Scroll untuk membaca artikel
Bella
Rabu, 14 Februari 2024 | 15:05 WIB
Potret aktivitas nelayan Cempedak. (Tim Liputan Investigasi)

Selain itu, Salmin berpendapat bahwa saat ini tangkapan memang sedang sulit, dan hasilnya dianggap berbeda jauh dibandingkan dengan beberapa tahun belakangan.

“Kalau untuk penghasilan sih udah mulai ada berasa berkurang ya, jauh sekali kalau dibandingkan dulu. Dulu sih 1 hari bisa Rp 300-400 ribu itu udah bersih, sekarang untuk Rp 30-50 ribu aja susah, sulit sekali,” terang Salmin.

Mengakali berkurangnya pendapatan saat menangkap hasil laut dengan jaring, Salmin berucap tak jarang nelayan akan memilih melakukan aktifitas menyelam untuk mencari keripang atau mutiara.

“Kalau nelayan sini sih gak ada alternatifnya, makanya saya kadang pindah nyelam cari mutiara pakai kompresor. Bahaya sih pasti, Cuma kita cari makan,” ujar Salmin tersenyum sungkan.

Baca Juga: Nelayan Perempuan Pulau Gelam Paling Terancam Tambang

Sayangnya, aktifitas menyelam yang dilakukan oleh para nelayan ini cukup berbahaya karena dengan bermodalkan kompresor dan hanya muncul di permukaan sebanyak dua kali selama menyelam seharian di dasar laut.

“udah banyak yg terjadi meninggal karena menyelam itu. Sering saya kena keram tuh, dulu hampir 1 bulan gak bisa jalan. Itu pilihan kalau lagi gak ada ikan,” tambahnya.

Dampak Kehadiran Tambang Pasir Kuarsa bagi Nelayan
Meskipun sejumlah nelayan tradisional masih abu-abu terkait dampak kehadiran tambang pasir kuarsa di Pulau Gelam, tanggapan tersebut berbeda dengan Setra Kusumardana, Ketua Yayasan WeBe Konservasi Ketapang.

Kerap melakukan pemantauan di sekitaran Pulau Gelam, Setra membenarkan saat ini memang belum terdapat dampak apapun terkait kehadiran para penambang yang diisukan tengah mengambil sampel tersebut. Namun, bukan tak mungkin kehadiran tambang dapat mempengaruhi kesehateraan nelayan sekitar.

“Kalau mereka sudah mulai menambang, pertama akan terjadi penggalian besar, terus terjadi penurunan degredasi garis pantai. Kemudian kerusakan lanjutannya adalah sedimentasi lanjutan ke laut dari kegiatan penambangan. Belum lagi transportasi laut angkutannya,” terang Setra saat berada di pondok Pos Dinas Kelautan dan Perikanan yang berlokasi di Pulau Cempedak.

Baca Juga: Pulau Gelam Ditambang, Penyu Ikut Terancam Menghilang

Tak hanya itu, kehadiran pertambangan sendiri dinilai turut mampu merusak ekosistem penting alam yang turut serta berpengaruh terhadap hasil tangkapan nelayan.

“Struktur ekosistem di laut ini kan ada 4 ekosistem penting kan. Ada mangrove, lamun, terumbu karang dan estuari. Mangrovenya rusak karena daratannya rusak maka akan mempengaruhi yang lainnya. Ketika mempengaruhi yang lainnya, terutama lamun dan terumbu karang tempat berkembang kebiasaan ikan, tangkapan nelayan, mempengaruhi lautnya juga pasti,” tambahnya.

Meskipun demikian, Setra menerangkan ia belum mampu mengukur seberapa besar kerusakan yang akan terjadi nanti. Meskipun demikian, hal tersebut turut didukung oleh pernyataan Arie Antasari Kushadiwijayanto, Ketua Jurusan Kajian Hosenografi Pesisir FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak.

Arie menerangkan masih belum bisa mengukur kerusakan yang terjadi karena menganggap Pulau Gelam merupakan daerah konservasi yang cukup ‘perawan’ dan belum pernah diteliti oleh ahli. Namun meskipun demikian, Arie membenarkan bahwa akan ada dampak negatif jika kawasan konservasi berubah fungsi menjadi kawasan lain.

“Persoalan ini harus dikawal baik-baik karena ngeri untuk dijadikan kawasan tambang. Kita sulit untuk berpikir bahwa ada pertambangan, maka ekosistem akan baik-baik saja,” ujar Arie saat ditemui di ruangannya.

Kehadiran pertambangan pasir kuarsa, dinilai memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap nelayan, khususnya jika berbicara soal penghasilan pendapatan nelayan kedepan.

Load More