 Agustus 1945, Sarwo Edhie Wibowo menjadi bagian dari BKR, sebuah organisasi cikal bakal ABRI (Tentara Nasional Indonesia).

Merebut Fasilitas Negara dari Komplotan Gerakan 30 September 1965

Sarwo Edhie Wibowo memihak Soeharto pasca kejadian penculikan enam Jenderal, termasuk Jenderal Ahmad Yani yang menjadi sosok pendukung Edhie untuk menjadi prajurit. Pada masa itu, para jenderal diculik dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.

Sementara itu, sekelompok pasukan pemberontak yang lain menduduki Monumen Nasional (Monas), Istana Kepresidenan, Radio Republik Indonesia (RRI), dan gedung telekomunikasi. Pada saat itu, Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan untuk menduduki kembali gedung RRI dan telekomunikasi. Hal itu dapat dicapainya dengan mudah tanpa perlawanan.

Lalu, Sarwo Edhie Wibowo bersama pasukannya diperintahkan untuk merebut kembali pangkalan udara Halim Perdanakusumah. Pengambilalihan itu juga dapat dilakukannya dengan baik.

Saksi Hidup Pelenyapan Anggota PKI

Sarwo Edhie Wibowo menjadi pemimpin untuk melakukan penggalian mayat para jenderal di sumur Lubang Buaya. Itu terjadi pada 4 Oktober 1965. Setelah Soeharto diangkat sebagai Panglina Angkatan Darat oleh Soekarno, pada 16 Oktober 1965, Sarwo Edhie Wibowo ditunjuk untuk melenyapkan anggota PKI di Jawa Tengah.

Kemudian, hal mengejutkan terjadi sebelum kematiannya, di depan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Sarwo Edhie Wibowo membuat pengakuan bahwa korban tewas dalam peristiwa penumpasan anggota PKI pasca Gerakan 30 September 1965 adalah kurang lebih mencapai tiga juta orang.

(Mutaya Saroh)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini