Terancam Tambang Pasir Kuarsa: Perjalanan Sehari Bersama Nelayan Tradisional ke Pulau Gelam

Kami harus mencari ikan lebih jauh dan membutuhkan BBM yang semakin banyak dengan biaya yang tinggi dan tidak sebanding dari hasil tangkapan

Bella
Kamis, 15 Februari 2024 | 17:58 WIB
Terancam Tambang Pasir Kuarsa: Perjalanan Sehari Bersama Nelayan Tradisional ke Pulau Gelam
Potret aktivitas nelayan Cempedak. (Tim Liputan Investigasi)

SuaraKalbar.id - Aktivitas ‘penjelajahan’ yang dikerjakan oleh PT Sigma Silica Jayaraya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral di Pulau Gelam telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan nelayan kecil di pesisir Kendawangan, terutama pak Salmin (41) yang tinggal di Pulau Cempedak, Desa Pedalaman Kiri, Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

Selama ini, perairan Pulau Gelam bagai kolam ikan raksasa dengan jumlah dan jenis ikan yang melimpah. Nelayan pesisir merasa cemas dengan kehadiran perusahaan tambang pasir di Pulau Gelam karena hal tersebut akan memaksa mereka untuk melaut lebih jauh, yang pada akhirnya membutuhkan modal yang lebih besar untuk bahan bakar yang dapat berdampak pada ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pesisir Kendawangan.

Kekhawatiran ini tidaklah tanpa dasar. Sebagai contoh, di dekat Pulau Gelam, terdapat Pulau Bawal yang kini telah diduduki oleh perusahaan kelapa sawit. Sejak perusahaan kelapa sawit hadir di Pulau Bawal, nelayan merasakan penurunan jumlah tangkapan mereka dan harus melaut jauh hingga ke Pulau Gelam.

Matahari belum melewati garis cakrawala saat Salmin (41) menambatkan lepeh (perahu), yang sedang sibuk menuangkan solar dari dalam jerigen 20 Liter. Salmin adalah nelayan warga Pulau Cempedak.

Baca Juga:Pulau Gelam: Pasir Kuarsa akan Ditambang, Nelayan Tradisional Terancam

Di rumah, istrinya, Neka (40), sudah menyiapkan rantang berisi makanan ke dalam keranjang. Dia juga menyiapkan kopi dan air putih untuk bekal Salmin ke Pulau Gelam. Neka mengantarkan bekal tersebut ke dermaga, tempat Salmin menambatkan perahunya. Anak balita, Bisma, dibawa serta.

“Cari ikan di Pulau Gelam sampai sore, jadi harus bawa bekal makan berat dan juga kopi untuk suami,” ungkap Neka. Perjalanan ke Pulau Gelam menghabiskan kurang lebih 40 liter solar. Bahan bakar menjadi permasalahan bagi nelayan di Pulau Cempedak.

Selain sulit didapat, harganya pun fluktuatif, kisaran Rp20.000– Rp30.000 per liternya. Perjalanan dari pulau Cempedak menuju pulau Gelam berjarak kurang lebih 27 km, sekitar dua jam. Pada perjalanan ini, tim liputan ikut menemani para nelayan berlayar.

Selain Salmin dan keluarga, ada Hartono (35) Ketua RT Dusun Pedalaman di Pulau Cempedak, yang ikut berlayar. Perjalanan dimulai saat matahari baru naik. Cahaya matahari mulai terasa hangat dengan awan dan air laut yang membiru sejauh mata memandang.

Setelah bahan bakar terisi mesin lepeh mulai dihidupkan, dari belakang kemudi Salmin membawa kami meninggalkan Pulau Cempedak menuju Pulau Gelam.

Baca Juga:Nelayan Perempuan Pulau Gelam Paling Terancam Tambang

Ditengah perjalanan Hartono atau biasa dipanggil Tono, menunjuk sebuah pulau. “Itu Pulau Bawal, hampir seluruh pulau sudah ditanami sawit oleh perusahaan,” katanya.

Kata Tono, kehadirian perusahaan sawit di pulau tetangga menguntungkan masyarakat setempat, namun merugikan nelayan pesisir yang tinggal di sekitar Kendawangan. Hasil tangkapan nelayan mengalami penurunan yang karena limbah perusahaan yang menghancurkan ekosistem terumbu karang dan padang lamun sebagai habitat bagi berbagai jenis ikan dan renjong.

Begitu pula dengan aktivitas eksplorasi tambang pasir dilakukan di Pulau Gelam. Nelayan pesisir Kendawangan merasa resah, takut jika peristiwa yang terjadi di Pulau Bawal, terulang di Pulau Gelam, tempat nelayan mencari ikan.

Pulau Gelam sendiri merupakan sebuah pulau kecil, dengan luasan 28 kilometer persegi. Saat mendaratkan perahu di sana, sejauh mata memandang pasir putih yang mengilat dan dan hamparan mangrove.

“Kita coba lempar jaring disini,” kata Salmin. Dibantu istrinya, Salmin mulai melemparkan pelampung yang terikat pada jaring. Perahu digerakkan memutar dengan pelan. Setelah dua atau tiga kali lemparan, satu atau dua ekor ikan berhasil terjaring.

“Sekarang penghasilan udah jauh sekali berubah, kalau dulu tiga set pukat bisa dapat belasan kilo, sekarang 30 set cuman main ekor, kadang malah dapat 2 atau 3 kilo saja,” tambahnya.

Matahari sudah terasa membakar kulit, siang itu Salmin memutuskan untuk mencari tempat untuk menyantap bekal makan siang.

Di pulau Gelam masih terdapat beberapa pondok sementara milik nelayan. Pondok itu biasanya digunakan untuk nelayan menginap sekitar seminggu, sebelum kembali ke Pulau Cempedak. Hasil tangkap dijual ke Kendawangan.

Tak hanya nelayan Pulau Cempedak, beberapa nelayan yang tinggal di sekitar pesisir Kendawangan juga mencari ikan di kawasan ini. Potensi ikan di perairan pulau ini cukup banyak. Selain itu, ada pula jenis ranjugan dan lobster yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi.

Pada musim lobster di bulan Juni dan Juli, setiap tahunnya Pulau Gelam menjadi ramai dengan nelayan.

Sambil menghidupkan mesin, Salmin terus mengemudikan lepeh perlahan menuju tepian pantai, birunya air laut bak cermin memudahkan saya dapat melihat sampai ke dasar pantai yang terdapat terumbu karang dan juga padang lamun. Salmin berkisah, dulu ketika padang lamun masih sangat rapat, lepeh sampai tak bisa lewat. Perahu bisa kandas jika tersangkut lamun.

Tiba-tiba Tono berteriak, “bang…bang coba liat itu penyu.” Terlihat kepala penyu timbul di permukaan laut. Pulau Gelam merupakan rumah bagi berbagai jenis penyu, keberadaan padang lamun menjadi sumber pakan bagi penyu di Gelam. Hampir setiap 5 menit, terlihat aktivitas penyu naik kepermukaan untuk mengambil oksigen disepanjang pantai Pulau Gelam.

Matahari sudah tepat di atas kepala meningkahi suara mesin lepeh, Salmin dan Tono memutuskan untuk menambatkan perahu dan makan siang. Sesampainya di tepi pantai, kami duduk di bawah sebuah pohon besar rindang sambil melahap bekal makan siang.

Keindahan pantai pulau Gelam dengan putihnya pasir pantai, membuat suasana makan siang kami semakin nikmat. Terdengar suara mesin dari arah belakang kami, tampak beberapa orang dengan menggunakan helm dan berseragam sedang mengawal sebuah mesin yang berjalan sangat lambat.

“Itu orang perusahaan bang, mereka sedang mengeluarkan mesin-mesin bor dari dalam pulau, butuh waktu seharian mereka untuk mengeluarkan mesin-mesin pengebor tersebut,” jelas Tono.

Sejak kegiatan eksplorasi tambang pasir selika dimulai pada tahun 2022, ada dua lokasi kamp karyawan yang dibangun di pulau Gelam, kamp-kamp sementara itu dibangun menggunakan dinding dan atap terpal, sebelumnya di Gelam ramai oleh aktivitas orang perusahaan yang berjumlah sekitar ratusan karyawan.

Menurut Tono, karena izin eksplorasinya mulai habis, sekarang tinggal satu lokasi kamp yang masih beraktivitas dan tersisa lima mesin pengebor dengan beberapa jumlah karyawan yang terlihat kurang lebih 20 orang.

Kamp terakhir ini tampak merupakan kamp utama bagi karyawan karena selain pondok terpal, terlihat juga pondok utama yang terbuat dari kayu dan atap seng, khusus bagi pimpinan karyawan. Kamp ini dilengkapi beberapa fasilitas seperti pondok pengolahan sampel, dapur, kamar mandi, toilet dan juga mushola.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) nomor 93.K/MB.01/MEM.B/2022, dengan luas konsensi 839,0 Ha, dengan target 1.808.625 ton/tahun, PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (PT ITM) memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambang (WIUP) tambang pasir kuarsa di kawasan pesisir Pulau Gelam.

Menurut informasi masyarakat, sudah ada 150 galian dengan kedalaman hingga 6 meter untuk mengambil sampel pasir dari proses eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan.

Setelah menghabiskan makan siang, saya diajak Tono berkeliling melihat aktivitas dan sekitar bangunan kamp. Tampak alat pengebor yang tadi dikawal sudah terpakir rapi di belakang kamp, beberapa pipa paralon berwarna hitam berserakan dengan ujungnya yang terhubung ke dalam sumur.

Di belakang pondok utama terdapat pondok pengolahan sampel, terlihat beberapa plastik berisi pasir, diikat dengan pita jingga. Tampak alat las di dalamnya. Di bawah kamp utama terdapat tumpukan pipa besi yang digunakan untuk mesin bor mengambil pasir.

Setelah berkeliling di sekitar kamp perusahaan, kami kembali naik lepeh, Salmin mengajak untuk melihat hutan mangrove yang terdapat di Gelam. Sambil menyisir hutan mangrove, tampak akar tunjang dengan batang pohon yang berdiameter 5 cm memenuhi sebagian pesisir pulau Gelam.

“Di sini rumahnya ikan, seperti jenis libam dan baronang yang paling banyak ditangkap oleh nelayan,” ungkap Salmin kepada saya.

Tak menunggu lama setelah menyusuri hutan mangrove, akhirnya tim kami tergoda dengan birunya air laut yang terlihat sampai kedasar. Sambil mengenakan perlengkapan snorkeling, tak lupa salah satu dari kami membawa kamera poket underwater untuk mengabadikan keindahaan bawah laut pulau gelam. Ia langsung melompat dari lepeh untuk memuaskan rasa penasaran.

Keindahan bawah air laut di pesisir Kendawangan memang tidak bisa dibandingkan dengan pesisir laut lainnya yang ada di Kalimantan Barat, ekositem terumbu karang dan padang lamun masih sangat mudah untuk dinikmati. Seekor ikan kecil berwarna kuning setia menemaninya menyelam kurang lebih 1 jam.

Tiba-tiba dari balik terumbu karang, ia melihat seekor penyu hijau muda sedang bersembunyi, dengan cekatan lantas mengharahkan kamera poketnya dan klik………!!!! Momen yang tak bisa ia ungkapkan itu terekam dalam memori kamera poket.

Sambil naik ke permukaan tim kami tersebut kemudian berteriak ke arah lepeh dengan mengangkat kamera poket.

“Penyu…..Penyu….. Saya dapat penyu”, teriaknya senang berhasil mengabadikan potret seekor penyu di dasar laut.

Setelah puas bersnorkling ria di pesisir Gelam, tim kami kemudian naik kedalam lepeh sambil merenung dan memandangi sekitar pulau Gelam, bagaimana nasibnya pulau Gelam jika perusahan tambang beraktivitas disana, mungkin tidak ada lagi penyu, terumbu karang, padang lamun dan juga aktivitas nelayan-nelayan kecil.

Yang ada dalam pikiran kami, kelak Gelam akan dipenuhi tongkang-tongkang pengangkut pasir dengan air yang keruh serta pohon mangrove yang rusak.

Setelah kurang lebih satu jam menyelam keindahan bawah laut pesisir Gelam, Salmin mengajak kami untuk singgah ke pondok nelayan setempat yang letaknya tidak jauh dari kawasan hutan mangrove.

Beberapa nelayan terlihat sedang sibuk membersihkan jaring tepat didepan kami menepikan lepeh, disini terdapat tiga pondok sementara nelayan yang terbuat dari kayu dan terdapat tiga keluarga yang sudah seminggu menetap mencari ikan disekitar pulau Gelam.

Dari kejauhan seorang laki-laki tua menyambut kami dengan hangat, Hajrad (75) sudah kurang lebih seminggu menetap digelam, didepan rumah tampak istrinya, Etek (70) bersama anaknya Marai (43) sedang sibuk mengupas renjong yang telah direbus menggunakan sendok untuk dimasukan kedalam keranjang,

“Ini hasil tangkapan kemaren malam bang, sekarang hasil tangkapan sudah mulai berkurang,” ungkap Marai.

Selain renjong terdapat juga beberapa baskom terisi kerang yang juga hasil tangkapan dari sekitar Pulau Gelam. Setelah asik mengobrol, pak Salmin meminta pak Hajrad untuk mengantarkan kami ke lokasi kuburan tua yang letaknya tak jauh dari belakang pondok.

Sebelum sampai ke lokasi kuburan kami harus melewati ilalang, terlihat Salmin, Tono dan Pak Hajrad sedang sibuk mencari makam yang sudah tertutup oleh hamparan ilalang hijau yang lebat,

“Nah ini nak makam-makam orang-orang tua yang dulu tinggal di Gelam, termasuk orang tuanya Salmin dan Tono,” jelas Hajrad.

Sambil menganggukkan kepala, Salmin dan Tono bercerita jika memang orang tua mereka dulunya tinggal di pulau Gelam dan dimakamkan disini, karena jarak dari Gelam ke pusat Kecamatan Kendawangan jauh akhirnya warga Pulau Gelam memutuskan untuk pindah ke pulau Cempedak agar .

Tak jauh dari belakang makam, tampak terlihat vegetasi pohon Gelam (Melaleuca Leuadendron) dengan batang berwarna putih, Tono menjelaskan bahwa asal muasal penamaan pulau Gelam memang karena dulunya disini banyak pohon gelam.

Sengkarut izin di Gelam

Sejumlah warga kendawangan melakukan aksi demo di depan Kamp milik perusahaan PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) di Pulau Gelam, aksi warga ini dipicu oleh penerbitan 300 izin SKT yang dikeluarkan aparat kepala Desa Kendawangan Kiri Pusar Rajali, sebagian warga ini menuntut untuk mengembalikan hak tanah mereka yang diambil perusahaan dan juga membongkar izin SKT fiktif yang dilakukan oleh oknum dan aparat pemerintah Desa, selain itu mereka juga menuntut aparat untuk menindak oknum dan mafia tanah yang terlibat agar diusut tuntas serta memaksa kegiatan perusahaan dihentikan dan angkat kaki dari pulau Gelam.

Suparyanto seorang warga Kendawangan saat ditemui oleh tim kolaborasi investigasi mengatakan bahwa ia tidak terima atas penjualan tanah oleh oknum yang menerbitkan SKT di Pulau Gelam.

“Lahan banyak tumpukannya lahan milik saya sekitar 50 hektare kalau dikumpulkan, karena tinggal disana sudah lebih belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek moyang dan tanahnya tidak pernah saya jual, tapi itu ada orang yang mengambil lahan disitu orang yang enggak ada hak disitu. Saya enggak pernah buat SKT. Dulu saya mau buat SKT ke kepala desa pak Rajali, tapi tadak dibikinkan,” ucapnya.

Ia menegaskan jika namanya tercatut dalam penerbitan itu tanpa sepengetahuan dirinya dengan menggunakan tanda tangan fiktif karena memang tidak pernah menandatangani SKT.

“Kalau saya tidak pernah menadatangani, kalau memang ada asli pasti ada tanda tangan saya, “ ucapnya.

Bahkan Arpa’I seorang warga Kendawangan, sudah membuat Surat Pernyataan menanggapi penerbitan SKT oleh pemerintah Desa Kendawangan Kiri yang diduga telah terjadi permainan oleh oknum maupun mafia tanah di Pulau Gelam.

“Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengurus lahan yang terjadi di pulau Gelam, Dusun Pulau Bawal, Desa Kendawangan Kiri kepada saudara Nono Romansyah,” kata Arpa’i sambil membacakan surat pernyataannya.

Menurut pengakuan Haji Lakok, dirinya lahir di Pulau Gelam pada tahun 1962, orang tua dan kakeknya sudah tinggal disana dan memiliki tanah di Pulau Gelam. Namun karena tidak adanya akses pendidikan dan kesehatan disana, warga terpaksa harus pindah ke pulau terdekat seperti Pulau Cempedak, Kendawangan dan pusat Kota untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang layak.

Akan tetapi, dirinya tidak menyangka akan penerbitan SKT oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tanpa sepengetahuan masyarakat yang memilki hak disana.

Ia menyebut berdasarkan informasi yang didapat, bahwa sudah sebanyak kurang lebih 300 SKT yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri. Penerbitan SKT tersebut kata Asmuni, masih baru sekitar tahun 2022 lalu.

"SKT ini masih baru diterbitkan, begitu ada perusahaan tambang masuk, baru dibuat. Sehingga yang dipertanyakan dasar penerbitan SKT ini apa," ucapnya.

Seorang tokoh masyarakat Kendawangan dan Kabupaten Ketapang, Haji Asmuni, juga menyatakan bahwa sepengetahuannya, warga di Pulau Gelam waktu itu belum sampai mencapai jumlah 300 penduduk.

"SKT yang diterbitkan desa sebanyak 300 lebih, Sedangkan penduduk Pulau Gelam yang asli punya sejarah di sana tidak sampai segitu. Maka kita minta dibuka secara transparan SKT ini atas nama siapa-siapa saja. Karena sampai saat ini kami belum tahu siapa-siapa saja yang punya SKT ini, bahkan tidak ada masyarakat yang dilibatkan atau istilahnya diukur di lapangan, karena kan kalau SKT ini setiap diterbitkan harus ada lampiran kiri, kanan, Timur, Barat di SKT juga ada saksi-saksi dan patok batas. Saya lihat enggak ada mereka lakukan, hanya main buat aja,” timpalnya.

Selain permasalahan penerbitan SKT di pulau Gelam, pernebitan izin yang dilakukan oleh Kementerian ESDM berpolemik dengan penetapan sebagian Kecamatan Kendawangan sebagai kawasan lindung yang terdiri dari Cagar Alam dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Penetapan Cagar alam tertuang dalam SK. Menhut No. 174/kpts-II/1993 yang dikeluarkan pada 4 November 1993 dan pemberlakuan perairan dan pulau sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 91/KEPMEN-KP/2020.

Menurut Dosen Ilmu Kelautan sekaligus Ketua Jurusan Kajian Hosenografi Pesisir MIPA UNTAN, Arie Antasari Kushadiwijayanto tentunya ia berharap tidak ada perubahan dari sebuh kawasan konservasi.

Jika kawasan konservasi berubah fungsi menjadi kawasan lain, seperti komersil baik kegiatan pertambangan atau eksplorasi, maka dampaknya yang pertama akan mengganggu keseimbangan yang sudah ada, kedua daya dukung lingkungan akan turun yang mengakibatkan penghasilan masyarakat juga turun karena ada sebagian masyarakat yang menggantungkan penghasilan mereka di situ juga.

Ketiga daya tangkap juga berkurang apa lagi nelayan dari daerah sana itu kalau tidak salah bukan nelayan besar, yang berangkat pagi itu sorenya pulang. Sekarang aja udah ngeluh pas kita tanya nelayan-nelayan kecil itu karena produksinya turun dengan harga BBM naik. Faktanya harga produksinya turun makin sepi. Mungkin penduduk lainnya mencari alternatif lain

“Persoalan ini harus dikawal baik-baik karena ngeri untuk dijadikan kawasan tambang. Kita sulit untuk berpikir bahwa ada pertambangan, maka ekosistem akan baik-baik saja” jelasnya.

Merujuk pada laman Geoportal Kementerian ESDM terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) tambang pasir kuarsa terdapat dua perusahaan yaitu PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (PT ITM).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) nomor 93.K/MB.01/MEM.B/2022, dengan luas konsensi 839,0 Ha, dengan target 1.808.625 ton/tahun, kedua perusahaan ini memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambang (WIUP) tambang pasir kuarsa di kawasan pesisir Pulau Gelam.

Tim kolaborasi investigasi menemui Syarif Khamaruzaman, selaku kepala Dinas ESDM provinsi Kalimantan Barat. Dia mengatakan, “sampai hari ini, kita tidak tahu sampai dimana proses amdal itu. kami, selama itu berproses pulau gelam di provinsi, tidak pernah mengeluarkan satu surat pun. Kalaupun mereka mau melakukan peningkatan dari eksplorasi ke operasi produksi, syaratnya harus dipenuhi dengan Amdal dan dokumen lainnya, Sebenarnya kalau saya lihat di Pulau gelam, karena sudah ada tegak lurus aturan sampai kapan pun tidak mungkin bisa terbit, karena konservasi pulau.”

Dia menjelaskan jika proses perizinan tambang harus melalui tiga tahap, yang Pertama IUP, Setelah IUP Eksplorasi Berarti ada IUP eksplorasi. Setelah IUP ekspolorasi maka tahap selanjutnya adalah IUP Operasi Produksi.

Pada saat mendapatkan IUP untuk mendapatkan iup eksplorasi, itu harus didahului dokumen lingkungan. Kenapa mereka bekerja di sana? karena mereka mendapatkan IUP ekplorasi tanpa dokumen lingkungan. Ini kah sudah menyalahi aturan.

Ini wewenangnya Minerba. Setelah membuat IUP langsung dikeluarkan IUP eksplorasi tanpa dokumen lingkungan. (IUP-Dokumen Lingkungan-IUP Eksplorasi-dokumen lingkungan-IUP OP)

Yang di kami ini adalah dokumen lingkungan untuk mendapatkan IUP OP. harusnya pada saat Minerba itu mengeluarkan izin dan diterima ESDM Provinsi, harus dievaluasi oleh ESDM Provinsi.

Kami sudah ada pertemuan dengan ESDM, asisten II, DKP, kami sepakat mengembalikan izin IUP eksplorasi ini ke Menerba.

Menurut Informasinya pasir ini akan dibawa ke Rempang. Karena bakal ada pembangunan perusahaan besar-besaran di rempang itu lah, orang-orang menambang pasir kuarsa.

Diketahui perusahaan China Xinyi Group akan membangun fasilitas pasir kuarsa atau pasir silica sebagai bahan baku kaca hingga panel surya di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau dengan nilai Investasi mencapai Rp 381 triliun hingga 2080 yang sampai sekarang menimbulkan konflik sengketa tanah diantara masyarakat, pemerintah dan perusahaan.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam siaran pers di Jakarta, 20 Desember 2023 berjudul Genjot Proyek Strategis, Jokowi Terbitkan Peraturan Percepat Perampasan Tanah Rakyat. Pada hari Jumat, 8 Desember 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023) .

Produk regulasi sesat pikir tersebut diduga lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terkahir masa kepemimpinannya.

Ketika tim kolaborasi investigasi mencoba menghubungi Denny Muslimin, selaku Komisaris Utama di PT. Sigma Silica Jayaraya maupun PT. Sigma Group Indonesia melalui aplikasi Whats App pada tanggal 27 Desember 2023. Namun yang bersangkutan tidak merespon.

pada 7 Januari 2024 tim kembali menghubungi Denny Muslimin, dan mendapat respon. Namun, yang bersangkutan menolak diwawancara dan mengarahkan agar menghubungi Direktur perusahaan tersebut.

“Ke direktur saja,” kata Denny Muslimin, melalui pesan WhatsApp. Denny lalu mengirim nomor kontak Sudirman. Denny tengah sibuk kampanye karena mendaftar sebagai Caleg DPR RI dari Partai Nasdem.

Kemudian, tim mencoba menghubungi Sudirman, melalui aplikasi pesan singkat WhatsApp, namun tidak langsung direspon. Beberapa saat kemudian, tim kembalimenghubungi Sudirman melalui jaringan telephone.

Pada saat dikonfirmasi, Sudirman, yang juga pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kalimantan Barat itu sempat menghardik. “Apa hubungannya dengan saya,” tanya Sudirman.

Tim pun mencoba menjelaskan duduk perkara PT. Sigma Silica Jayaraya dengan dirinya. Namun, yang bersangkutan mengatakan jika Denny Muslimin yang lebih mengetahui soal aktivitas pertambangan di kawasan konservasi Pulau Gelam tersebut.

“Ke Denny saja. Sudah bener itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara,” kata Sudirman sembari menutup telephon.

Nasib Perempuan Cempedak Menghadapi Ancaman Gelam

Hubungan diantara lingkungan dan perempuan memiliki keterkaitan yang sangat kuat, lingkungan dan perempuan kadang menjadi korban dari sistem, akibat cara pandang maupun prilaku manusia yang tidak adil terhadap lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan mengakibatkan perempuan menjadi pihak yang paling berdampak dikarenakan ketergantungan terhadap sumber daya alam yang kuat.

Beban kaum perempuan semakin bertambah karena kehilangan sumber penghasilan dan penghidupanya, sehingga semakin sulit untuk mengatur keuangan dan mensejahterakan anggota keluarga yang mengakibatkan beban perempuan semakin luas dan mendalam.

Ketika mathari mulai tenggelam dari belakang bukit pulau Cempedak, terlihat Neka sedang memasukan kantung plastik yang berisikan renjong yang telah diolah kedalam box pendingin sambil menaburkan pecahan es, selain dari hasil melaut Neka dan suami kadang harus menjadi penampun/agen ikan maupun renjong untuk dijual ke Kendawangan,

“Lumayan, untuk menambah penghasilan keluarga,” jelasnya.

Sore itu cahaya matahari sudah mulai menghilang, suara bebek terdengar saut menyaut dari belakang rumah Neka, dengan sigap ia mencari sebuah galah yang terbuat dari bamboo untuk digunakan menggiring bebek miliknya kedalam kolong rumah,

Ketika cuaca buruk yang terjadi pada bulan Desember setiap tahunnya, aktivitas melaut nelayan Cempedak terpaksa harus terhenti, karena susahnya mencari ikan. Dari hasil berternak bebek, Neka bisa menambah perekonomian keluarga.

“Bebek ini nanti dijual ke kapal cumi yang berlabuh ke Cempedak, dua ekor bebek ditukar dengan 1 jerigen bahan bakar 20 liter,” ungkapnya.

Selain beternak bebek, Neka juga membuka warung kelontong yang menjual kebutuhan rumah tangga dan minuman kecil-kecilan didepan rumahnya.

Hampir sebagian perempuan di pulau Cempedak merupakan ibu rumah tangga, ketika suami pergi melaut, tugas perempuan biasanya membantu membuat dan membersihkan jaring serta mengolah hasil tangkapan dari melaut seperti membuat ikan asin dan mengeluarkan isi ranjungan untuk dijual lagi.

Namun ada beberapa perempuan juga yang masih menjadi nelayan karena membantu suami melaut seperti Lima (45).

“Kalau ke pulau Gelam, harus bawa membawa beras dan kompor, lauknya cari sendiri kan banyak ikan, kerang dan kupah,” jelasnya.

Menurutnya kalau ke Gelam harus menginap, karena tidak punya pondok biasanya Lima dan suami menginap di dalam lepeh, karena kalau tidak modalnya tidak kembali. Terkadang ia harus membawa anaknya yang bungsu, ketika berumur 2 bulan ke Gelam karena tidak ada yang mengasuh dirumah.

Ketika musim ombak besar, biasanya Lima dan perempuan di Pulau Cempedak mengisi waktu dengan menganyam, sebelum musim ombak besar bahan anyaman dikumpulkan terlebih dahulu dari sekitar pulau Cempedak.

Bagi Lima, kehadiran perusahaan di pulau Gelam dapat membuat nelayan dan perempuan semkain tidak berdaya, karena di Gelam merupakan harapan terkahir bagi nelayan pesisir khususnya di Kendawangan.

“Kami harus mencari ikan lebih jauh dan membutuhkan BBM yang semakin banyak dengan biaya yang tinggi dan tidak sebanding dari hasil tangkapan” timpalnya.

Catatan Redaksi: Investigasi ini merupakan hasil kolaborasi Pontianak Post, Iniborneo.com, suara.com, RRI Pontianak, Insidepontianak, Mongabay Indonesia dan Project Mulatuli yang didukung oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa, Yayasan Webe, Hijau Lestari Negeriku, dan Garda Animalia melalui Bela Satwa Project.

Kontributor : Maria

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini