Scroll untuk membaca artikel
Bella
Kamis, 15 Februari 2024 | 17:58 WIB
Potret aktivitas nelayan Cempedak. (Tim Liputan Investigasi)

Sebelum sampai ke lokasi kuburan kami harus melewati ilalang, terlihat Salmin, Tono dan Pak Hajrad sedang sibuk mencari makam yang sudah tertutup oleh hamparan ilalang hijau yang lebat,

“Nah ini nak makam-makam orang-orang tua yang dulu tinggal di Gelam, termasuk orang tuanya Salmin dan Tono,” jelas Hajrad.

Sambil menganggukkan kepala, Salmin dan Tono bercerita jika memang orang tua mereka dulunya tinggal di pulau Gelam dan dimakamkan disini, karena jarak dari Gelam ke pusat Kecamatan Kendawangan jauh akhirnya warga Pulau Gelam memutuskan untuk pindah ke pulau Cempedak agar .

Tak jauh dari belakang makam, tampak terlihat vegetasi pohon Gelam (Melaleuca Leuadendron) dengan batang berwarna putih, Tono menjelaskan bahwa asal muasal penamaan pulau Gelam memang karena dulunya disini banyak pohon gelam.

Baca Juga: Pulau Gelam: Pasir Kuarsa akan Ditambang, Nelayan Tradisional Terancam

Sengkarut izin di Gelam

Sejumlah warga kendawangan melakukan aksi demo di depan Kamp milik perusahaan PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) di Pulau Gelam, aksi warga ini dipicu oleh penerbitan 300 izin SKT yang dikeluarkan aparat kepala Desa Kendawangan Kiri Pusar Rajali, sebagian warga ini menuntut untuk mengembalikan hak tanah mereka yang diambil perusahaan dan juga membongkar izin SKT fiktif yang dilakukan oleh oknum dan aparat pemerintah Desa, selain itu mereka juga menuntut aparat untuk menindak oknum dan mafia tanah yang terlibat agar diusut tuntas serta memaksa kegiatan perusahaan dihentikan dan angkat kaki dari pulau Gelam.

Suparyanto seorang warga Kendawangan saat ditemui oleh tim kolaborasi investigasi mengatakan bahwa ia tidak terima atas penjualan tanah oleh oknum yang menerbitkan SKT di Pulau Gelam.

“Lahan banyak tumpukannya lahan milik saya sekitar 50 hektare kalau dikumpulkan, karena tinggal disana sudah lebih belasan tahun dari masa saya kecil, dari nenek moyang dan tanahnya tidak pernah saya jual, tapi itu ada orang yang mengambil lahan disitu orang yang enggak ada hak disitu. Saya enggak pernah buat SKT. Dulu saya mau buat SKT ke kepala desa pak Rajali, tapi tadak dibikinkan,” ucapnya.

Ia menegaskan jika namanya tercatut dalam penerbitan itu tanpa sepengetahuan dirinya dengan menggunakan tanda tangan fiktif karena memang tidak pernah menandatangani SKT.

“Kalau saya tidak pernah menadatangani, kalau memang ada asli pasti ada tanda tangan saya, “ ucapnya.

Baca Juga: Nelayan Perempuan Pulau Gelam Paling Terancam Tambang

Bahkan Arpa’I seorang warga Kendawangan, sudah membuat Surat Pernyataan menanggapi penerbitan SKT oleh pemerintah Desa Kendawangan Kiri yang diduga telah terjadi permainan oleh oknum maupun mafia tanah di Pulau Gelam.

“Dengan ini menyatakan bahwa saya tidak pernah menandatangani surat keterangan tanah atau SKT ataupun surat kuasa untuk mengurus lahan yang terjadi di pulau Gelam, Dusun Pulau Bawal, Desa Kendawangan Kiri kepada saudara Nono Romansyah,” kata Arpa’i sambil membacakan surat pernyataannya.

Menurut pengakuan Haji Lakok, dirinya lahir di Pulau Gelam pada tahun 1962, orang tua dan kakeknya sudah tinggal disana dan memiliki tanah di Pulau Gelam. Namun karena tidak adanya akses pendidikan dan kesehatan disana, warga terpaksa harus pindah ke pulau terdekat seperti Pulau Cempedak, Kendawangan dan pusat Kota untuk mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan yang layak.

Akan tetapi, dirinya tidak menyangka akan penerbitan SKT oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri tanpa sepengetahuan masyarakat yang memilki hak disana.

Ia menyebut berdasarkan informasi yang didapat, bahwa sudah sebanyak kurang lebih 300 SKT yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Desa Kendawangan Kiri. Penerbitan SKT tersebut kata Asmuni, masih baru sekitar tahun 2022 lalu.

"SKT ini masih baru diterbitkan, begitu ada perusahaan tambang masuk, baru dibuat. Sehingga yang dipertanyakan dasar penerbitan SKT ini apa," ucapnya.

Load More