SuaraKalbar.id - Seorang ibu di Pontianak Utara menulis surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kasus persetubuhan di bawah umur yang sedang dihadapi oleh putrinya.
Dalam surat tersebut, sang ibu berharap putrinya mendapatkan keadilan. Berikut adalah isi dari surat terbuka yang menyayat hati dan viral di media sosial tersebut:
Bpk Presiden yang saya hormati,
Perkenalkan nama saya Liem, umur 43 thn seorang ibu rumah tangga yang bersyukur masih bisa tamat SD, tinggal di pemukiman kumuh dan padat kawasan Pontianak Utara, Kalimantan Barat.
Baca Juga:Pramono Klaim Cawe-cawe Jokowi di Pilpres 2024 Bukan untuk Beri Dukungan ke Ganjar
Sebelumnya saya mohon maaf dan mohon ijin karena telah lancang menulis surat terbuka ini untuk Bpk Presiden, walau sebenarnya saya tidak begitu yakin bahwa surat ini bisa sampai pada Bapak apalagi bisa membacanya, namun setidaknya dengan menulis surat ini beban di hati saya selama ini tidak lagi menghimpit dada saya yang kerap membuat sesak dan mengganggu aktifitas saya.
Bpk Presiden yang saya muliakan,
Hari ini sudah lebih delapan bulan saya berjuang mencari keadilan untuk putri saya satu-satunya, Mic, 14 thn, sejak dilaporkan ke Polresta Pontianak 10 Oktober 2022 lalu.
Perjalanan panjang untuk sebuah perkara yang menguras emosi dan menodai harkat dan martabat kami sebagai manusia.
Sebagai seorang ibu, saya merasa tidak lagi memiliki harapan untuk mendapatkan keadilan di negeri tercinta ini, setelah saya mengikuti persidangan atas perkara anak saya di Pengadilan Negeri Pontianak pada hari Selasa 16 Mei 2023 minggu lalu.
Baca Juga:Mengenal Pohon Hayat yang Terpilih Jadi Logo Resmi IKN, Ini Maknanya
Saat itu ketua majelis hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk membacakan hasil visum et repertum anak saya, namun dijawab oleh Jaksa bahwa hasil visum tidak dilampirkan dalam berkas perkara anak saya.
Seketika dunia terasa runtuh dan gelap gulita, dada saya sesak. Tadinya saya begitu banyak berharap dengan Jaksa yang notabene seorang perempuan dan seorang ibu pula bisa mengerti dan bersimpati dengan apa yang dialami anak saya.
Tapi ternyata Jaksa yang harusnya membela kepentingan hukum anak saya tak lebih dari pohon pisang, punya jantung dan tak punya hati. Seolah ingin menghilangkan bukti perbuatan bejat pelaku tanpa sedikit pun memikirkan keadaan anak saya yang belasan kali harus bolak balik ke psikolog sekedar untuk mengobati luka batinnya, apalagi memikirkan perasaan saya sebagai seorang ibu yang setiap hari menangisi keadaan anak saya.
Bpk Presiden yang terhormat,
Ketika pertama melapor di Kepolisian, hati saya sudah terluka parah. Bagaimana mungkin seorang polwan di Unit PPA yang harusnya memberikan perlindungan kepada anak saya ternyata bersikap sangat tidak humanis dan profesional. Anak saya diperiksa dan di BAP di ruang tertutup tanpa diijinkan saya dampingi, dan BAP-nya pun tidak boleh saya baca dan anak saya disuruh tanda tangan sendiri padahal saat itu anak saya masih berumur 13 tahun.
Anak saya sangat ketakutan karena seumur hidup belum pernah menginjakkan kaki di kantor polisi. Anak saya pulang sangat tertekan dan tidak mau makan.