SuaraKalbar.id - Dugaan kasus pemerkosaan yang dialami pegawai Imigrasi Kelas II TPI Entikong baru-baru ini, menambah daftar panjang kasus kejahatan seksual terhadap perempuan di Indonesia.
Dugaan pemerkosaan yang dilakukan Kepala Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong berinisial RFS terhadap pegawainya ini pun, menjadi sorotan publik. Bahkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) ikut menyoroti.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriani berkeyakinan, bahwa semua pihak berharap akan ada proses hukum yang sungguh-sungguh untuk mengungkap kasus ini.
"Tentunya kita berharap akan ada proses hukum yang sungguh-sungguh untuk mengungkap kasus. Dalam proses hukum ini, perlindungan dan dukungan bagi pemulihan untuk korban penting menjadi perhatian," kata kata Andy dihubungi wartawan di Pontianak, Sabtu (23/1/2021).
Baca Juga:Fakta Baru Dugaan Asusila Pejabat Imigrasi Entikong, Korban Diancam Dipecat
Untuk dipahami, dia menambahkan, pemerkosaan pada dasarnya adalah pemaksaan hubungan seksual, baik vaginal, anal, oral, maupun penetrasi vaginal dan anal dengan alat atau bagian tubuh selain genetalia laki-laki.
Tapi, kata Andy, dalam hukum pidana Indonesia, pemerkosaan didefinisikan sebagai pemaksaan hubungan seksual hanya yang berbentuk penetrasi vaginal dengan genetalia laki-laki.
"Dengan definisi ini, pertanda pemerkosaan jadinya adalah bukti pemaksaan seperti kekerasan, ditandai dengan visum dan jejak mani," ujar Andy.
Menurut Koordinator Asia Pacific Alliance on Women, Peace and Security (2014 - 2018) ini, definisi tersebut tentu menyulitkan korban dalam mencari keadilan.
"Karena, pemaksaan tidak saja dengan kekerasan fisik tetapi juga bentuk-bentuk non fisik, termasuk ancaman kekerasan atau intimidasi lainnya," tegasnya.
Baca Juga:Dugaan Pemerkosaan oleh Pejabat Imigrasi Entikong, Korban Alami Trauma
Andy mengungkapkan, jika melihat perkembangan kasus-kasus di tanah air, kepolisian telah mengungkap banyak kasus-kasus pelik. Jadi, kecakapan untuk penyelidikan dimiliki oleh petugas kepolisian.
Tantangan dalam penyelidikan kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual secara umum adalah pada perspektif dan kapasitas keterampilan penyidik.
"Pada tahap ini, tentu perlu memberikan dukungan pada polisi untuk melaksanakan proses penyelidikan sebaiknya, sehingga mengawal akses keadilan dan pemulihan korban," pungkasnya.
Sebelumnya, ada fakta baru kasus dugaan pemerkosaan terhadap pegawai Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas II TPI Entikong, Kabupaten Sanggau terus bermunculan.
Melalui kuasa hukumnya, korban (inisial sengaja tidak disebutkan suara.com) mengakui sudah sering mendapat godaan dari RFS, Kepala Kanim Kelas II TPI Entikong. Perlakuan ini didapat korban sebelum adanya dugaan pemerkosaan tersebut.
"Sebelumnya, pelaku (RFS) ada niat berbuat nakal kepada korban. Namun gagal. Nah, tipu muslihat terakhir ini yang berhasil," kata Herawan Oetoro, kuasa hukum korban saat ditemui suara.com di kantornya, Sabtu (23/1/2021).
Sebelum pemerkosaan ini, sambung Herawan, pelaku memang sudah menggoda korban. Korban bahkan mengundurkan diri dari jabatannya until menghindari godaan RFS.
"Jadi upaya pelaku ini sudah berkali-kali. Korban mundur dari jabatan sebelumnya untuk menghindari perbuatan pelaku," tuturnya.
Herawan bersama tim kuasa hukum lainnya: Saulatia, Roslaini Sitompul terus mendampingi korban untuk mencari keadilan.
"Tidak berapa lama setelah kejadian itu kita sudah buat pengaduan ke Polsek Entikong. Korban sudah menceritakan kejadian baik sebelum, menjelang termasuk sesudahnya kejadian itu, sudah dikemukakan," kata Herawan.
Menurutnya, dalam perkara ini ada beberapa saksi yang bisa dimintai keterangan oleh kepolisian. Salah satunya adalah teman sekantor korban yang menggantikan posisinya.
"Saksi-saksi yang ada, sebelum kemudian, saat kejadian dan sesudah kejadian, itu sudah kita kemukakan ke kepolisian. Saksi yang mengetahui korban sebelum ke rumah dinas pelaku dan saksi yang melihat korban keluar dari rumah itu," tambahnya.
Kapolres Sanggau, AKBP Raymond Marcellino Masengi sebelumnya sudah membenarkan jika dugaan pelecehan seksual ini dilakukan di rumah dinas terduga tersangka RFS.
"Kronologisnya, korban dipanggil (RFS) dengan urusan kerjaan, namun di rumah dinas. Di situlah terjadi pelecehan yang dilaporkan oleh korban," kata Raymond.
Saat ini, kata Raymond, penyidik masih mendalami laporan korban. Dalam penyelidikan dan penyidikan, kepolisian nantinya akan melibatkan keterangan saksi ahli. Karena, menurut Raymond, tidak ada saksi dalam dugaan pemerkosaan ini.
"Pada saat di tempat kejadian tersebut tidak ada saksi lain, kecuali mereka berdua. Oleh sebab itu kami butuh langkah-langkah penyidikan untuk membuat terang perkara ini," tuturnya.
Hasil pemeriksaan sementara, diketahui perbuatan tak senonoh itu dilakukan di rumah dinas RFS, kawasan Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong, Jalan Raya Entikong, pada Kamis, 14 Januari 2021.
Awalnya, RFS meminta korban untuk memperbaiki surat atau laporan dinas luar. Usai mengerjakan tugas tersebut korban kemudian menyerahkan ke RFS.
Saat itu, ia sedang berada di ruangan kerjanya. Akan tetapi, RFS menolak menandatangani laporan tugas yang diserahkan korban.
Ia malah meminta korban membawa laporan pekerjaan itu ke rumah dinasnya. Tidak jauh dari kantor mereka. Sesampainya di rumah dinas, RFS malah membawa korban ke kamar tidurnya. Lalu dugaan pemerkosaan itupun terjadi.
Sementara itu, RFS belum bisa merespon panggilan telepon dari wartawan. Pesan singkat yang disampaikan pun, belum dibalas.
Data Kekerasan terhadap Perempuan
Data dari Komnas Perempuan menyatakan terjadi kenaikan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2019. Data ini, diperoleh dari CATAHU 2020 yang merupakan catatan tahunan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara, lembaga layanan maupun yang dilaporkan ke Komnas Perempuan sepanjang tahun 2019.
Sepanjang tahun 2019, terjadi 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus.
Data kekerasan terhadap perempuan di Indonesia juga tercatat terus meningkat selama lebih dari satu dekade terakhir. Selama 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792 persen atau delapan kali lipat.
Dapat diartikan bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan di Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman.
Dari data tahun 2019, terjadi peningkatan kasus kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP). Kasus meningkat dari 1.417 pada tahun 2018 menjadi 2.341 kasus pada 2019, atau naik 65 persen.
Kasus yang paling banyak terjadi adalah kasus inses dan ditambahkan dengan kasus kekerasan seksual, yakni sebanyak 571 kasus.
Dalam data pengaduan ke Komnas Perempuan juga tercatat kenaikan cukup signifikan terkait pengaduan cyber crime, yakni sebanyak 281 kasus atau naik 300 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 97 kasus.
Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.
Selain itu, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas juga naik sebesar 47 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Korban terbanyak adalah disabilitas intelektual.
Kasus terbanyak terjadi di ranah privat. Dari 14.719 kasus, 75 persen di antaranya terjadi di ranah privat (11.105 kasus), 24 persen di ranah publik (3.602 kasus), dan 1 persen di ranah negara (12 kasus). Tren yang sama juga tercatat dari data yang masuk langsung ke Komnas Perempuan.
Kekerasan seksual masih menjadi bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi di ruang publik dan komunitas. Dari 3.062 kasus, 58 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Yakni pencabulan (531 kasus), perkosaan (715 kasus), dan pelecehan seksual (520 kasus). Kemudian persetubuhan (176 kasus), sedangkan sisanya percobaan perkosaan dan persetubuhan.
Dari seluruh data kekerasan tahun 2019, sebanyak 14.719 kasus ditangani oleh 239 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 33 provinsi, 421.752 kasus bersumber dari data perkara yang ditangani Pengadilan Agama, dan 1.277 kasus yang mengadu langsung ke Komnas Perempuan. Data dari lembaga mitra diperoleh melalui formulir yang diedarkan Komnas Perempuan.
Kontributor : Ocsya Ade CP