Tim investigasi pun kemudian mencoba menjelaskan duduk perkara PT. Sigma Silica Jayaraya dengan dirinya. Namun, yang bersangkutan mengatakan jika Denny Muslimin yang lebih mengetahui soal aktivitas pertambangan di kawasan konservasi Pulau Gelam tersebut.
“Ke Denny saja. Sudah bener itu. Lagian sudah tidak ada aktivitas apa-apa di pulau itu. Sudah kosong. Kenapa baru sekarang mau wawancara,” kata Sudirman sembari menutup telephone.
Ancam Ekosistem
Penguasaan tanah di Pulau Gelam untuk dieksploitasi tentu sangat membahayakan terhadap lingkungan di Pulau Gelam dan sekitarnya, termasuk dampak negatif bagi warga yang mata pencahariannya bergantung pada pulau Gelam. Karena Pulau Gelam merupakan wilayah kaya akan flora dan fauna, selain menjadi habitat penyu dan dugong yang dilindungi.
Menurut tokoh masyarakat Kendawangan, Ketapang H. Asmuni, praktik eksploitasi pulau kecil untuk tambang tersebut jelas bertentangan dengan upaya perlindungan dan penyelamatan lingkungan. Terlebih kata dia, saat ini Pemerintah telah menerbitkan sejumlah aturan terkait pengelolaan pulau-pulau kecil. Aturan yang dimaksud adalah UU No. 1 Tahun 2014 perubahan UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Baca Juga:Pelaku Pencurian Sawit Nekat Tembak Polisi di Ketapang, Begini Kondisinya
Pada Pasal 23 Ayat 2 dalam UU dengan tegas menyebutkan, bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk kepentingan konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara. Tidak ada sama sekali klausul tentang kegiatan tambang di pulau-pulau kecil.
Larangan untuk semua bentuk penambangan juga disebutkan dalam Pasal 35, yaitu penambangan pasir, minyak dan gas, serta mineral. Pelanggaran hukum pada aturan tersebut akan dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun. Nominal denda yang dikenakan Rp 2 miliar sampai Rp 10 miliar.
Oleh sebab itu, Asmuni dengan tegas menolak penambangan di Pulau Gelam dengan beberapa alasan sesuai aturan tersebut.
“Pertama karena Pulau Gelam itu daerah konservasi, kedua kalau tambang itu otomatis di mana-mana akan merusak lingkungan sehingga pulau itu bisa tenggelam, karena mereka (pelaku usaha tambang) bikin sampel itu paling dalam 18 meter dan paling dangkal 13 meter buat lobang dan itu sudah banyak,” kata Haji Lakok sapaan karibnya.
Selain itu, aktivitas penambangan di pulau-pulau kecil juga dapat menyebabkan munculnya bencana ekologis bagi masyarakat meliputi kejadian bencana ekstrem, pencemaran air, tanah, dan laut; kerusakan hutan dan sulitnya akses pangan, serta hilangnya ruang hidup masyarakat.
Baca Juga:Hadir di Kampanye Akbar Ganjar-Mahfud, Ini Pesan Ahok untuk Anak Kalimantan
Selain karena Pulau Gelam sudah masuk kawasan konservasi yang telah diatur dalam undang-undang, penolakan warga juga karena khawatir akan hadir bencana yang dapat menimpa warga Kendawangan yang disebabkan kerusakan lingkungan.
“Yang paling kami takutkan, karena itu (pulau gelam) pulau yang dikelilingi lautan, kami takut ketika pulau itu dikeruk dan habis, malah terjadi bencana. Disini ketika ada bencana semua yang menjadi korban nanti itu masyarakat Kecamatan Kendawangan,” ujar Susyanto selaku tokoh masyarakat Kecamatan Kendawanagan sekaligus Ketua PAC Pemuda Pancasila.
“Karena yang saya tau pulau gelam ini masuk wilayah konservasi, artinya enggak boleh ditambang. Kalau memang tidak melanggar aturan yang ditentukan dalam undang-undang. Kami tidak masalah. Artinya kami masyarakat kendawangan menolak perusahaan yang belum pernah memberikan iktikad niat baik kepada masyarakat.”timpanya.
Pengerukan lahan karena aktivitas tambang juga dapat merusak ekosistem yang telah terbangun selama jutaan tahun. Sehingga keseimbangan lingkungan terganggu dan dapat memicu bencana banjir bandang serta tanah longsor di wilayah-wilayah yang sebelumnya nihil bencana.
Permukaan lahan yang telah gundul dapat mengurangi infiltrasi air hujan dan meningkatkan laju aliran permukaan. Kemudian, penumpukan material galian dan kayu-kayu akan terbawa oleh aliran air permukaan. Kestabilan lereng perbukitan pulau-pulau kecil juga rusak karena pengerukan yang dilakukan secara masif tanpa mempertimbangkan keseimbangan topografinya.
Selain itu, juga terjadi pencemaran air, tanah, dan laut karena limbah hasil pengolahan komoditas tambang, karena tambang dapat merusak ekosistem pesisir dan mangrove. Bahkan tidak hanya secara ekologi, aktivitas tambang di pulau kecil juga rawan berdampak pada ketahanan pangan masyarakat lokal, karena banyak komoditas pangan yang akhirnya hilang. Alih fungsi lahan mendorong keruntuhan ekosistem pangan sehingga masyarakat juga kesulitan mencari pangan di hutan atau ladang karena telah beralih fungsi ke tambang.