Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Selasa, 31 Agustus 2021 | 23:37 WIB
Danau Laet tempat wisata di Sanggau yang menawarkan beragam spot menarik untuk wisatawan milenial. Ada spot swa foto, wahana bermain air, home stay, menelusuri kebun bakau. (Foto FB Danau Laet)

SuaraKalbar.id - Telaga dengan permukaan bergelombang dimainkan angin terasa asri dipeluk kehijauan alam sekeliling. Jauh di tengah, terdapat gerumbul mangrove yang menandai adanya pulau kecil. Bisa dikunjungi via jembatan kayu. Itulah keelokan alam yang disuguhkan Danau Laet. Sekitar 80 km lepas Kota Pontianak, Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat.

Dikutip dari Insidepontianak.com, jaringan SuaraKalbar.id, pengelola Danau Laet terasa lihai memoles kawasan sekitar menjadi eksotik. Konsepnya memanfaatkan nuansa alam dan infrastruktur pendukung dibubuhkan sehingga menghadirkan harmoni.

Contohnya gazebo, akses jembatan dari bahan bambu yang memanjang dan menjulur dari pintu masuk ke arah bibir danau, hingga sejumlah spot foto untuk mengakomodir kepentingan para tamu menemukan titik-titik Instagramable.

Contohnya spot foto berbentuk jantung hati, dan bintang dengan membelakangi Danau Laet, ornamen perahu yang terpajang di atas pohon bakau, hingga ayunan gantung.

Baca Juga: Jalan-jalan ke Kalimantan Barat? Ini Lima Hidangan yang Pantang Terlewat

Pulau di tengah Danau Laet yang bisa ditempuh dengan jembatan dari kayu mengelilingi pulau [InsidePontianak.com].

Selain berpotret, pengunjung bisa menikmati paket bermain wahana air. Mulai balon, sepeda engkol hingga bebek engkol.

Pengunjung cukup merogoh kocek Rp15 ribu, sudah bisa bermain di danau sekitar 20 menit. Pengunjung disilakan bermain seputar tepian danau.

Jika mau yang lebih, misalnya berkeinginan mengelilingi danau seluas 800 hektare ini, pengunjung bisa menyewa speed boat bermesin 12 PK. Tarifnya Rp150 ribu untuk kapasitas muatan perahu enam orang.

Tak kalah seru, tersedia wahana kemping atau camping ground. Bagi yang tidak membawa peralatan berkemah, seperti tenda, pengelola sudah menyediakan home stay, tepat di sebelah selatan pintu masuk danau. Dinding dan atap bangunan ini terbuat dari bambu. Sedangkan untuk lantai sudah dipoles semen.

Saat ini baru tersedia empat kamar dengan konsep kopel. Fasilitas yang disediakan pun masih terbatas. Masing-masing ukuran kamar seluas 4 X 4 m persegi itu dilengkapi tempat tidur dan kipas angin. Tarifnya Rp250 ribu per malam, termasuk hidangan nasi goreng dua kali.

Baca Juga: Bus Listrik MAB Karya Putra Bangsa, Diharapkan Bisa Mengilhami Anak Sekolah

Berbincang soal lokasi, Danau Laet berada di Desa Subah. Dari Jalan Trans-Kalimantan, masuk ke Desa Subah, lewat tikungan Kimleng, sekitar 83 km dari Kota Pontianak.

Disebut Kimleng, karena tepat di tikungan jalan terdapat rumah makan dengan pemiliknya bernama Kimleng, pengusaha sekaligus mantan Kepala Desa Subah. Dari tikungan Kimleng, masuk lagi jalan kecil menuju ke Danau Laet, sejauh 4,5 km.

Hikayat Nama Laet

Danau yang memiliki luas 800 hektare ini, masuk wilayah Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Di desa ini mayoritas penduduknya adalah suku Dayak Tobak. Dalam kesehariannya, masyarakat suku Dayak ini menggunakan bahasa Ope atau be-ope, dengan logat khas.

Adapun nama Laet berarti bakul tempat nasi terbuat dari anyaman bambu. Bermula dari legenda tentang perempuan yang menantikan kembalinya sang putra yang merantau ke kota, menggunakan perahu layar melintasi danau.

Setelah berlalu puluhan tahun, sebuah kapal besar merapat ke danau, tepat di depan rumah sang ibu. Menurut warga sekitar, pemilik kapal itu adalah putra sang ibu yang datang didampingi seorang perempuan cantik.

Sang ibu yang mengetahui putranya datang langsung menghampiri anaknya. Namun, si anak menolak pengakuan perempuan paruh baya itu adalah ibunya.

Perempuan tua itu sedih dan saat kapal besar itu meninggalkan danau, tidak lama tersiar kabar mengalami karam.

Saat melihat sebuah laet atau bakul nasi terapung-apung di atas danau, yakinlah sang ibu bahwa memang kapal anaknya karam. Pasalnya, laet itu adalah pemberiannya sebagai bekal perjalanan.

"Dari cerita itu, warga menyebutnya Danau Laet," ungkap Palestin (58), warga Subah, menceritakan kepada Insidepontianak.

Kreasi Berdasar Ide dari Tempat Wisata di Bandung

Meski terlihat bagus dan menarik sebagai kunjungan wisata, Danau Laet belum teraliri listrik. Kondisi itu tentu saja menyulitkan pengembangan tempat wisata ini di masa mendatang.

Ketua Kelompok Sadar Wisata Kabupaten Sanggau, Anselmus mengatakan, sedari dulu hingga sekarang, PLN belum mengalirkan listrik ke lokasi Danau Laet. Padahal, di wilayah itu ada proyek pembangunan Jalan Trans Kalimantan.

Kondisi itu berdampak pada ekonomi penduduk lokal. Tak ada pertumbuhan ekonomi dan jalan di tempat. Penduduk menggunakan Danau Laet sebagai lokasi mata pencaharian.

"Kalau tidak berkebun dan berburu satwa liar di hutan, ya berburu ikan di danau," ungkap Anselmus.

Kekinian, dua perusahaan perkebunan sawit masuk ke Desa Subah. Sejak itu banyak pemuda beralih menjadi buruh di perkebunan sawit.

Selebihnya, masyarakat tak bisa berbuat banyak, untuk menggerakkan ekonomi desa, terutama produk pengolahan hasil pertanian dan ikan, yang mengandalkan operasional dari listrik.

Anselmus tak ingin di kampungnya dicap terisolir, ia pun berangkat ke Bandung, Jawa Barat, demi studi banding.

Floating Market di Lembang, Jawa Barat menjadi obyek wisata yang hendak dipelajari. Alasannya, tempat ini cukup dengan modal membuat danau buatan, kemudian ditambah dengan kemasan tata ruang yang apik, hingga menempatkan wahana bermain keluarga dan lokasi swafoto. Tempat itu sudah bisa menarik ribuan wisatawan dari luar datang ke Lembang.

Pulang dari Lembang, Anselmus menterjemahkan konsep wisata mirip floating market bagi Danau Laet.

Di area Gunung Laet terdapat aneka komoditas perkebunan. Paling mencolok adalah durian. Hanya untuk bisa menikmati raja buah ini, titik jemput lumayan jauh. Butuh waktu seharian perjalanan menyusuri hutan. Warga lokal biasa turun pagi, kemudian pulang pagi lagi. Mereka membuat pondok untuk menunggu durian jatuh ke tanah.

Bagi pengunjung yang ingin mencicipi buah langsung, bisa melihat kondisi musim buah tiba. Harga yang ditawarkan cukup murah. Jika biasa di kota harga tiap buah Rp50 ribu, di sekitar Danau Laet hanya Rp5 ribu.

Begitu pun potensi di dalam danau. Jika musim air pasang, sejumlah kelompok nelayan, 5-10 orang, secara swadaya memasang jermal. Alat tangkap ikan yang mengandalkan pasang surut air. Jermal merupakan perpaduan antara sero dan bagan tancap.

"Jika beruntung, satu bagan jermal bisa menghasilkan ikan satu ton lebih," jelas Nikodemus, nelayan setempat.

Danau Laet tempat wisata di Sanggau yang menawarkan beragam spot menarik untuk wisatawan milenial. Ada spot swafoto, wahana bermain air, home stay, menelusuri kebun bakau [Foto FB Danau Laet]

Danau Laet Menyasar Pengunjung Milenial

Pada 2016, Anselmus gencar menawarkan promosi pengembangan Danau Laet menjadi ekowisata.

Silih berganti pergantian kepala daerah, keinginan menjadikan Danau Laet sebagai lokasi ekowisata, tak kunjung terealisasi.

Anselmus tak patah arang. Dia memutuskan berjuang secara mandiri. Menyasar wisatawan milenial, jadilah tempat wisata di Danau Laet seperti sekarang.

Ia menggunakan dana sendiri untuk menghidupkan Danau Laet.

"Bila ditotalkan, ada setengah miliar. Baru saya sadar, membangun ternyata mahal juga, ya?" tanya Anselmus, sembari tertawa kecil.

Anas, Landscape Manager Muller Shcwaner Arabela (MSA), WWF Indonesia, ketika diminta pendapatnya tentang karakter wisatawan milenial menjelaskan, karakter wisatawan milenial adalah mereka yang gemar mencari pengalaman baru. Termasuk wisata petualangan, eksplorasi, dan perjalanan darat atau road trip.

Mereka cenderung spontan. Tak terlalu banyak waktu untuk perencanaan, dan percaya pada ulasan-ulasan destinasi wisata di internet, terutama media sosial. Maka, tak heran kalau travel blogger menjadi kiblatnya.

Perilaku ini berkembang menjadi tren dan kian menular. Yang tak kalah menarik, rata-rata para wisatawan milenial menyatakan mereka mencari pengalaman wisata unik, baru, otentik, dan personal.

Jika yang sudah diperjuangkan oleh Anselmus, bagaimana kegigihan ingin mengubah status daerah yang terisolir dan tertinggal, ternyata tidak harus melulu menunggu modal pembangunan untuk infrastruktur.

"Tetapi modal nyali, bagaimana menuangkan ide gila. Berani berinvestasi dan menata konsep wisata dan pengorganisasian yang baik, menjadi kunci utama dalam memajukan dunia pariwisata di daerah," jelas Anas.

Load More