Seorang tokoh masyarakat Kendawangan dan Kabupaten Ketapang, Haji Asmuni, juga menyatakan bahwa sepengetahuannya, warga di Pulau Gelam waktu itu belum sampai mencapai jumlah 300 penduduk.
"SKT yang diterbitkan desa sebanyak 300 lebih, Sedangkan penduduk Pulau Gelam yang asli punya sejarah di sana tidak sampai segitu. Maka kita minta dibuka secara transparan SKT ini atas nama siapa-siapa saja. Karena sampai saat ini kami belum tahu siapa-siapa saja yang punya SKT ini, bahkan tidak ada masyarakat yang dilibatkan atau istilahnya diukur di lapangan, karena kan kalau SKT ini setiap diterbitkan harus ada lampiran kiri, kanan, Timur, Barat di SKT juga ada saksi-saksi dan patok batas. Saya lihat enggak ada mereka lakukan, hanya main buat aja,” timpalnya.
Selain permasalahan penerbitan SKT di pulau Gelam, pernebitan izin yang dilakukan oleh Kementerian ESDM berpolemik dengan penetapan sebagian Kecamatan Kendawangan sebagai kawasan lindung yang terdiri dari Cagar Alam dan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Penetapan Cagar alam tertuang dalam SK. Menhut No. 174/kpts-II/1993 yang dikeluarkan pada 4 November 1993 dan pemberlakuan perairan dan pulau sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil berdasarkan keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 91/KEPMEN-KP/2020.
Baca Juga:Pulau Gelam: Pasir Kuarsa akan Ditambang, Nelayan Tradisional Terancam
Menurut Dosen Ilmu Kelautan sekaligus Ketua Jurusan Kajian Hosenografi Pesisir MIPA UNTAN, Arie Antasari Kushadiwijayanto tentunya ia berharap tidak ada perubahan dari sebuh kawasan konservasi.
Jika kawasan konservasi berubah fungsi menjadi kawasan lain, seperti komersil baik kegiatan pertambangan atau eksplorasi, maka dampaknya yang pertama akan mengganggu keseimbangan yang sudah ada, kedua daya dukung lingkungan akan turun yang mengakibatkan penghasilan masyarakat juga turun karena ada sebagian masyarakat yang menggantungkan penghasilan mereka di situ juga.
Ketiga daya tangkap juga berkurang apa lagi nelayan dari daerah sana itu kalau tidak salah bukan nelayan besar, yang berangkat pagi itu sorenya pulang. Sekarang aja udah ngeluh pas kita tanya nelayan-nelayan kecil itu karena produksinya turun dengan harga BBM naik. Faktanya harga produksinya turun makin sepi. Mungkin penduduk lainnya mencari alternatif lain
“Persoalan ini harus dikawal baik-baik karena ngeri untuk dijadikan kawasan tambang. Kita sulit untuk berpikir bahwa ada pertambangan, maka ekosistem akan baik-baik saja” jelasnya.
Merujuk pada laman Geoportal Kementerian ESDM terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) tambang pasir kuarsa terdapat dua perusahaan yaitu PT Sigma Selica Jaya Raya (SSJ) dan PT Inti Tama Mineral (PT ITM).
Baca Juga:Nelayan Perempuan Pulau Gelam Paling Terancam Tambang
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) nomor 93.K/MB.01/MEM.B/2022, dengan luas konsensi 839,0 Ha, dengan target 1.808.625 ton/tahun, kedua perusahaan ini memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) tahap eksplorasi dan Wilayah Izin Usaha Pertambang (WIUP) tambang pasir kuarsa di kawasan pesisir Pulau Gelam.