SuaraKalbar.id - Kenapa orang China pandai berdagang? Pertanyaan ini sering dikaitkan dengan etnis Tionghoa yang sukses berbisnis.
Jawaban atas pertanyaan ini bisa dijawab dengan sudut pandang sejarah.
Sebenarnya bukan rahasia saat masa kolonialis Belanda, orang-orang asli Indonesia cenderung lebih dekat dengan Tionghoa. Sebuah hubungan yang tidak terjalin dengan orang-orang Eropa.
Orang Tionghoa punya faktor yang tidak dimiliki oleh Eropa sebagai pedagang.
Baca Juga: Disebut Legenda Politisi Etnis Tionghoa, Begini Reaksi Ahok
Hal inilah yang menentukan kecemerlangan perniagaan mereka, terutama di Bandung, Jawa Barat.
"Orang-orang Tionghoa tuh mereka dianggap paling mengerti apa kebutuhan dari Pribumi," ungkap Tanti Restiasih Skober, sejarawan Universitas Padjadjaran, yang membahas sejarah orang Tionghoa di Bandung (1930-1960) dalam tesisnya, saat dihubungi ayobandung.com pada Jumat (5/2/2021) lalu.
"Dalam sebuah iklan, misalnya, ketika mendekati Idul Fitri, itu kebutuhan Pribumi untuk Idul Fitri lebih bisa dipenuhi oleh orang-orang Tionghoa."
Di sini terlihat bahwa hubungan intensif pedagang Tionghoa dengan konsumen Pribumi membuat mereka lebih mengenal kebutuhan dan selera golongan rendah.
Konsep dagang itu amat berbeda dengan sikap pedagang Eropa, yang menurut Tanti "terlalu ekslusif" untuk kelas atas dan tidak terjangkau rakyat biasa di tingkat bawah.
Baca Juga: Viral! Imlek saat Pandemi, Tak Halangi Toleransi Warga untuk Berbagi
"Di Bandung memang banyak toko-toko orang Eropa. Tetapi kalaupun Pribumi (ada yang membeli) ya Pribumi kelas atas," lanjut tanti.
"Kemudian juga bagaimana orang Eropa di Jalan Braga lebih mengutamakan untuk (konsumen) orang Eropa Sendiri, sedangkan orang Tionghoa itu lebih dekat dan mengetahui kebutuhan orang Pribumi."
Tak mengherankan, jarak sosial-ekonomi yang terlalu jauh dan bahkan minim persinggungan, antara Pribumi—Eropa, menimbulkan ketidakharmonisan.
Bahkan, ketidakharmonisan ini juga berlaku antara Tionghoa dan Eropa.
Dalam sebuah tulisan di Sin Bin, misalnya, yang terbit di Bandung pada 15 Juli 1925, ketidakharmonisan itu jelas-jelas terlihat. Artikel yang berjudul Jangan Mengukur di Badan Laen Orang memaparkan bagaimana persaingan antara saudagar Tionghoa dengan Eropa: Tapi apalah ia kira, lantaran adanya itu beberapa saudagar Eropa yang kurang ajar, tidak tahu malu, tidak mengenal kesopanan dan kemanusiaan. Tertulis dalam salah satu kalimatnya.
Seakan saling menyerang, sebagai penegasan permusuhan terhadap Tionghoa, penguasa Eropa pada masa kolonialis Belanda juga menerapkan berbagai kebijakan yang membatasi aktivitas ekonomi Tionghoa.
Dengan pembentukan anti-rentenir, misalnya, orang Eropa mencoba menekan saudagar Tionghoa yang bukan hanya berdagang, tetapi juga mendapatkan untung dari meminjamkan uang.
"Dan ternyata korban (rentenir)-nya bukan hanya orang Pribumi, tetapi ada juga orang-orang Eropa," singkap Tanti, tentang mengapa orang Tionghoa begitu mengesalkan bagi pemerintah kolonial.
Bagi Pribumi yang tidak selalu punya uang di kantong setiap hari, eksistensi pedagang yang sudi memberikan utang itu penting. Terlebih lagi jika mau meminjamkan uang. Satu faktor yang tak kalah penting dari trik jago dagang orang Tionghoa ialah juga kemauan mereka untuk blusukan.
"Di Bandung, itu juga ada misalnya pedagang Cina yang disebut pedagang kelontong. Mereka berdagang dengan alat bunyi tong tong tong tong. Kemudian yang didagangkan barang-barang kebutuhan Pribumi. Tapi lama-lama memang akhirnya bukan hanya berdagang barang, tetapi meminjamkan uang," pungkas Tanti.
Berita Terkait
-
Pemegang Saham Pengendali KB Bank Fasilitasi Operasi Jantung Gratis Anak-anak Indonesia di Korea
-
4 Sumber Kekayaan Jordi Onsu, Ngaku Tenang Dengar Kajian Islam dan Meyakini Al-Quran
-
Mahfud MD Minta Eks Menteri Diselidiki Kasus Judol Komdigi, Respons Budi Arie: Jangan Kasih Kendor!
-
Kunci Sukses Mengelola Bisnis di Era Modern, Apa Saja?
-
3 Jam Diperiksa Polisi, Chikita Meidy Dicecar 12 Pertanyaan Soal Pencemaran Nama Baik
Tag
Terpopuler
- Respons Sule Lihat Penampilan Baru Nathalie Tuai Pujian, Baim Wong Diminta Belajar
- Berkaca dari Shahnaz Haque, Berapa Biaya Kuliah S1 Kedokteran Universitas Indonesia?
- Pandji Pragiwaksono Ngakak Denny Sumargo Sebut 'Siri na Pace': Bayangin...
- Beda Penampilan Aurel Hermansyah dan Aaliyah Massaid di Ultah Ashanty, Mama Nur Bak Gadis Turki
- Jadi Anggota DPRD, Segini Harta Kekayaan Nisya Ahmad yang Tak Ada Seperempatnya dari Raffi Ahmad
Pilihan
-
Freeport Suplai Emas ke Antam, Erick Thohir Sebut Negara Hemat Rp200 Triliun
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB, Terbaik November 2024
-
Neta Hentikan Produksi Mobil Listrik Akibat Penjualan Anjlok
-
Saldo Pelaku UMKM dari QRIS Nggak Bisa Cair, Begini Respon Menteri UMKM
-
Tiket Kereta Api untuk Libur Nataru Mulai Bisa Dipesan Hari Ini
Terkini
-
Dramatis! Lansia Hilang 3 Hari di Desa Pak Utan Bengkayang, Korban Ditemukan dalam Kondisi Lemas
-
Gempa Magnitudo 2,5 Guncang Kendawangan, Kabupaten Ketapang
-
Polda Kalbar Gerebek Kampung Beting, Ungkap Sarang Judi Online dan Pengguna Narkoba
-
BRI Fellowship Journalism 2025 Diapresiasi Dewan Pers
-
Kalbar Terima Hibah Rp1 Triliun dari Green Climate Fund untuk Pelestarian Hutan