Jejak Sejarah Masjid Raya Singkawang, Ikon Kota Paling Toleran

Berdirinya Masjid Raya Singkawang di tengah kawasan Tionghoa ini menunjukkan kerukunan beragama.

Husna Rahmayunita
Senin, 21 Juni 2021 | 14:06 WIB
Jejak Sejarah Masjid Raya Singkawang, Ikon Kota Paling Toleran
Masjid Raya Singkawang. (YouTube/Muhammad Filza)

SuaraKalbar.id - Masjid Raya Singkawang, salah satu ikon di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Jejak sejarah Masjid Raya Singkawang bisa disimak.

Singkawang merupakan salah satu kota di Kalimantan Barat yang terkenal akan dominasi etnis Tionghoa di sana.

Tak heran, di sana ada berbagai kuliner menarik yang merupakan warisan orang-orang Tionghoa atau hasil akulturasi dengan masyarakat lain.

Selain itu, kota yang dikenal sebagai kota kelenteng ini juga memiliki festival yang diselenggarakan setahun sekali, yakni Festival Cap Go Meh.

Baca Juga:Proyek Bandara Baru, Singkawang Dapat Hibah Lahan 16 Hektare

Meskipun dominasi Tionghoa cukup kental, kota ini juga menunjukkan kerukunan multietnis dan multiagama. Singkawang bahkan termasuk dalam daftar kota paling toleran di Indonesia tahun 2020 versi Setara Institute.

Penduduk dari berbagai etnis dan agama saling membaur dan menjaga kerukunan satu sama lain.

Hal ini diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah dengan tempat ibadah yang saling berdampingan, contohnya Masjid Raya Singkawang yang berdampingan dengan Vihara Tri Dharma Bumi Raya.

Ilustrasi - Masjid Raya Singkawang. (Antara)
Ilustrasi - Masjid Raya Singkawang. (Antara)

Berdirinya Masjid Raya Singkawang di tengah kawasan Tionghoa ini menunjukkan kerukunan beragama yang sudah berlangsung lama di Kalimantan Barat.

Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Kalimantan Barat. Menurut sejarah, masjid ini berdiri pada tahun 1885 dan didirikan oleh seorang pendatang India yang datang ke Singkawang untuk berdagang permata.

Baca Juga:Asal Usul Singkawang, Kota Subur Bernama San Keuw Jong, Kental dengan Budaya China

Nama pendatang tersebut adalah Kapitan Bawasahib Marican. Ia awalnya bukan seorang kapitan, tetapi pada tahun 1875, ia diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk menjadi kapitan di Singkawang.

Selain menjadi kapitan, ia juga memiliki perkebunan kelapa, gambir, dan memiliki peternakan sapi. Semua hasil dari perkebunan dan peternakan tersebut dijadikan ransum untuk memenuhi kebutuhan tentara Belanda.

Kemudian, pada tahun 1885, kapitan tersebut bersama putranya, yakni Haji. B Achmad Marican, berhasil membangun Masjid Raya di atas tanahnya sendiri, di kawasan Pasar Baru Singkawang.

Beduk Raksasa di Singkawang [Antara]
Beduk Raksasa di Singkawang [Antara]

Waktu itu, masjid yang dibangun masih kecil dan tidak memiliki menara. Di sisi lain dekat masjid, seorang kapitan asal China membangun Pekong, yakni tempat ibadah untuk etnis Tionghoa. Sejak saat itu, mulailah harmonisasi kehidupan antarumat beragama.

Pada tahun 1927, terjadi kebakaran hebat dan membakar bangunan-bangunan di sana. Masjid Raya dan Pekong pun ikut dilalap si jago merah.

Aktivitas masyarakat pun tersendat dan masyarakat harus berjuang keras untuk bertahan hidup. Pada tahun 1914, pendiri Masjid Raya meninggal dunia dan renovasi Masjid Raya pun belum bisa dilakukan. Pada tahun 1942 pun pembangunan ulang Masjid Raya pun dilakukan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini