Sejarah Kerajaan Mempawah: Awal Terbentuk hingga Bergabung dengan NKRI

Kerajaan Mempawah ada di Kalimantan Barat.

Husna Rahmayunita
Minggu, 25 Juli 2021 | 09:29 WIB
Sejarah Kerajaan Mempawah: Awal Terbentuk hingga Bergabung dengan NKRI
Amantubillah, istana Kerajaan Mempawah. (Kemdikbud)

SuaraKalbar.id - Kerajaan Mempawah merupakan cabang dari Kerajaan Tanjungpura. Sejarah Kerajaan Mempawah berdasarkan instruksi pemerintah kolonial Belanda kemudian menunjuk Kesultanan Pontianak untuk menjadi wakil Belanda memimpin semua raja-raja di Kalimantan Barat.

Kerajaan Panembahan Mempawah merupakan salah satu kerajaan bercorak islam yang terletak di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, sedangkan penguasa kerajaan Mempawah bergelar Panembahan.

Asal kata Mempawah diambil dari istilah "Mempauh" sejenis pohon yang tumbuh di hulu sungai yang kemudian dikenal dengan sungai Mempawah. Pemerintahan Kerajaan Mempawah pada masanya terbagi ke dalam dua periode yang dimulai dari pemerintahan kerajaan suku Dayak berdasarkan ajaran Hindu kemudian beralih pada masa pengaruh Islam.

Pengaruh Islam di kerajaan Mempawah semakin kuat pada era kepemimpinan Opu Daeng Menambun sejak tahun 1740, pemerintahan memadukan antara hukum-hukum adat lama dengan hukum syarat yang bersumber pada ajaran agama Islam.

Baca Juga:Tujuh Kasus Dugaan Korupsi di Kapuas Hulu Diusut, Termasuk Pembangunan Terminal

Pelopor Islam di Kerajaan Mempawah

Pengaruh Islam di kerajaan ini didapat setelah Putri Kesumba dipersunting Opu Daeng Menambun yang berasal dari Kesultanan Luwu Bugis di Sulawesi Selatan. Kakek dari Opu Daeng Menambun merupakan Raja Bugis pertama yang memeluk Islam yang bernama Opu La Maddusila, anak dari Opu La Maddusila yang tak lain merupakan ayah Opu Daeng Menambun yang bernama Opu Tendriburang melakukan perjalanan ke negeri-negeri di tanah Melayu untuk menyebarkan Islam.

Amantubillah, istana Kerajaan Mempawah. (YouTube/PatriotNusantara)
Amantubillah, istana Kerajaan Mempawah. (YouTube/PatriotNusantara)

Opu Daeng Menambun dan keempat saudaranya memainkan peran penting dalam hal penyebaran agama Islam di semenanjung Melayu dan Kalimantan. Kedatangan Opu Daeng Menambun merupakan permintaan dari Sultan Matan (Tanjungpura), yakni Sultan Muhammad Zainuddin untuk meredam konflik internal yang terjadi di dalam kerajaan Matan.

Opu Daeng Menambun Dianugerahi Gelar Kehormatan

Tahta Kesultanan Matan yang dipimpin oleh Opu Daeng Menambun kala itu sempat diambil paksa oleh Pangeran Agung, saudara Sultan Muhammad Zainudin. Opu Daeng Menambun Bersaudara yang kala itu tengah berada di Johor kemudian berangkat ke Tanjungpura untuk meredam gejolak yang terjadi. Keberhasilan Opu Daeng Menambun bersaudara dalam meredam konflik membuat Sultan Zainuddin menikahkan anak perempuannya yang bernama Puteri Kesumba.

Baca Juga:Pontianak dan Singkawang PPKM Level 4, Stok Pangan Dipastikan Aman

Kemudian konflik kembali terjadi di dalam kesultanan Matan, kali ini konflik berasal dari kedua anak Sultan Muhammad Zainuddin yang mendebatkan siapa yang berhak menjadi pewaris tahta ketika kelak Sultan Muhammad Zainuddin wafat. Konflik ini kembali diselesaikan oleh Opu Daeng Menambun, atas jasanya tersebut Sultan Matan menganugerahkan gelar kehormatan yaitu Pangeran Mas Suna Negara kepada Opu Daeng Menambun.

Opu Daeng Menambun Menetap di Kesultanan Matan

Meskipun konflik telah terselesaikan Opu Daeng Menambun memutuskan untuk menetap di kesultanan Matan bersama istrinya. Singkat cerita kepemimpinan raja-raja yang memimpin Kesultanan Matan, pada tahun 1740 kekuasaan atas Mempawah yang semula dirangkap tahta kesultanan Matan, diserahkan kepada Opu Daeng Menambun dengan memakai gelar yang diberikan Sultan Muhammad Zainuddin. Sedangkan Istri Opu Daeng Menambun menyandang gelar sebagai Ratu Agung Sinuhun.

Islam Menjadi Agama Resmi di Lingkungan Kerajaan

Dibawah kepemimpinan Opu Daeng Menambun Islam ditetapkan sebagai agama resmi di lingkungan kerajaan. Selaras dengan hal itu maka kerajaan diganti dengan kesultanan. Opu Daeng Menambun juga memindahkan pusat pemerintahannya dari Senggaok ke Sebukit Rama yang daerahnya subur, makmur, strategis , dan ramai di didatangi kaum pedagang.

Pengaruh hukum-hukum Islam dalam kehidupan pemerintahan kesultanan Mempawah semakin kuat berkat peran sentral Sayid Habib Husein Alqadrie, seorang penyebar ajaran agama Islam dari Timur Tengah, tepatnya Hadramaut atau Yaman Selatan.

Dalam menjalankan pemerintahannya Opu Daeng membentuk pemerintahan kesultanan yang demokratis. Banyak tokoh lintas etnis yang secara sukarela untuk turut mendukung kesultanan Mempawah, terutama tokoh-tokoh dari kalangan Tionghoa dan suku Dayak yang memudahkan Opu Daeng Menambon dalam mengatur kesultanan Mempawah.

Reduksi Kedaulatan di Kerajaan Mempawah, di Era Kolonial Belanda dan Jepang

Kesultanan Mempawah yang berada dalam belenggu Belanda banyak dikendalikan mulai dari bidang ekonomi, pertahanan, politik, bahkan juga urusan internal kesultanan. Ketika Belanda mengalami kekalahan dalam perang Asia Timur Raya dan kemudian Jepang mengambil alih kekuasaan sehingga sistem pemerintahan Mempawah kembali berubah mengikuti keinginan Jepang.

Jepang menjadikan kesultanan Mempawah salah satu dari 12 swapraja dibawah kekuasaan Borneo Minseibu Cokan. Pada tahun 1942, wilayah kesultanan Mempawah berada di bawah wewenang Bun Kei Ri Kan, yaitu jabatan yang sederajat dengan wedana.

Kerajaan Mempawah Bergabung dengan NKRI

Setelah berakhirnya kekuasaan Jepang di tanah air, dan Indonesia menyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, kesultanan Mempawah bergabung dengan NKRI dan menjadi daerah yang termasuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Kalimantan Barat.

Hal ini membuat Kerajaan Mempawah tak memiliki kewenangan secara politik untuk mengatur pemerintahannya. Namun pihak kesultanan masih sering menghelat ritual atau upacara yang dilakukan secara adat.

Itulah sejarah Kerajaan Mempawah, awal terbentuk hingga bergabung dengan NKRI.

Sumber: petabudaya, ejournal.

Kontributor : Kiki Oktaliani

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini