SuaraKalbar.id - Memasuki kuartal terakhir tahun 2024, PT. Borneo Alumina Indonesia (BAI) disebut sedang berambisi untuk mengoperasikan Pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) pada Oktober 2024. Namun, di tengah upaya mencapai target waktu tersebut, perusahaan menghadapi tantangan besar, baik dari sisi keselamatan kerja maupun transparansi informasi kepada publik.
Pada Minggu (4/8/2024), proyek konstruksi SGAR PT. BAI diwarnai insiden yang memakan korban jiwa. Seorang pekerja asal Aceh tewas bernama Irhamsyah tertimbun tanah saat sedang melakukan pengecekan kedalaman tanah untuk pemasangan pipa bersama rekannya. Selain Irhamsyah, satu orang lainnya bernama Rianto juga turut menjadi korban dalam kecelakaan kerja tersebut. Beruntung, nyawa Rianto dapat diselamatkan meski harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.
Kecelakaan kerja yang terjadi di PT BAI ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang diterapkan dalam proyek ini.
Direktur WALHI Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian tersebut.
Baca Juga:Mempawah Siaga Bencana Asap, Titik Api Muncul di 7 Kecamatan
"Belum juga beroperasi, namun sudah memakan korban. Bukankah PT. BAI berkomitmen untuk menyerap tenaga kerja di Sungai Kunyit? Dengan kejadian ini, kita semakin mempertanyakan komitmen dan janji-janji manis PT. BAI," ujar Adam.
Ia mempertanyakan apakah komitmen perusahaan untuk memberdayakan tenaga kerja lokal benar-benar akan direalisasikan, mengingat adanya pekerja dari luar daerah, termasuk dari Tiongkok, yang terlibat dalam proyek tersebut.
Lebih jauh, WALHI Kalimantan Barat mengkritik minimnya transparansi informasi dari pihak perusahaan dan pemerintah terkait dampak pembangunan pabrik smelter ini terhadap masyarakat setempat.
Riset yang dilakukan menunjukkan bahwa informasi penting mengenai dampak lingkungan dan sosial dari proyek tersebut tidak disampaikan secara terbuka kepada penduduk lokal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa proyek ini dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan, termasuk potensi pencemaran lingkungan akibat limbah beracun dari proses produksi.
Walhi menyebutkan bahwa penduduk lokal juga mengeluhkan kurangnya informasi mengenai potensi dampak negatif dari limbah-limbah seperti lumpur merah dan Fly Ash Bottom Ash (FABA) yang dihasilkan dari pembakaran batu bara. Ketidaktransparanan ini diduga menjadi bagian dari strategi untuk menghindari penolakan publik terhadap proyek tersebut.
Baca Juga:Kabut Asap Menguat, WALHI Desak Respons Cepat Pemda Kalbar
Hendrikus Adam menekankan perlunya perhatian terhadap pemasangan pipa di bawah tanah dalam proyek ini.
"Dengan ukuran yang sebesar itu, kemana pipa tersebut akan bermuara? Jangan sampai pipa tersebut malah mengarah ke laut dan digunakan sebagai instalasi pembuangan limbah," tambahnya.