Masuknya Perusahaan Tambang di Pulau Gelam
Sayangnya, saat ini Pulau Gelam menghadapi ancaman karena adanya pemberian izin usaha pertambangan pasir kuarsa. Berdasarkan laporan masyarakat yang terlibat dalam industri pertambangan, terdapat 150 titik galian dengan kedalaman mencapai 6 meter.
Menurut Geoportal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada dua perusahaan, yaitu PT Sigma Silica Jayaraya (PT SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (PT ITM), yang telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) untuk tambang pasir kuarsa yang mencakup hampir seluruh Pulau Gelam.
Perlu dicatat, kebijakan Pemerintah Indonesia telah menetapkan sebagian Kecamatan Kendawangan sebagai kawasan lindung berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/1993 yang dikeluarkan pada 4 November 1993. Selain itu, pada tahun 2020, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 91/KEPMEN-KP/2020 menetapkan perairan dan pulau sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Meski demikian, Pulau Gelam juga termasuk dalam wilayah zona inti dan zona pemanfaatan terbatas sesuai dengan kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya. Data pemetaan melalui Google menunjukkan bahwa luas Pulau Gelam adalah sekitar 28 kilometer persegi, sehingga Pulau Gelam dapat dikategorikan sebagai pulau kecil berdasarkan ukurannya.
Baca Juga:Praktik Pasir Kuarsa Rempang di Pulau Kalimantan
IUP yang dimiliki oleh perusahaan pun masih menjadi skandal karena sebagian masyarakat yang memiliki tanah di Pulau Gelam merasa bahwa tidak pernah mengajukan pembuatan Surat Kepemilikan Tanah (SKT).
Hartono, salah satu masyarakat Pulau Cempedak yang menghabiskan masa kecilnya di Pulau Gelam, merasa keberatan dengan masuknya perusahaan pertambangan. Selain menjadi tempat umum nelayan untuk mencari hasil tangkapan, disana juga merupakan pulau dengan padang lamun yang cukup padat dan juga habitat dugong.
“Beberapa tahun yang lalu, sebelum perusahan masuk di Pulau Bawal, dari timur sampai ke selatan itu lamunnya sangat tebal sekali. Sekarang ketika kemarin kita coba ambil bibit, yang tersisa hanya jenis Cymodocea serrulata. Sejauh ini pemikiran kami setelah adanya perusahaan, lamun sudah mulai punah,” tuturnya.
Lanjut, Hartono juga mendeskripsikan bahwa sebelum adanya perusahaan di Pulau Bawal, lamun disana sangat tebal hingga buahnya itu sampai mengambang di atas air. Bahkan untuk lepeh, atau kapal, ketika ingin menepi harus menggunakan dayung karena baling-baling mesin akan terjerat oleh lamun.
“Perkiraan kami karena adanya perusaan membuat lamun tersebut hilang karena limbah mereka,” katanya.
Baca Juga:Modus Menggangsir Penerbitan SKT Pulau Gelam
Arie Antasari Kushadiwijayanto, Dosen Ilmu Kelautan UNTAN, menyebutkan, adanya aktivitas pertambangan yang masif maka aku menambah material tersuspensi di air sehingga bisa membahayakan ekosistem disana.
“Terutama pelepasan sedimen ke laut, yang otomatis di sekitar Pulau Gelam akan terdampak karena zona inti ada di kawasan perairan. Untuk persentase sedimen bekas tambang itu saja kita tidak tahu dan tergantung jumlah pelepasan dan unsur sehingga bisa saja ada logam-logam berat yang sebenarnya bawaan alami,” jelasnya.
Selain itu, Arie juga menambahkan, bisa saja ada zat-zat di tanah yang terbawa ketika proses pertambangan.
“Jika sedimen zat-zat radio aktif yang lepas kemungkinan konsekuensinya cukup banyak apalagi masuk ke lingkungan ekosistem yang bisa menyebabkan kematian terumbu karang, padang lamun, hingga hewan yang ada disana. Akan tetapi tergantung dari banyak atau tidaknya dan itu perlu penelitian lebih lanjut.”
Perjumpaan Dugong di Pulau Sekitar
Menurut catatan perjumpaan yang ditemukan oleh WeBe, yakni organisasi non profit yang berbentuk yayasan dan bergerak di bidang konservasi, pengembangan ekowisata dan pemberdayaan masyarakat, yang berbasis di Ketapang, Kalimantan Barat, merilis data sejak tahun 2020 sudah ada 36 perjumpaan di seluruh wilayah perairan Kendawangan, termasuk juga Pulau Gelam.
Setra Kusumardana, Ketua WeBe, mengatakan, “sepanjang tahun 2020 ada perjumpaan enam kali dengan dugong. Setelah itu sudah tidak ada lagi. Waktu itu ditemukan dalam keadaan mati keenamnya. Satu kali ditemukan dalam keadaan hidup dan kita lepaskan kembali ke habitatnya. Sehabis itu kan sudah mulai patroli dan tidak ada lagi kejadian.”