SuaraKalbar.id - Universitas Tanjungpura (UNTAN) diduga mengalami kebocoran data. Kabar ini pertama kali dibagikan di sosial media X oleh akun @falconfeedsio pada Senin (08/07/2024) malam.
Dalam unggahan yang tersebar di sosial media tersebut, diduga setidaknya terdapat 52 ribu data terkait mitra dan mahasiswa UNTAN yang dijual di salah satu darkweb.
Kepala UPT Teknologi Informasi dan Komunikasi, Novi Safriadi menyebutkan benar adanya indikasi terkait peretasan yang diduga bersumber dari salah satu server milik UNTAN namun pihaknya menyebutkan agar mahasiswa tak perlu khawatir karena data yang bocor dinilai bukan merupakan data sensitif.
"Itu di luar data center kita, server itu tidak termasuk ke dalam bagian layanan akademik namun masuk juga bagian dari aktivitas yang diperlukan di dalam operasional UNTAN. Data yang beredar itu sebenarnya tidak menyimpan data yang sensitif, apakah itu data mitra atau mahasiswa itu tidak sensitif. Di data mahasiswa itu memang tersimpan nomor hp dan email tapi secara layanan akademik itu tidak akan terpengaruh karena tidak menyimpan username dan password," ujar Safriadi.
Baca Juga:Eksklusif: 52 Ribu Data Universitas Tanjungpura Bocor, Pihak Kampus Klaim Tak Ada Data Sensitif?
Terkait serangan digital tersebut, Safriadi menyebutkan UNTAN telah memiliki Cyber Team yang akan melakukan investigasi lanjutan dan forensik digital.
Seorang mahasiswa UNTAN, Nia menyebutkan dirinya memang mendapatkan himbauan agar mahasiswa tak perlu khawatir. Namun berbanding dengan pernyataan pihak UNTAN, ia menyebutkan kebocoran yang terjadi tetap merupakan bentuk data sensitif.
"Data yang bocor itu sangat sensitif ya. Saya sangat khawatir terkait kebocoran data itu apalagi yang viral itu kan katanya yang bocor menyangkut nama, email, nomor telepon ya. Bisa saja data kita nanti dijadikan bahan untuk penipuan. Agak gak masuk akal kalau dibilang ini bukan data sensitif," ujar Nia khawatir.
Nia menyebutkan, email miliknya digunakan untuk berbagai keperluan. Tak terkecuali nomor telepon miliknya hingga al tersebut yang menjadi kekhawatiran terbesarnya.
"Email kita itu terhubung ke hampir seluruh platform sosial media, soalnya email saya digunain buat ke semua, kerjaan, sosial media, sama urusan kuliah. Nah kalo nomor telepon bisa saja disadap orang, terus digunakan untuk menipu orang-orang terdekat. Misalnya penipuan minta orang, atau untuk pinjaman online," tambahnya.
Baca Juga:Polisi Gagalkan Aksi Tawuran di Pontianak Utara, 6 ABH Diamankan
Menanggapi pernyataan UNTAN, Nia berharap agar pihak kampus tak hanya sekedar memberikan himbauan semata kepada mahasiswa.
"Mohon jangan himbauan saja yang disampaikan, tapi beri juga solusi agar database kita aman. Lakukanlah hal-hal yang bisa membuat mahasiswa merasa aman dengan aksi-aksi nyata," pungkasnya.
Selain itu, Relawan SafeNET, Asheanty Pahlevi menyebutkan cukup menyayangkan pernyataan UNTAN yang menyebutkan bahwa data yang tersebar dan dijual di darkweb tersebut bukan merupakan data sensitif.
"Cukup disayangkan pihak kampus merasa email, no telepon bukan merupakan data sensitif padahal beberapa data pribadi itu mencantumkan nama ibu kandung. Itu termasuk sensitif, apalagi sampai ada yang cuma menggunakan satu email untuk semua aktivitas dan data digital," ujar Levi saat ditemui pada Rabu (10/07/2024) sore.
Levi sendiri mengaku nomor telepon memang merupakan salah satu data pribadi yang sensitif karena sangat mungkin dalam satu nomor tersebut memiliki database yang menyangkut data pribadi privasi seseorang.
"Kita itu kan daftar nomor telepon itu pakai NIK, NIK itu semua data pribadi di situ. Begitu nomor telepon kita bocor dan diambil alih orang bisa jadi semua data pribadi kita diambil oleh orang ketiga, entah untuk dijual atau dibiarkan saja. Tapi sebagai orang yang mengelola data pribadi harusnya punya tanggung jawab dong. Miris ya data itu disebut bukan data sensitif," jelas Levi.
Selain itu, Levi menyebutkan data pribadi yang telah bocor tidak bisa dipulihkan sehingga tentu pihak UNTAN harus mempertanggungjawabkan kebocoran data yang terjadi meskipun tak memiliki kaitannya dengan akademik.
"Data yang udah bocor udah tidak bisa dipulihkan, mereka hanya bisa menambal. Tapi bagaimana pengelolaan data pribadi itu tidak di ungkapkan dengan jelas padahal itu hak kita. Makanya pihak yang mengelola data pribadi mahasiswa harus transparan dan mempertanggungjawabkan hal tersebut. Terus bagaimana perlindungan mereka terhadap data tersebut selanjutnya. Kalau bisa kita semua harus mengkaji ulang proses tender dan pembangunan databasenya," tambah Levi.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) diketahui merupakan organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital, termasuk hak untuk mengakses internet, hak untuk bebas berekspresi, dan hak atas rasa aman di ranah digital. SAFEnet berbentuk badan hukum perkumpulan dengan nama Perkumpulan Pembela Kebebasan Asia Tenggara dan berkedudukan di Denpasar, Bali.
Kontributor : Maria