Scroll untuk membaca artikel
Husna Rahmayunita
Senin, 29 Maret 2021 | 20:53 WIB
Andel, kuasa hukum Jumardi mendengarkan putusan sidang praperadilan di PN Pontianak (Suara.com/Ocsya Ade CP)

SuaraKalbar.id - Kasus penjualan satwa dilindungi, burung bayan yang menyeret nama Jumardi memasuki babak baru.

Teranyar, praperadilan yang diajukan oleh Jumardi ditolak oleh majelis hakim. Dengan begitu, perkara pokok penjualan burung bayan akan terus berlanjut.

Terkait hal itu, kuasa hukum Jumardi, Andel mengaku pihaknya menerima putusan tersebut.

"Kita semua sudah menyaksikan putusan pengadilan ini. Terhadap putusan ini, kami dari awal sudah mengatakan bahwa ada bukti kuat tidak sahnya penangkapan dan penahanan, namun semua tergantung keputusan hakim yang mempertimbangkannya," ujar Andel saat mengikuti sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Pontianak, Senin (29/3/2021).

Baca Juga: Jumardi Ajukan Praperadilan Kasus Burung Bayan, Tapi Sidang Ditunda

Selanjutnya Andel dan kawan-kawan akan terus berjuang membela Jumardi dalam persidangan perkara pokok nantinya. Sebab menurutnya perjuangan belum berakhir.

"Secara hati nurani, kami akan membela Jumardi dalam persidangan selanjutnya. Saya terpanggil untuk membela dan mendampingi Jumardi di pengadilan. Karena, kita ketahui semua, Jumardi ini orang miskin dan korban aturan. Perjuangan belum berakhir," jelasnya.

Sidang praperadilan Jumardi, penjual burung bayan digelar di PN Pontianak, Senin (29/3/2021). (Suara.com/Ocsya Ade CP)

Ia menjelaskan, harga sepuluh burung bayan yang dijual Jumardi hanya Rp 750 ribu. Uang senilai itu digunakan untuk menafkahi istri dan tiga anak-anaknya yang masih kecil setta dua mertuanya.

"Seperti yang saya bilang, apa yang dilakukan Jumardi ini atas ketidaktahuannya. Makanya ia menjual burung demi makan. Dia tulang punggung keluarga. Bukan berarti setiap ketidaktahuan aturan menjadi alasan, tapi kemanusiaan juga perlu menjadi pertimbangan," tegas Andel.

Karena, sambung dia, jika bicara aturan berkaitan dengan perlindungan satwa liar, maka aturan itu semacam dibuat untuk orang kampung, bukan orang kota.

Baca Juga: Tangis Pilu Jumardi, Dibui Gegara Jual Burung Bayan Demi Beli Susu Anak

"Karena, ini yang diproses selalu orang kampung yang jarang mendapat sosialisasi soal aturan. Tetapi, orang kota jarang yang kena undang-undang soal satwa liar. Saya yakin, di kota ini ada orang memelihara satwa langka dan dilindungi," kesalnya.

Hakim Tolak Praperadilan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pontianak menolak permohonan gugatan prapradilan Jumardi yang melawan Kepala Polda Kalimantan Barat.

"Dengan ini hakim memutuskan menolak permohonan gugatan praperadilan," ucap hakim Tunggal Deny Ikhwan dalam persidangan.

Sementara itu, Kepala Bidang Hukum Polda Kalbar Kombes Pol Nurhadi Handayani mengatakan, putusan dari majelis hakim sudah berdasarkan dengan fakta-fakta yang ada.

Ia mengatakan, memang PPNS Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan tidak ada kewenangan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Jumardi.

Sejumlah warga menggelar aksi damai untuk Jumardi di Pengadilan Negeri Pontianak, Jumat (26/3/2021). (Suara.com/Ocsya Ade CP)

"Tapi berdasarkan Undang-undang KUHAP pasal 39 ayat 1, dan juga karena KUHAP merupakan rujukan dari pembuatan Perkap Nomor 06 dan 20 Tahun 2010. Jadi, setiap proses penangkapan dan penahanan tentunya PPNS untuk mengajukan surat permohonan terlebih dahulu," jelasnya.

Ia menceritakan, sebelum adanya penangkapan Jumardi, Polhut memang sedang melaksanakan operasi rutin dalam hal pengawasan satwa-satwa dilindungi.

"Ketika menemukan ada pelanggaran, otomatis dibawa ke Polda Kalbar untuk diproses. Waktu itu posisinya tertangkap tangan. Dan, surat perintah yang dibawa adalah surat perintah operasi di wilayah sana. Bukan surat perintah proses penyidikan. Karena ini harus melalui prosedur," katanya.

Dalam undang-undang, lanjut Nurhadi menerangkan, siapa pun yang melakukan pelanggaran, tidak mengenal orang kaya atau miskin bahkan pejabat, memang harus diproses.

"Karena, kita ini bukan pembuat, tapi pelaksana undang-undang. Dalam undang-undang juga tidak ada istilahnya PPNS atau polisi mendiskriminasi terhadap orang-orang," ujarnya.

Kontributor : Ocsya Ade CP

Load More